Langsung ke konten utama

Pendayagunaan Zakat Produktif Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan



Pendayagunaan Zakat Produktif Dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan
Oleh: Agusmal

Ditengah kerasnya persaingan antar bangsa, antar blok ekonomi, dan antar system ekonomi saat ini, maka sebagai generasi bangsa dan umat islam sudah sepantasnya kita merenung dan berfikir mencari solusi tuntas antar permasalahan yang di hadapi oleh umat manusia saat ini khususnya umat islam yang ada di Indonesia, mengapa umat yang memiliki negeri yang kaya raya akan sumber daya alam menjadi umat yang cenderung tertinggal dan menjadi pengimpor segala macam jenis kebutuhan hidup serta menjadi negeri yang memiliki tingkat kemiskinan dan pengangguran yang sangat tinggi. Meskipun benar bahwa pertengahan tahun 1960 sampai pada tahun 1996, tingkat kemiskinan di Indonesia (baik di desa maupun di kota) berhasil ditekan pada kisaran 11 persen dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan  yang efsien. Namun, pada tahun 1998, yaitu ketika terjadi krisis keuangan di Asia, tingkat kemiskinan di Indonesia pun kembali melejit tinggi, dari yang 11 persen menjadi 19,9 persen pada akhir tahun 1998.


Pasang-surut tingkat kemiskinan seperti ini tidak hanya menimpa indonesia tetapi menimpa hampir seluruh negara berkembang. Pasang-surut tingkat kemiskinan di negara yang sedang berkembang seakan menjadi kado tahunan untuk masyarakat dan pemerintah di negara-negara tersebut.
Melihat fenomena ini, maka pada tahun 2000 terjadi perubahan dalam konsep pembangunan yang ditandai dengan hadirnya MDGs (milenium Development Goals) yang diprakarsai oleh PBB. Konsep MDGs lebih menekankan pada pengintegrasian konsep, program dan gerakan pembangunan. Berbeda dengan konsep pembangunan sebelumnya, MDGs lebih menekankan untuk fokus pada masalah utama di negara yang sedang berkembang (NSB) dimana salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan, dimana pada tahun 2015 proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan harus dikurangi hingga 50% dari kondisi tahun 1990. Deklarasi MDGs dituangkan pada bulan Oktober 2000 dan disepakati oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan kemerdekaan indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Namun, seiring
berjalannya waktu cita-cita mulia kemerdekaan khususnya dalam hal
kemakmuran belum sepenuhnya terwujud dengan baik.
Lima belas tahun telah berlalu (2000 – 2015), kehadiran program MDGs di Indonesia ternyata masih jauh dari harapan terutama dalam hal program pengentasan kemiskinan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2015 menunjukkan, 11,22 persen atau sebanyak 28,59 juta orang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Meskipun pada maret 2017 kemiskinan berhasil diturunan menjadi 10,64 persen atau sebanyak 27,77 juta jiwa, namun hal itu terbilang masih sangat tinggi, bahkan bisa dikatakan program pembangunan indonesia kurang efektif dalam mengentaskan kemiskinan sebab dana yang disalurkan oleh pemerintah baik dari dana pajak maupun hutang sangat besar setiap tahunnya.
Hal ini menurut Joko Purnomo disebabkan karena kehadiran MDGs hanyalah merupakan produk inovatif terkini dan telah dijadikan mantra baru bagi proses pembangunan di negara berkembang hanyalah menjadi penegasan kemampuan hegemonik system kapitalisme dalam meredam dan mematahkan gerakan-gerakan perlawanan sosial. Ketiadaan tindakan dari gerakan-gerakan perlawanan dalam ranah kerja-kerja diskursif membangun wacana tandingan (anti system kapitalisme) menjadi titik lemah dari gerakan perlawanan di Indonesia. Satu pekerjaan rumah bagi kaum penggiat gerakan sosial untuk merumuskan langkah strategis kedepan membangun counter hegemony yang terkonsolidasi. Artinya, MDGs yang dikonseptualisasikan oleh negara-negara maju sebagai konsep pembangunan  negara yang sedang berkembang hanya sebuah inovasi instrumen penjajahan dari negara-negara maju terhadap negara-negara yang sedang berkembang. Sehingga tidak mengherankan jika kemiskinan masih tetap melanda negara-negara yang sedang berkembang.
