Langsung ke konten utama

Ayat Al-Qur'an Tentang Kemiskinan dan Tafsir Para Ulama


Ayat-Ayat al-Qur'an Tentang Kemiskinan
Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal)

1.      Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Kemiskinan
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata yang sepadan dengan makna miskin dalam bahasa indonesia, kata-kata yang sepadan dengan kata miskin diantaranya adalah al-masakin, al-fuqoroi, al-ba’sau, as-sail, al-‘ailah, adh-dhu’afau, al-mahrum, dan al-imlaq.
Kata المساكين (al-masakin) merupakan sighot muntahal jumu’ dari isim mufrod al-miskin yang artinya adalah orang yang faqir atau miskin. Sedangkan kata al-fuqoroi merupakan jamak taksir dari isim fail faqirun yang artinya orang yang faqir. Kata fakir mengikuti wazan “fa’ula-yaf’ulu-fu’lan”  yang bermakna iftaqoro (menjadi miskin). Kedua kata ini ditemukan di dalam firman Alloh SWT surat At-Taubah ayat 60:
انما الصدقت للفقراء و المسكين و العملين ــــ ــــ ــــ ـــ ـــ ـــ
Kata الفقراء dan المساكين diatas bermakna faqir dan miskin.

Begitu pula kata البأساء (al-ba’sau) merupakan isim jamak dari kata البؤس (al-bu’su) yang artinya kesengsaraan atau kemiskinan. Ar-raghib al-ashfahani menjelaskan bahwa kata al-bu’su, al-bais, dan al-ba’sau semuanya memiliki makna kesulitan dan sesuatu yang dibenci.[1] Hal ini sebagaimana firman Alloh SWT di dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yaitu:
ليس البر ان تولوا ــ ـــ ــ ــ ــ  و الصبرين في البأساء و الضراء و حين البأس ــــ ـــ ــــ
Al-Imam Az-Zamakhsyari menafsiri kata البأساء (al-ba’sau) diatas dengan kata    الفقرو الشدة (al-faqru wa al-syiddatu) dimana و (wawu) adalah wawu tafsir yang artinya البأساء (al-ba’sau) bermakna orang yang ditimpa kefakiran dengan derajat sangat fakir. Sedangkan kata setelahnya yakni الضراء (ad-dhorrou) ditafsiri oleh Az-Zamakhsyari dengan المرض و الزمانة yang artinya struk atau lumpuh (penyakit struk).[2] Artinya, kemiskinan disini dapat dipahami sebagai akibat dari suatu bencana alam atau masa-masa perang hal ini dapat diketahui kata adanya kata الصابرين (ash-shobirrina) yang ada sebelumnya, dimana kata tersebut ditafsiri oleh Az-Zamakhsyari bahwa bersabar yang dimaksud adalah bersabar dari masa-masa yang sulit dan ditempat perang. Sedangkan kata الضراء (ad-dhorrou) mengindikasikan kepada kita bahwa kemiskinan dapat menimpa seseorang karena adanya penyakit yang dideritanya.
Sedangkan kata سائل merupakan isim fail dari kata سأل (saala) yang mengikuti wazan “fa’ala-yaf’alu-fu’aalan” yang artinya adalah orang yang meminta (peminta-minta), hal ini misalnya ditemukan dalam firman  surat Ad-dhuha ayat 10: 
و اما السائل فلا تنهر
Kata السائل diatas bermakna orang miskin yang meminta-minta. Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, saala berarti menginginkan (meminta) sesuatu yaitu menginginkan atau meminta harta atau sesuatu yang menghasilkan harta.[3] Begitu pula kata ‘ailan ditemukan dalam surat ini (ad-dhuha) ayat 8, yaitu:
ووجدك عائلا فأغنى
Al-Imam Az-Zamaksyari di dalam tafsir al-kasyaf menafsiri kata  عائل dengan فقيرا  yang merupakan sighot muballaghoh yang berarti orang yang sangat fakir.[4]
Kata ضعفاء merupakan isim jamak dari isim fail ضائف (dhoifun) merupakan isim shifah musyabah bi ismi al-fail yang memiliki makna orang yang lemah. Hal ini misalnya terdapat di dalam firman Alloh SWT dalam surat At-Taubah ayat 91, yaitu:
