Politik Pengentasan Kemiskinan Dalam Paradigma Islam
Oleh: Agusmal
Politik ekonomi bertolak dari pandangan yang mengarah kebentuk
masyarakat yang hendak diwujudkan, saat pandangannya diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan maka bentuk masyarakat yang hendak diwujudkan harus dijadikan asas
untuk memenuhi kebutuhan.[1]
Berkaitan dengan politik pengentasan
kemiskinan maka Islam memiliki seperangkat gagasan yang digali dari dalil-dalil
syara untuk menyelesaikan problem kemiskinan ditengah-tengah masyarakat. Islam
memiliki mekanisme dalam mengentasi persoalan kemiskinan ditengah-tengah
masyarakat. Menurut M. Kabir Hassan, islam memiliki
tiga tahapan dalam mengentaskan masalah kemiskinan yaitu tindakan positif,
tindakan pencegahan dan tindakan korektif. Dalam tindakan positif, islam
memiliki beberapa langkah dalam mengentaskan kemiskinan seperti usaha
pertumbuhan pendapatan, distribusi fungsional, dan pemberian kesempatan yang
sama. sedangkan tindakan pencegahan dilakukan agar kekayaan tidak terkosentrasi
pada satu atau beberapa individu saja. Pencegahan itu dilakukan dengan cara
distribusi praproduksi terhadap kekayaan dan juga pencegahan terhadap
malpraktek yakni tindakan-tindakan yang dapat merusak tatanan pasar persaingan
sempurna. Sedangkan langkah korektif (perbaikan kemiskinan) dilakukan dengan
cara transfer wajib (zakat), transfer yang direkomendasikan (sedekah
masyarakat), dan transfer pemerintah (sebagai bentuk riayatul ummah).[2] Senada dengan hal adalah apa yang disampaikan oleh Ahmad
Djalaluddin bahwa strategi islam dalam pengentasan kemiskinan itu melewati 5
(lima) tahapan, yaitu perbaikan distribusi praproduksi, peneguhan takaful
(sistem tanggungan), perbaikan
distribusi pascaproduksi (sistem jaminan sosial), dan mendorong kemandirian.[3]
Dari
apa yang dikemukakan oleh keduanya sebenarnya masih ada dua perkara penting
yang masih kurang dalam pengentasan kemiskinan islam yakni ketakwaan individu
penguasa, dorongan ketakwaan masyarakat dan penjagaan kestabilan pasar baik
pasar barang maupun pasar uang. Sebab ketidaktakwaan penguasa bisa menyebabkan
penguasa berbuat zholim dan bertindak diktator, ketidaktakwaan masyarakat bisa
mendorong sikap abai terhadap perintah Alloh dan melahirkan masyarakat yang
konsumtif, sedangkan ketidakstabilan pasar bisa menyebabkan inflasi yang
ketiga-tiganya menjadi bibit-bibit kemiskinan baik kemiskinan materi maupun
kemiskinan spritual. Sehingga strategi-strategi itu dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1. Langkah-Langkah Pengentasan Kemiskinan Dalam Islam
Pengentasan kemiskinan yang digambarkan dalam gambar 1 merupakan
pengentasan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan maqoshid syariah dalam
memandang masalah kemiskinan dan pengentasannya. Strategi-strategi tersebut
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.
Kewajiban
Penguasa Untuk Terikat Dengan Hukum Syara
Setiap sistem pemerintahan memiliki satu karakter dan satu ciri
khas tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Jika dalam sistem monarki,
seorang raja berhak membuat aturan menurut kehendaknya sendiri untuk mengatur
jalannya pemerintahan, jika dalam sistem pemerintahan demokrasi, seorang presiden
harus mengikuti ketentuan undang-undang yang dilegilasi oleh wakil rakyat, maka
dalam sistem pemerintahan islam, pemerintah dan seluruh pejabat
negara wajib menjadikan syariat islam untuk mengatur jalannya pemerintahan. An-Nabhani mengatakan bahwa dalam melegislasi hukum, khalifah (pemimpin) terikat dengan hukum-hukum syara. Diharamkan baginya melegislasi hukum yang
tidak diambil melalui proses ijtihad yang benar dari dalil-dalil syara.[4]
Penyimpangan penguasa dari syariat islam, akan mengakibatkan
kesengsaraan pada rakyatnya. Oleh karena itu, jika seorang pemimpin melakukan
penyimpangan dari syariat islam, maka Mahkamah Mazholim wajib menegurnya untuk
memperbaiki kebijakannya. Jika seorang pemimpin pemerintahan tetap menyimpang dari hukum
syara setelah ditegur maka mahkamah madzholim (mahkamah yang menilai dan mengadili kebijakan seorang pemimpin) berhak menurunkannya dari
tampuk kekuasaan. Hal ini sebagaimana perkataan an-Nabhani bahwa
Mahkamah Madzholim adalah satu-satunya lembaga yang menentukan ada tidaknya
perubahan keadaan pada diri seorang pemimpin yang menyebabkannya
tidak layak menjabat sebagai pemimpin. Mahkamah ini merupakan satu-satunya
lembaga yang memiliki wewenang memberhentikan dan menegur pemimpin.[5]
Ketentuan seperti ini akan mencegah
terjadinya kemiskinan yang disebabkan oleh kezholiman penguasa.