Melihat fenomena ini maka diperlukan sejumlah instrumen alternatif yang diharapkan dapat menjadi solusi atas persoalan kemiskinan dan problem-problem ekonomi yang lain. Salah satu instrumen tersebut adalah instrumen yang lahir dari aqidah islam yaitu zakat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam at-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Shaghir, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih”. Hadits tersebut secara eksplisit menegaskan posisi zakat sebagai instrument pengaman sosial, yang bertugas untuk menjembatani transfer kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin.
Irfan Syauqi Beik menjelasan bahwa dalam konteks yang lebih makro, konsep zakat, infak dan sedekah ini diyakini akan memiliki dampak yang sangat luar biasa. Bahkan di Barat sendiri, telah muncul sebuah konsep yang mendorong berkembangnya sharing economy atau gift economy, di mana perekonomian harus dilandasi oleh semangat berbagi dan memberi. Yochai Benkler, seorang profesor pada sekolah hukum Universitas Yale AS, menyatakan bahwa konsep sharing atau berbagi, merupakan sebuah modal yang sangat penting untuk memacu dan meningkatkan produksi dalam ekonomi. Ia bahkan menyatakan bahwa perusahaan yang mengembangkan konsep berbagi dalam interaksi antar komponen di dalamnya, akan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau menerapkannya. Sebagai contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus akan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah mendapatkannya.[1]
Swiercz dan Patricia Smith dari Universitas Georgia AS juga menegaskan bahwa solusi terbaik untuk menghadapi berbagai permasalahan tradisional resesi ekonomi, sebagaimana yang saat ini menimpa AS, adalah melalui semangat dan mekanisme “berbagi” antar komponen dalam sebuah perekonomian. Semangat berbagi inilah yang akan dapat mempertahankan level kemakmuran sebuah perekonomian. Artinya, ada korelasi yang sangat kuat antara memberi dan berbagi, dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.[2]
Hasil dari studi tersebut seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia untuk mengoptimalkan potensi zakat sebagai bentuk sharing economy utama umat islam karena  diyakini akan memberikan dampak positif yang membangun. Tingkat probabilitas keberhasilan memanfaatkan zakat sebagai instrumen dalam pengentasan kemiskinan di indonesia sangatlah besar sebab mayoritas masyarakat indonesia beragama islam dimana zakat yang merupakan share economy menjadi kewajiban bagi umat islam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irfan Syauqi Beik, menemukan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin dari 84 persen menjadi 74 persen. Kemudian dari aspek kedalaman kemiskinan, zakat juga terbukti mampu mengurangi kesenjangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, yang diindikasikan oleh penurunan nilai P1 dari Rp 540.657,01 menjadi Rp 410.337,06 dan nilai I dari 0,43 menjadi 0,33. Sedangkan ditinjau dari tingkat keparahan kemiskinan, zakat juga mampu mengurangi tingkat keparahan kemiskinan yang ditandai dengan penurunan nilai Indeks Sen (P2) dari 0,46 menjadi 0,33 dan nilai indeks FGT dari 0,19 menjadi 0,11.   Oleh  karena itu, pemerintah seharusnya berusaha mengoptimalkan pengelolaan zakat dan mendorong pendayagunaan zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan secara berkelanjutan.[3]
Pengelolaan zakat telah dilakukan oleh umat islam dinegeri ini sejak pertama kali penduduk negeri indonesia (yang dulu bernama nusantara) memeluk islam. saat itu pengelolaan zakat digerakan oleh kelompok-kelompok dakwah dan pesantren. Pemerintah saat itu (baik masih hindia belanda maupun sampai awal-awal kemerdekaan indonesia) belum melembagakan zakat. Pelembagaan pengelolaan zakat terjadi pertama kalinya pada tahun 2001 melalui Keputusan Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah membentuk lembaga resmi pengelolaan zakat dibawah komando Kementerian Agama yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Kedudukan BAZNAS semakin kokoh dengan lahirnya UU no. 23 tahun 2011. BAZNAS memiliki jaringan (cabang) diseluruh propinsi dan kota yang ada di indonesia dan memiliki program-program yang variatif dan inovatif.