ليس على الضعفاء و لا على المرضى ـــ ـــ ـــ ـــ
Kata الضعفاء diatas bermakna orang yang lemah. Kelemahan ini bisa jadi karena faktor badan atau usia, keadaan dirinya, maupun situasi yang berhubungan dengan masyarakat dan pemerintahan.
Kata المحروم (al-mahrum) merupakan isim fail dari kata حرم  yang mengikuti wazan “fa’ila-yaf’alu-fi’lan” yang berarti menderita kerugian.  Hal ini terdapat dalam firman Alloh SWT surat Al-Ma’arij ayat 25 yaitu:
للسائل والمحروم
Kata المحروم (al-mahrum) diatas bermakna orang yang tidak mempunyai apa-apa  namun ia tidak mau meminta minta. Hal ini berbeda dengan السائل (as sail) yang bermakna orang miskin yang meminta-minta.
2.      Hadist-Hadist Tentang Kemiskinan
Hadist merupakan qoul (ucapan) , af’al (perbuatan), dan taqrir (persetujuan) Nabi Muhammad SAW tentang suatu perkara. Hadist-hadist tentang persoalan kefakiran dan kemiskinan sesungguhnya sangat banyak, baik diriwayatkan secara shohih, hasan, maupun dhoif. Namun, dikesempatan ini saya tidak membahas persoalan derajat hadist, sebab penulis mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan menggunakan hadist dhoif dalam fadhoil al-‘amal. Penulis memasukan hadist di dalam tinjauan pustaka ini sebagai landasan teologis bahwa islam sesungguhnya juga membahas persoalan kemiskinan. Diantara hadist-hadist kemiskinan tersebut  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "orang miskin bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang banyak, lalu peminta itu diberi sesuap dua suap, atau sebutir dua butir kurma." para sahabat bertanya, "kalau begitu, seperti apakah orang yang miskin itu?" beliau menjawab: "orang miskin sesungguhnya ialah mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk menutupi kebutuhannya, namun keadaannya itu tidak diketahui orang supaya orang bersedekah padanya, dan tidak pula meminta-minta ke sana ke mari."[5]
Begitu besar perhatian Rasulullah SAW dalam hal upaya pengentasan kemiskinan, hal ini dapat dibuktikan dengan ucapannya:
“aku mendengar rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "janganlah seseorang menjadi kenyang sementara tetangganya kelaparan."
Rasulullah SAW. juga bersabda:
“Balasan amal dari seorang miskin terhadap orang kaya ialah kesetiaan (keikhlasan) dan doa.”[6]
“Kasihanilah tiga golongan orang yaitu orang kaya dalam kaumnya lalu melarat, seorang yang semula mulia (terhormat dalam kaumnya) lalu terhina, dan seorang 'alim yang dipermainkan (diperolok-olok) oleh orang-orang yang dungu dan jahil.”[7]
Rasulullah SAW memberi hatsun (motivasi) kepada orang-orang miskin yang bersabar dan bertawakal kepada Alloh SWT:
“Aku menjenguk ke surga dan aku melihat kebanyakan penghuninya orang-orang fakir (miskin). Lalu aku menjenguk ke neraka dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”[8]
“Orang-orang fakir-miskin akan memasuki surga lima ratus tahun[1] sebelum orang-orang kaya memasukinya.”[9]
Namun disisi yang lain Rasulullah SAW memberikan warning (peringatan) bahwa kemiskinan merupakan perkara yang buruk yang harus dihindari atau diupayakan untuk ditanggulangi agar masyarakat tidak jatuh dalam kemiskinan. Rasulullah SAW bersabda:
“Kesengsaraan yang paling sengsara ialah miskin di dunia dan disiksa di akhirat.”[10]
“Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.”[11]