2.
Perbaikan
Mekanisme Distribusi Praproduksi
Mekanisme distribusi dalam islam bukan hanya dilakukan
pascaproduksi sebagaimana dalam sistem ekonomi konvensional. Distribusi
praproduksi adalah distribusi yang dilakukan oleh syara’ yang wajib diadopsi
oleh pemerintah di dalam mengklasifikasikan kepemilikan sumber daya alam yang
disediakan oleh Alloh SWT untuk seluruh manusia. Hal ini dilakukan agar seluruh
masyarakat mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan syara dalam
pengelolaan sumber daya alam. Pengklasifikasian jenis kepemilikan berlaku secara
baku (tidak berubah dengan alasan mashlahat) dimana hal itu dapat dibagi menjadi
tiga bagian yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan
umum.
Harta milik umum, milik negara, milik individu, zakat, dan hibah
dijadikan sebagai jaringan pengaman untuk memastikan bahwa kebutuhan pokok
masyarakat (sandang, pangan, dan papan) terpenuhi. Jika ada masyarakat yang
tidak berkerja karena tidak memiliki modal maka negara bisa meminjamkan atau
memberikan modal yang diambil dari harta milik negara atau milik umum dengan
akad sosial atau akad bisnis. Hal ini sebagaimana pendapat Taqiyuddin
an-Nabhani bahwa negara menjamin lapangan kerja bagi setiap warganya dan negara
selalu berusaha memutar harta diantara rakyat dan mencegah adanya peredaran
harta pada kelompok tertentu.[6]
Pendapat an-Nabhani ini sesuai dengan firman Alloh SWT:
كَيْ
لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”[7]
‘Illat (alasan) ayat
di atas dijelaskan oleh Nabi SAW. dengan memberikan harta fa’i dari Bani Nadhir
hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, padahal harta fa’i itu
milik semua kaum muslimin. Beliau tidak memberikan harta fa’i itu kepada
seorang pun di antara kaum Anshar, kecua dua orang yang fakir yang keadaannya
seperti kaum Muhajirin, kedua orang itu adalah Abu Dujanah dan Sahal bin Hanif.
‘Illat (alasan)nya adalah supaya harta itu tidak hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja. Ini adalah ‘illat syar’iyah yang berjalan beserta
ma’lul-nya ketika ada maupun ketika
tidak adanya.
Oleh karena itu, ketika terjadi kesenjangan sosial, dimana antara
yang kaya dan yang miskin terdapat jurang yang menganga, maka seorang pemimpin berkewajiban mewujudkan keseimbangan di antara mereka, sebagai wujud pengamalan
terhadap ayat di atas, sebab dari satu sisi ayat itu memberi alasan untuk
dilakukannya hal yang demikian, disamping karena lafadznya yang umum meskipun
sebabnya khusus, sebab kaidah syara’ menyatakan:
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ الْلَفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ
السَّبَبِ
“Pelajaran
itu diambil berdasarkan umumnya lafadz, bukan berdasarkan sebabnya yang
khusus”.
a a.
Distribusi
Kepemilikan Individu
Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan kepemilikan individu yaitu
hukum syara’ atas barang dan jasa, yang memberinya peluang bagi orang yang
memilikinya untuk memperoleh manfaat serta mendapatkan imbalan dari
penggunaannya.