Kehadiran (turut campurnya) pemerintah dalam pengelolaan zakat diharapkan dapat mengoptimalkan peran zakat dalam mengentaskan persoalan kemiskinan di negeri ini. Harapan itu terus digantungkan kepada lembaga pengelola zakat yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah ini. Namun, 10 tahun berlalu (2001-2011), peran  zakat dalam mengentaskan kemiskinan pada masa 10 tahun itu ternyata masih kurang optimal karena adanya kekeliriuan dalam manajemen zakat. Abdurrahman Qadir menjelaskan bahwa faktor utama penyebab kegagalan pengelolaan zakat dalam mengentaskan kemiskinan selama ini karena zakat yang disalurkan ke masyarakat lebih didominasi oleh zakat konsumtif sehingga ketika zakat tersebut selesai didistribusikan maka manfaat yang diterima oleh mustahiq hanya dapat digunakan  dalam kurun waktu yang singkat. Padahal, tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan.[4] hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Nazamul Hoque, Mohammad Akhtaruzzaman Khan, dan Kazi Deen Mohammad yang meneliti terhadap 17 manejer dan 85 orang penerima zakat di Bangladesh menemukan bahwa rata-rata hanya 18,5 persen dana zakat yang digunakan sebagai uang untuk pembelian bibit (diproduktifkan), sedangkan 81,5 persen digunakan untuk keperluan konsumsi. Hasilnya dana zakat yang cenderung tidak digunakan untuk tujuan produktif mengakibatkan zakat tidak dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat sebagaimana mestinya.[5]  Para mustahiq zakat yang menerima dana zakat konsumtif mungkin akan menikmati manfaat dana zakat itu, namun manfaat itu akan hilang ketika dana zakat itu telah habis dan mereka akan kembali miskin. Kejadian itu akan terus berulang, sehingga harapan mengentaskan kemiskinan dengan pendayagunaan dana zakat menjadi fatamorgana.
Pengentasan kemiskinan bisa dilakukan secara sustainable (berkelanjutan) apabila model pendayadunaan dana zakat dikelola dengan baik. Pengelolaan dana zakat yang baik dalam mengentaskan kemiskinan menurut Abudurrahman Qadir adalah dengan cara memproduktifkan dana zakat. Usaha untuk memproduktifkan dana zakat telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat pada tahun 2011 yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dana  zakat. Model pengelolaan zakat produktif disebutkan pada pasal 27 dimana disebutkan bahwa zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi sesuai dengan Peraturan Menteri.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 pasal 27 ini didasarkan pada fatwa MUI yang memperbolehkan masyarakat untuk memproduktifkan dana zakat. Dalam Fatwa MUI disebutkan bahwa dana zakat yang diberikan kepada fakir miskin dapat bersifat produktif, salah satu bentuk zakat produktif yaitu diinvestasikan dengan syarat dana zakat yang diinvestasikan disalurkan pada usaha halal sesuai dengan syariat dan peraturan yang berlaku, usaha layak serta dibina dan diawasi oleh pihak berkompeten yaitu lembaga yang mengelola dana investasi tersebut. Majelis Ulama Indonesia mendasarkan pendapatnya tentang pengelolaan zakat produktif ini pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu ketika Rasulullah SAW memberikan uang zakat kepada Umar bin Al-Khatab yang bertindak sebagai amil zakat seraya bersabda “Ambilah dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah) dan sedekahlah kepada orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak membutuhkannya dan bukan engkau meminta, maka ambillah. Dan mana-mana yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu”
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ega Pratiwi dan Irfan Syauqi Beik terhadap BAZNAS dan LAZ Dompet Duafa Republika di Kota Serang dengan menggunakan pendekatan kuantitatif  dengan menggunakan Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model CIBEST yang dikembangkan oleh Beik dan Arsyianti (2015). Model CIBEST merupakan alat ukur kemiskinan yang mengkombinasikan aspek material dan aspek spiritual. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, mereka menemukan bahwa pendayagunaan zakat produktif mampu meningkatkan kesejahteraan serta mampu menurunkan kemiskinan material dan kemiskinan absolut rumah tangga mustahik. Ini mengindikasikan bahwa apa yang telah dilakukan BAZNAS dan Dompet Dhuafa Kota Serang mampu memberikan implikasi yang positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan mustahik. Adapun dari sisi peningkatan pendapatan, maka hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan pendapatan yang signifikan. Pendapatan rata-rata mustahik BAZNAS Kota Serang mening kat dari Rp 942 ribu per bulan menjadi Rp 1,53 juta per bulan, sementara pendapatan ratarata mustahik Dompet Dhuafa Kota Serang naik dari Rp 977 ribu per bulan menjadi Rp 3,81 juta per bulan.[6]