Jika kita perhatikan hadist-hadist diatas maka seakan-akan nampak ada kontradiksi didalamnya dimana disatu sisi Rasulullah saw memuji orang-orang miskin sebagai penghuni surga namun disisi yang lain Rasulullah saw memberikan tahdzir (peringatan) yang bernada untuk memberantas kemiskinan karena dekat dengan kekufuran. Akan sulit bagi kita untuk melakukan thoriqoh jam’u dalilain (menggabungkan dua dalil yang nampak kontradiksi) jika kita memahami kemiskinan sebagaimana paradigma barat, dimana mereka memandang kemiskinan itu sebagai ketidakadaan materi (harta). Akan tetapi thoriqoh jam’u dalilain bisa kita tempuh jika kita memahami kemiskinan dengan paradigma ilahi.




[1] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufrodat Alfazh al-Qur’an. (Beirut, al-Dar al-Syamiyah, 1992) hlm. 153
[2] Al-Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf Juz 1, (Riyadh, Maktabah al-‘Abikani, 1997),  hlm. 367
[3] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mufrodat Alfazh al-Qur’an. (Beirut, al-Dar al-Syamiyah, 1992) hlm. 153
[4] Al-Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf Juz 4, (Libanon,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009) hlm. 756
[5] Hadist diatas mungkin yang dijadikan dalil dan menjadi tedensi bagi Abu Hanifah, Taqiyuddin an-Nabhani, dan Abdul Qodim Zallum dalam mendefinisikan kemiskinan dan menetapkan bahwa miskin itu lebih parah keadaannya daripada fakir.
[6] HR. Abu Dawud
[7] HR. Asy-Syihab
[8] HR. Bukhori dan Muslim
[9] HR. At-Tirmidzi dan Ahmad
[10] HR. Ath-Thobrani dan Asy-Syihab
[11] HR. Ath-Thobrani

Komentar

Artikel Terbaik

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal) Khutbah Pertama Membaca basmalah : BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dibaca dalam hati) Mengucapkan salam : ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUHU (lalu khotib duduk dan muadzin mengumandangkan azan. Setelah selesai adzan, khatib berdiri lagi dan langsung membaca hamdalah kalimat pujian (hamdalah), yaitu: INNAL HAMDA LILLAAH, NAHMADUHUU WA NASTA’IINUHUU WA NASTAGHFIRUHU WA NA’UUDZUBILLAAHI MIN SYURUURI ‘ANFUSINAA WA MIN SYAYYI-AATI A’MAALINAA MAN YAHDILLAAHU FALAA MUDHILLALAHU WA MAN YUDHLIL FALAA HAADIYALAHU Membaca syahadat : ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAAHU WA ASYHADU ANNAA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUHUU LAA NABIYYA BA’DAHU Membaca shalawat : ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SYAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII ‘AJMA’IIN Membaca ayat alqur’an yang mengajak bertaqwa kepada allah, contoh: YA AYYUHAL

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

1.         PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Di dalam menjalani kehidupan manusia akan terus mencari tahu tentang hakikat hidupnya dan seluruh materi yang ada disekelilingnya. Dia akan terus berfikir mencari kebenaran (hakikat) hidupnya dan materi lain yang ada disekelilingnya. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk berfikir dan mencari tahu sebelum menemukan jawaban   dan memahami tentang diri dan lingkungannya. Setiap pemikiran manusia yang diberi kesimpulan akan melahirkan sebuah konsep atau ide. Setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut sebagai aktivitas berpikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. Menurut madzhab komunisme, pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak [1] . Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam : Muttafaq 'alayh dan Mukhtalaf fiih

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alay h dan Mukhtalaf Fiih Oleh : Agusmal Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah . Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli. Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah (penunjukan)   dan irsyad (petunjuk). Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat mengh