Lebih lanjut
beliau berpendapat bahwa dengan penelitian dan pengkajian terhadap sejumlah
dalil yang menjelaskan izin asy-Syari’ mengenai pemanfaatan barang,
yakni dengan penelitian dan pengkajian
terhadap dalil-dalil kepemilikan individu, jelaslah bahwa semua sebab-sebab
pemilikan itu masuk kedalam salah satu dari lima perkara berikut ini:
Ø Kewajiban bekerja (usaha). Dalam hal ini ada tujuh jenis usaha: 1)
menghidupkan tanah (lahan) mati, 2) berburu; 3) makelaran dan perantara, 4) mudharabah,
5) musaqah, 6) bekerja kepda pihak lain dengan kompensasi, dan 7)
mengeluarkan kandungan bumi.
Ø Warisan
Ø Kebutuhan mendesak terhadap harta untuk mempertahankan hidup
Ø Pemberian (subsidi) negara kepada rakyat dari harta kepemilikan
negara, seperti pembagian tanah dan pemberian harta untuk membayar hutang atau
menolong para petani, dan lain sebagainya.
Ø Harta benda yang diperoleh seseorang tanpa mengeluarkan harta
(biaya) atau tenaga. Dalam hal ini ada lima kondisi: 1) ikatan antar individu,
seperti hadiah, hibah, wasiat, 2) hak mendapat harta sebagai ganti rugi,
seperti denda untuk orang yang dibunuh dan dilukai, 3) hak mendapat maskawin
dan segala yang menyertainya, 4) harta temuan, dan 5) kompensasi untuk pemimpin negara, mu’awin, wali (gubernur), dan penguasa-penguasa yang lain.[8]
Orang yang sudah baligh dan tidak bekerja tanpa alasan yang syar’i
maka pemimpin atau orang yang diberi amanah oleh pemimpin harus menegurnya dan
jika tetap tidak bekerja maka akan diberikan sanksi oleh karena karena ia
dianggap telah melakukan kemaksiatan. Dengan mekanisme seperti ini maka
kemiskinan kultural dan struktural akan dapat teratasi.
b b. Distribusi
Kepemilikan Negara
An-Nahbani
mendefinisikan kepemilikan negara yaitu setiap harta kekayaan yang
pendiristribuannya diserahkan kepada pendapat dan hasil ijtihad kepala negara atau pemerintah daerah yang ditunjuk oleh kepala negara seperti pajak,
kharaj, jizyah dan lain sebagainya. an-Nabhani membangun argumentasinya
tentang kepemilikan negara ini pada perbuatan Rasulullah SAW yang pernah
mendistribusikan harta fa’i dengan pendapat dan ijtihadnya. Rasulullah SAW
mendistribusikan harta kharaj dengan pendapat dan ijtihadnya. Selain itu,
Rasulullah SAW juga pernah mendistribusikan harta jizyah berdasarkan pendapat
dan ijtihadnya. Dan dalam hal ini terdapat nash syara’ yang memberi kewenangan
penuh kepada Rasulullah SAW sebagai kepala negara saat itu untuk
mendistribusikan kepemilikan negara berdasarkan pendapatnya.
Distribusi dari
kepemilikan negara ini bisa saja diberikan kepada daerah tertentu dan tidak
diberikan pada daerah yang lain, bisa pula diberikan kepada pihak-pihak
tertentu dan tidak diberikan kepada pihak yang lain. Misalnya, negara hanya
memberikan harta milik negara kepada kelompok pendapatan masyarakat yang paling
rendah untuk mengurangi kesenjangan pendapatan (mengatasi ketimpangan
pendapatan).
cc.
Kepemilikan
Umum
An-Nabhani
mendefinisikan kepemilikan umum yaitu izin asy-Syari’ (pembuat hukum)
kepada jama’ah (seluruh masyarakat) untuk memanfaatkan barang-barang
secara bersama-sama. an-Nabhani mengambil dan mendefinisikan kepemilikan
umum sebagai jenis kepemilikan tersendiri yang berbeda dengan kepemilikan
negara dan kepemilikan individu dengan bertendensikan pada dalil-dalil syara
diantaranya sabda Nabi SAW.:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ الْمَاءِ وَالْكَلَإِ
وَالنَّارِ
“Kaum muslim
bersekutu dalam tiga perkara: air, rumput dan api.”[9]
Dan sabda Nabi SAW.:
مِنًى مُنَاخُ
مَنْ سَبَقَ
“Mina adalah
tempat singgah orang yang pertama datang.”[10]
Mina adalah tempat yang populer di tanah Hijaz, yaitu tempat
singgah orang-orang haji setelah melaksanakan ibadah wukuf di Arafah. Mina
adalah untuk semua orang, sehingga siapa saja yang pertama kali datang boleh
menempatkan untanya disana. Nabi SAW. benar-benar telah menetapkan bahwa
manusia bersekutu atas jalan umum. Mengingat, nash-nash tersebut menunjukkan
bahwa asy-Syari’ benar-benar telah memberi izin kepada manusia untuk
memanfaatkan barang-barang tersebu bersama-sama. Maka, dari sinilah digali
definisi kepemilikan umum.[11]
an-Nabhani telah menetapkan sejumlah perkara yang terkatagori kepemilikan umum melulai
proses istinbath (penggalian hukum) dari dalil-dalil syara. Secara umum,
perkara-perkara yang masuk dalam kepemilikan umum ada tiga katagori[12]:
Ø Setiap sesuatu yang dibutuhkan jama’ah (masyarakat) umum, seperti
lapangan.
