Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alayh dan Mukhtalaf Fiih
Oleh : Agusmal
Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah. Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli.
Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan
terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah
(penunjukan) dan irsyad (petunjuk).
Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli
fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat
menghantarkan pada pandangan yang benar terhadap mathlub khabari (hukum
suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya). Sedangkan ulama ahli ushul
fiqih mendefinisikan dalil sebagai suatu perkara yang dapat menghantarkan pada
pengentahuan tentang mathlub khabari .[1]
Dalil syara’ dalam pandangan islam terbagi menjadi dua bagian yaitu
dalil yang muttafaq ‘alayh dan mukhtalaf fiihi. Dalil muttafaq
‘alayh adalah sumber hukum dalam islam yang disepakati keabsahannya oleh
seluruh ulama ahlus sunnah wal jamaah untuk dijadikan sebagai dalil.
Dalil-dalil yang muttafaq ‘alayh tersebut adalah al-Qur’an, as-sunnah, al-Ijma,
dan al-Qiyas. Sedangkan dalil mukhtalaf fiihi adalah sumber hukum dalam
islam yang dipersilihan keabsahannya oleh para ulama untuk dijadikan sebagai
dalil syara’ seperti syar’un man qoblana, madzhabu ash shohabi, al-istihsan,
al-qowa’idu al-kulliyah, qoidah al-istishhabu, qoidah ad-dharuri, al-masholih al-mursalah, al-ishtilah,
al-taqdir, dan al-‘urf.
Hal ini sebagaimana keterangan yang disebutkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani dimana menurut beliau sumber
hukum (dalil) yang qoth’i (disepakati kepastiannya) dalam islam itu ada empat,
yaitu al-Qur’an, as-sunnah, ijma sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan terhadap
dalil-dalil yang lain yang disebutkan sebagai dalil-dalil hukum seperti syar’un man qoblana, madzhabu ash shohabi,
al-istihsan, al-qowa’idu al-kulliyah, qoidah al-istishhabu, qoidah ad-dharuri, al-masholih al-mursalah, al-ishtilah,
al-taqdir, dan al-‘urf maka
dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum-hukum syara’.
Menurut Atho’ bin Khalil, suatu keterangan agar dapat dijadikan
sebagai dalil atau hujjah syariah harus memiliki dalil yang qoth’i atas
kehujjahannya. Ini berarti suatu keterangan yang dianggap sebagai dalil harus ditetapkan asalnya bahwa hal itu dari Alloh SWT yang disampaikan
melalui wahyu. Kriteria yang memenuhi persyaratan tersebut hanya ada empat
yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma shohabat, dan qiyas syar’i.[2]
Adapun alasan mengapa an-Nabhani dan Atha’ bin Khalil memandang
bahwa selain al-Qur’an, as-sunnah, ijma sahabat, dan qiyas syar’i tidak
memenuhi syarat atau tidak layak dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum-hukum syara’, adalah sebagai berikut:
a.
Semua
itu datang dengan sesuatu yang menunjukkannya sebagai dalil, namun dengan jalan
yang zann (dugaan) bukan jalan yang qath’ (pasti).
b.
Penetapan
ke-hujjah-annya tidak sesuai dengan kesimpulannya.
Meskipun
mereka (an-Nabhani dan Atha’) tidak menganggap dalil selain al-Qur’an,
as-Sunnah, ijma’ shahabat, dan qiyas syar’i sebagai sebuah dalil, namun mereka
tetap menyatakan bahwa berdalil (beristidlal) dengan selain dari keempat
dalil yang muttafaq ‘alayh (yaitu berdalil dengan sesuatu yang termasuk
dalil yang masih diperselisihkan) maka tetap dianggap berdalil dengan syara’
bagi orang yang mengikuti pendapat bahwa syubhat ad-dalil (dalil yang
masih diperselisihkan) sebagai dalil syara’. Sedangkan bagi yang tidak
menganggapnya sebagai dalil, maka baginya tidak termasuk hukum syara’, tetapi
dalam pandangannya itu merupakan hukum syara’, sebab masih ada syubhatut
dalil”. Hal ini sebagaimana pernyataan An-Nabhani dalam kitab ushul fikihnya: “Hanya saja wajib
diketahui dengan jelas bahwa hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil selain
yang empat, di antara yang diakui oleh para imam adalah hukum-hukum syara’
dalam pandangan mereka yang menganggapnya dalil dan dalam pandangan mereka yang
menolaknya, sebab di sana ada syubhatud dalil yang dianggapnya bagian
dari dalil. Siapa saja yang menganggap ijma’ umat sebagai dalil syara’, dan
darinya digali hukum, maka hukum ini merupakan hukum syara’ dalam pandangannya
dan hukum syara’ bagi dirinya, sehingga ia tidak boleh mengambil hukum dari
yang lain. Begitu juga merupakan hukum syara’ dalam pandangan mereka yang
menolaknya, namun ia bukan hukum syara’ bagi dirinya. Dan seperti itu juga syar’u man qablana (syari’at sebelum
Nabi Muhammad), mashalih mursalah, istihsan, dan yang lainnya.[3]
Dalil syara’ adakalanya menunjukan sesuatu yang sifatnya qoth’i tsubut (pasti sumbernya) dan qoth’i dalalah (pasti penunjukannya) seperti al-Qur’an dan hadist mutawatir, adakalanya qoth’i tsubut dan zhonni dalalaah (makna atau penunjukannya musytarok) seperti al-Qur’an dan Hadist Mutawwatir pula yang sumbernya pasti dari Alloh SWT dan Rasulullah SAW tetapi makna yang diinginkannya masih bersifat dugaan. adakalanya zhonni tsubut dan qoth’i dalalah, hal ini seperti hadist ahad yang maknanya tidak musytarok. Dan adakalahnya zhonni tsubut dan zhonni dalalah, hal ini juga seperti hadist ahad yang sumber maupun penunjukan maknanya masih bersifat dugaan.
Dalil syara’ adakalanya menunjukan sesuatu yang sifatnya qoth’i tsubut (pasti sumbernya) dan qoth’i dalalah (pasti penunjukannya) seperti al-Qur’an dan hadist mutawatir, adakalanya qoth’i tsubut dan zhonni dalalaah (makna atau penunjukannya musytarok) seperti al-Qur’an dan Hadist Mutawwatir pula yang sumbernya pasti dari Alloh SWT dan Rasulullah SAW tetapi makna yang diinginkannya masih bersifat dugaan. adakalanya zhonni tsubut dan qoth’i dalalah, hal ini seperti hadist ahad yang maknanya tidak musytarok. Dan adakalahnya zhonni tsubut dan zhonni dalalah, hal ini juga seperti hadist ahad yang sumber maupun penunjukan maknanya masih bersifat dugaan.
Komentar
Posting Komentar