Ø Sumber alam (barang tambang) yang jumlahnya tidak terbatas seperti
sumber minyak.
Ø Benda-benda yang sifatnya tidak dapat dimonopoli oleh individu
tertentu, seperti sungai.
Rincian atas
kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, setiap sesuatu yang dibutuhkan
jama’ah (masyarakat) umum, seperti jalan raya, laut dan lain sebagainya. an-Nabhani menyandarkan pendapatnya ini pada sabda Rasulullah SAW.:
الْمُسْلِمُونَ
شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim
bersekutu dalam tiga perkara: air, rumput dan api.”[13]
dan sabda Nabi SAW.:
ثَلَاثٌ
لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
“Tiga perkara
tidak boleh dicegah: air, rumput dan api”.[14]
Rasulullah SAW melarang melakukan privatisasi terhadap tiga perkara
tiga perkara itu menjadi kebutuhan (masyarakat) umum yang jika diprivatisasi
akan menyebabkan orang lain kesulitan untuk mendapatkannya. Hal ini dilakukan
oleh Rasulullah SAW dimana beliau membolehkan kepemilikan air di Thaif dan
Khaibar untuk masyarakat umum. Seluruh masyarakat bisa memanfaatkannya untuk
mengairi persawahan dan perkebunan mereka tanpa ada proteksi dari orang lain. Hal
ini menjadi illat (alasan) bahwa air, api, dan padang rumput merupakan
barang publik yang keberadaan perkara-perkara itu menjadi kebutuhan jama’ah
(masyarakat) umum, dimana mereka semua sangat membutuhkannya sehingga tidak
boleh diprivatisasi oleh swasta manapun. Dengan demikian, setiap perkara yang
keberadaannya dibutuhkan jama’ah (masyarakat) umum, seperti jalan raya,
alun-alun, lapangan, hutan yang menjadi tempat penggembalaan ternak, dan lain
sebagainya menjadi kepemilikan umum.
Kedua,
yaitu sumber alam (barang tambang) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti
sumber minyak, maka an-Nabhani bertendensikan pada hadits yang datang dari
Abyadh bin Hamal:
أَنَّهُ
وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ
الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ
أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ
فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ
“Dia (Abyadh
bin Hamal) pernah datang kepada Rasulullah SAW.. Dia meminta ladang garam
kepada Rasulullah, lalu beliau pun memberinya. Kemudian setelah dia pergi, maka
ada seseorang dari majlis itu berkata: ‘Tahukah apa yang telah Engkau berikan
kepdanya? Sungguh Engkau telah memberinya air yang banyak (tidak terbatas)’.
Abyadh berkata: ‘Lalu Beliau pun menariknya kembali darinya”.[15]
Tambang
garam disamakan dengan air tersebut, karena tidak terputus. Sedangkan yang
dikehendaki disini bukan garamnya, melainkan tambangnya. Tambang yang jumlah
banyak tidak boleh diprivatisasi, sedangkan tambang yang jumlahnya sedikit maka
diperbolehkan. Hal ini dapat dipahami dari hadist diatas dimana Rasulullah SAW
melarang setelah sebelumnya memperbolehkan. Hal itu beliau lakukan setelah
mengetahui bahwa tambang tersebut jumlahnya sangat banyak (tidak terbatas).
Oleh karena itu, tambang emas yang ditemukan pada tanah milik individu boleh
dimiliki oleh pemilik tanah jika jumlahnya sedikit.
Abu
Ubaid berkata : “Ketika telah jelas kepada Nabi SAW bahwa tambang tersebut
adalah air yang banyak (tidak terbatas), maka Nabi menariknya kembali darinya.
Sebab, sunnah Rasulullah SAW. mengenai air, rumput dan api adalah menjadi milik
bersama. Beliau tidak suka mejadikannya hanya dikuasai (dimiliki) oleh individu
tertentu, tidak dengan yang lain.”
Oleh
karena itu, setiap barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas harus menjadi
kepemilikan umum. Sedangkan, apabila jumlahnya terbatas, maka ia boleh
diprivatisasi oleh individu atau swasta.
Sedangkan
yang ketiga, yaitu segala sesuatu yang sifatnya tidak dapat dimonopoli oleh
individu tertentu, seperti sungai dan laut, maka dalilnya adalah ketetapan
Rasulullah SAW. atas kepemilikan manusia secara bersama-sama terhadap jalan
umum. Begitu juga halnya sabda Nabi SAW.:
مِنًى
مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
“Mina adalah
tempat singgah orang yang pertama datang.”[16]
Mina adalah salah satu tempat yang yang berada Hijaz yang sering
dijadikan sebagai tempat peristrahatan orang-orang yang melakukan perjalanan
dan para pengembala. Oleh karena itu, tempat ini menjadi kebutuhan vital
seluruh masyarakat sehingga pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat siapa
saja yang datang pertama dan ia mengistirahatkan untanya di sana, maka tempat
itu menjadi haknya.
Itulah mekanisme distribusi praproduksi menurut an-Nabhani yang
sesungguhnya dapat mengentaskan masalah kemiskinan struktural.
3.
Peneguhan
Takaful (Sistem Tanggungan)
Islam mewajibkan kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan
darah atau memiliki hubungan saling mewarisi untuk membantu menanggung
kebutuhan-kebutuhan pokok kerabat dekatnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Alloh SWT yang disaampaikan dalam firmannya:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ
ذَٰلِكَ ۗ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan begitu pula
kewajiban orang yang mewarisi”.[17]
Dengan ketentuan seperti ini maka kemiskinan alamiyah seperti
kemiskinan yang terjadi karena tua renta, cacat fisik, cacat mental, dan lain
sebagainya dapat teratasi karena negara
mewajibkan kepada kerabatnya untuk menanggungnya. Jika dengan ketentuan ini
ternyata masih ada kemiskinan misalnya orang yang tua renta dan orang cacat
yang miskin dan tidak memiliki kerabat yang dapat menanggungnya atau memiliki
kerabat tetapi tidak mampu menanggungnya maka kemiskinan seperti ini akan
diselesaikan dengan tahap yang ke empat yaitu masuk sebagai tanggungan negara
yang kebutuhannya diambilkan dari kas baitul mall baik harta zakat maupun harta
milik negara yang penjelannya akan dijelaskan dibawah ini.
4.
Perbaikan
Distribusi Pascaproduksi (Jaminan Sosial)
Distribusi pascaproduksi adalah jaminan dari pemerintah untuk
memastikan seluruh masyarakat dapat mengakses seluruh produk-produk barang dan
jasa, baik produk itu adalah hasil produksi swasta maupun hasil produksi negara
dari barang-barang yang masuk kategori kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Adapaun, bentuk perbaikan produksi yang harus ditempuh oleh pemerintah
pascaproduksi adalah sebagai berikut:
a.
Distribusi
Hasil Produksi Harta Milik Umum
Distribusi hasil produksi harta milik umum dalam pandangan an-Nabhani harus dilakukan secara adil dan merata tanpa membedakan antara kaya dan
miskin, tanpa membedakan antara muslim dengan dan non muslim. Sebab, harta
milik umum adalah milik seluruh rakyat yang harus dikembalikan kepada mereka
secara adil dan merata.
Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa setiap individu umat berhak
memanfaatkan sesuatu yang termasuk dalam kepemilikan umum. Negara tidak
dibenarkan mengizinkan orang-orang tertentu saja dari kalangan rakyat untuk
memiliki dan mengelola pemilikan umum.[18]
Oleh karena itu, hasil produksi harta milik umum yang dikelola oleh pemerintah
harus dikembalikan kepada rakyat secara gratis, kalaupun pemerintah ingin
menarik biaya maka pemerintah hanya boleh menarik biaya produksinya saja dan
tidak mencari keuntungan dari rakyat dalam pengelolaan harta milik umum ini
karena hal ini adalah milik mereka.
Hasil produksi dari harta milik umum dikembalikan kepada rakyat
dalam bentuk program sosial (jaminan sosial) seperti pembiayaan pendidikan,
kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya yang pemanfaatannya untuk kepentingan
masyarakat secara bersama-sama seperti pembangunan infrastruktur publik
misalnya jalan dan pelabuhan untuk memudahkan masyarakat mengakses barang dan
jasa . Dengan pembiayaan dari harta milik umum maka masyarakat bisa menikmati
pendidikan dan layanan kesehatan secara gratis. Selain itu, dana dari harta
milik umum ini juga bisa digunakan oleh pemerintah untuk membangun industri
berat untuk kepentingan pembangunan industri dalam negeri. Pembangunan
infrastruktur dan industri dalam negeri merupakan salah satu perkara yang
sangat penting untuk mempercepat pembangunan nasional. Oleh karena itu, jika
dana kas negara tidak mencukupi untuk pembangunan infrastruktur dan industri
maka negara bisa menempuh mekanisme publik privat partnership (kerjasama
antara pemerintah dengan swasta) untuk membangunnya. Kebijakan publik privat
partnership dalam ekonomi islam tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar
dalam islam seperti adanya unsur riba, privatisasi atau akad-akad yang tidak
sesuai dengan ketentuan akad dalam islam.
b.
Penyaluran
Harta Milik Negara
Mekanisme penyaluran harta milik negara memiliki mekansime yang
berbeda dengan harta milik umum. Pembagian harta milik negara sangat tergantung
dari pendapat dan hasil ijtihad dari seorang pemimpin. Pembagian harta milik
negara bisa saja diberikan kepada pihak-pihak tertentu, daerah tertentu atau untuk
pembiayaan proyek tertentu. Salah satu penyaluran harta milik negara yang dapat
mengurangi kemiskinan struktural adalah pembagian tanah milik negara kepada
masyarakat yang sangat membutuhkannya. Abdul Qodim Zallum menyampaikan bahwa pemimpin negara berhak membagi-bagikan tanah harta milik
negara kepada orang yang berjasa kepada islam,
orang yang memiliki keutamaan, atau membagikannya kepada para muallaf.
Bisa juga membagikannya kepada para petani yang sangat membutuhkan tanah
sebagai mata pencahariannya.[19]
Berdasarkan keterangan diatas maka penyaluran harta milik negara
ini sangat ampuh dalam mengurangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan
pendapatan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara menyalurkan harta milik negara
hanya kepada masyarakat yang masuk dalam kelompok pendapatan yang paling
rendah.
c.
Penyaluran
Dana Zakat, Hibah, dan Wakaf
Penggunaan harta zakat tidak berdasarkan pendapat atau ijtihad
pemimpin tertinggi negara sebab penerima harta zakat telah ditetapkan oleh Alloh SWT kepada
pihak-pihak tertentu yaitu delapan ashnaf
zakat. Oleh karen itu, harta zakat tidak termasuk harta negara, hanya saja pendistribusian
harta zakat menjadi tanggung jawab seorang pemimpin negara.
Delapan kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat adalah orang
fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, gharimiin (orang yang terjerat
hutang), keperluan jihad fii sabilillah,
ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal diperjalanan).
Menurut Abdul Qodim Zallum, selain delapan ashnaf diatas maka tidak
boleh diberikan zakat kepadanya. Zakat tidak boleh dikeluarkan untuk mendirikan
masjid-masjid, rumah sakit, sarana-sarana umum, atau salah satu kepentingan
negara atau umat lainnya.[20]
Lebih lanjut Abdul Qodim Zallum menyampaikan bahwa Khallifah
mempunyai wewenang dalam mempertimbangkan penyaluran zakat kepada delapan
golongan ini sesuai dengan pendapatnya dalam memandang kemashlahatan penerima
zakat.[21]
Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah (pemimpin negara) setelah beliau.
Ada khalifah yang membagikan zakat kepada seluruh ashnaf zakat, ada pula
yang membagikan kepada sebagian ashnaf saja karena memandang mereka
lebih membutuhkannya. Oleh karena itu, harta zakat bisa digunakan sebagai
instrumen pengentasan kemiskinan yaitu dengan cara menyalurkan harta zakat
hanya kepada orang-orang fakir dan miskin. Hal ini sebagaimana pendapat Ibnu Abbas
yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid bahwa Ibnu Abbas berkata “Jika engkau
memberikan zakat hanya kepada salah satu dari delapan asnaf maka Alloh akan
memberikan pahala kepadamu”. Begitupula pendapat Atho’ dan al-Hasan
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik, yaitu “kami berpendapat bahwa
perkara pembagian zakat harus mengikuti ijtihad seorang pemimpin (wali) yaitu
golongan mana saja yang memiliki kebutuhan dan sebesar apa harta zakat yang
akan diterimanya”.
5.
Menjaga
Kestabilan Pasar (Pasar Barang dan Pasar uang)
Kemiskinan terkadang muncul karena ketidakseimbangan barang barang
dan pasar uang yang mendorong inflasi dan terkadang melahirkan krisis ekonomi
yang pada akhirnya akan meningkatkan kemiskinan. Oleh karena itu, sistem
ekonomi islam memiliki seperangkat aturan tentang mekanisme pasar syariah untuk
menjaga keseimbangan pasar agar tidak terjadi inflasi dan krisis. Memang bahwa
pemerintah tidak boleh menetapkan harga pasar bagi para produsen dan para
pedagang. Tetapi para produsen, para pemodal, para pedagang, dan para petani
wajib mematuhi aturan islam dalam aktivitas mereka. Aturan-aturan tersebut
dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
No.
|
Jenis Pasar
|
Klasifikasi Hukum
|
Prinsip Dasar
|
1.
|
Pasar
Barang dan Jasa
|
Hukum Perdagangan DN
|
·
Individu
bebas berdagang,
·
Harus sesuai rukun dan syarat
|
Hukum Perdagangan LN
|
·
Mengikuti
status pedagangnya
·
Bebas BEA
cukai untuk WN
·
WNA mengikuti
status negaranya
·
Dengan uang
emas dan perak
·
Kurs bebas,
kontan, ditempat.
|
||
Hukum Industri
|
·
Individu
boleh memiliki alat produksi
·
Haram
memproduksi barang haram
·
Haram
memproduksi barang milik umum
|
||
2.
|
Pasar TK
|
Hukum Ketenagakerjaan
|
·
Upah atas
dasar manfaat
·
Tidak boleh
ada UMR
·
Harus jelas:
jenis, masa, upah, dan tenaga
|
3.
|
Pasar Lahan
|
Hukum Lahan
|
·
Penyatuan
kepemilikan lahan dan produksi
·
Boleh
menghidupkan lahan mati
·
Larangan
menelantarkan lahan lebih dari tahun
·
Larangan
menyewakan lahan pertanian
|
4.
|
Pasar
Keuangan
|
Hukum Perbankkan
|
·
Larangan riba
nashi’ah
|
Hukum Pasar Modal
|
·
Larangan riba
nashi’ah
·
Larangan riba
fadhal
·
Larangan
maysir
·
Transaksi
kontan dan ditempat
|
||
Hukum Investasi
|
·
Harus sesuai
ketentuan syirkah islam
·
Larangan
perseroan kapitalisme
|
Sumber: Dwi Condro Triono, 2014[22]
6.
Mendorong
Kemandirian
Mendorong kemandirian ekonomi adalah salah satu cara yang harus
diupayakan pemerintah. Cara yang dilakukan dalam mendorong kemandirian adalah
dengan cara melakukan proteksi terhadap produk-produk luar negeri yang bisa
membahayakan eksistensi industri dalam negeri. Artinya, jika kebutuhan
masyarakat masih bisa dipenuhi dengan produksi dalam negeri maka sebaiknya
tidak mendatangkan produk luar negeri dengan alasan untuk mengendalikan harga
dalam negeri sebagaimana yang terjadi di indonesia selama ini. Sebab, produk
luar negeri jika dijadikan alat pengontrol inflasi maka hal ini akan mematikan gerak
industri dalam negeri disaat industri luar negeri memiliki peralatan produksi
yang lebih canggih karena mereka lebih efisien. Oleh karena itu, pemerintah
harus mengupayakan kemandirian industri dalam negeri dengan cara melakukan
proteksi terhadap produk industri luar negeri yang membahayakan eksistensi
industri dalam negeri.
Pemerintah harus mendorong pertumbuhan peningkatan industri dalam
negeri dengan cara menghimbau masyarakat melalui pendidikan moral di
lembaga-lembaga pendidikan bahwa islam melarang menimbun kekayaan tanpa tujuan
yang syari’. Hal ini dilakukan agar uang masyarakat terus berputar dimana jika
mereka memiliki kelebihan dana maka harapannya mereka akan menginvestasikannya.
Dorongan moral melalui lembaga pendidikan juga dilakukan untuk
meningkatkan ketakwaan masyarakat agar dalam berkonsumsi tidak berlebih-lebihan
(isyrof). Harapannya jika terjadi deflasi, maka mereka tidak serta-merta
menambah konsumsinya pada hal-hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Jika
hal ini berhasil dilakukan, maka akan banyak dana saving (simpanan)
dimasyarakat yang bisa digunakan untuk investasi.
[1] Taqiyuddin
an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah (muqodimah dustur)
[2] Lebih
lengkapnya lihat dalam M. Kabir Hassan, An
Integrated Poverty Alleviation Model Combining Zakat, Awqaf And Microfinance, (Jurnal, New Orleans, 2010). Hal. 2-5
[3] Disampaikan
dalam kuliah ekonomi pembangunan islam semester 3 tahun 2017.
[4] Taqiyuddin
an-Nabhani, ad-daulatu al-islamiyah hal. 347
[5] Taqiyuddin
an-Nabhani, ad-daulatu al-islamiyah , hal. 349
[6] Lihat:
Taqiuiddin an-Nabhani, Nizhom al-Islam bab ad-Dustur, halaman 204 (pasal
153) dan halaman 205 (Pasal 157)
[7] Q.S. Al-Hasyr
[59] : 7.
[8] Taqiyuddin
an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah (Muqodimah ad dustur) (, hal. 373 dengan penjelasan dari tambahan penjelasan
dari Muhammad Muhsin Rodhi
[9] HR. Al-Imam
Ahmad. Syu’aib al-Arnauth berkata “Sanad hadits ini shahih”. Lihat: Musnad
Ahmad bin Hanbal, vol. ke-5, hlm. 364. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud,
vol. ke-2, hlm. 300; dan Ibnu Majah, vol. ke-2, hlm. 826.
[10] HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Lihat: Sunan at-Tirmidzi, vol. ke-3, hlm.
288; dan Sunan Ibnu Majah, vol. ke-2, hlm. 1000.
[11] Lihat: Nizom
al-Islam, hlm. 116; an-Nizom al-Iqtishadi, hlm. 218; dan Muqaddimah
ad-Dustur, hlm. 288.
[12] Lihat: Nizom
al-Islam, hlm.198
[13] HR. Al-Imam
Ahmad. Syu’aib al-Arnauth berkata “Sanad hadits ini shahih”. Lihat: Musnad
Ahmad bin Hanbal, vol. ke-5, hlm. 364. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud,
vol. ke-2, hlm. 300; dan Ibnu Majah, vol. ke-2, hlm. 826.
[14] HR. Ibnu
Majah. Lihat: Sunan Ibnu Majah, vol. ke-2, hlm. 826. Al-Hafidz Ibnu
Hajar dalam at-Talhish berkata: “Sanadnya shahih”. Lihat: Talhish
al-Habir fi Ahaditsi ar-Rafi’i al-Kabir, Ahmad bin Ali bin Hajar
al-‘Asqalani. Ditahqiq oleh as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani al-Madani,
al-Madinah al-Munawwarah, 1384 H./1964 M., vol. ke-2, hlm. 65.
[15] HR.
At-Tirmidzi. Lihat: Sunan at-Tirmidzi, vol. ke-3, hlm. 664.
[16] HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Lihat: Sunan at-Tirmidzi, vol. ke-3, hlm.
288; dan Sunan Ibnu Majah, vol. ke-2, hlm. 1000.
[17] Qs.
Al-Baqarah: 233
[18] Taqiyuddin
an-Nabhani, Nizhom al-islam, Bab Muqiddimah ad-Dustur , hal. 199
[19] Abdul Qodim
Zallum, al-amwal fii ad-daulah al-khilafah (Bogor: Pustaka Thoriqul
Izzah, 2002), hal. 97-98
[20] Lihat: Abdul
Qadim Zallum, al-Amwal fii Daulah al-Khilafah (Bogor: Pustaka Thoriqul
Izzah, 2002), hal. 109.
[21] Abdul Qodim
Zallum, hal. 210.
[22] Lihat dalam
Ekonomi Islam Madzhab Hamfara
Komentar
Posting Komentar