[1] Irfan Syauqi Beik, Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika (Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. II, 2009), hal.2
[2] Irfan Syauqi Beik, Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika (Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. II, 2009), hal.2
[3] Irfan Syauqi Beik, Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika (Jurnal Pemikiran dan Gagasan, Vol. II, 2009), hal 10
[4] Abdurrahman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 83-84
[5] Nazamul Hoque, Mohammad Akhtaruzzaman Khan, Kazi Deen Mohammad, Poverty Alleviation by Zakah in a Transitional Economy : a small bussines entrepreneurial freemwork, (Jurnal of Global Entrepreneurship Research, 2015), hal. 10.
[6] Lebih lengkap lihat dalam  http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/16/08/01/ob81k7313-ini-bukti-zakat-produktif-dongkrak-angka-kesejahteraan.  Diakses pada tanggal 3 januari 2018

Komentar

Artikel Terbaik

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal) Khutbah Pertama Membaca basmalah : BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dibaca dalam hati) Mengucapkan salam : ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUHU (lalu khotib duduk dan muadzin mengumandangkan azan. Setelah selesai adzan, khatib berdiri lagi dan langsung membaca hamdalah kalimat pujian (hamdalah), yaitu: INNAL HAMDA LILLAAH, NAHMADUHUU WA NASTA’IINUHUU WA NASTAGHFIRUHU WA NA’UUDZUBILLAAHI MIN SYURUURI ‘ANFUSINAA WA MIN SYAYYI-AATI A’MAALINAA MAN YAHDILLAAHU FALAA MUDHILLALAHU WA MAN YUDHLIL FALAA HAADIYALAHU Membaca syahadat : ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAAHU WA ASYHADU ANNAA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUHUU LAA NABIYYA BA’DAHU Membaca shalawat : ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SYAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII ‘AJMA’IIN Membaca ayat alqur’an yang mengajak bertaqwa kepada allah, contoh: YA AYYUHAL

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

1.         PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Di dalam menjalani kehidupan manusia akan terus mencari tahu tentang hakikat hidupnya dan seluruh materi yang ada disekelilingnya. Dia akan terus berfikir mencari kebenaran (hakikat) hidupnya dan materi lain yang ada disekelilingnya. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk berfikir dan mencari tahu sebelum menemukan jawaban   dan memahami tentang diri dan lingkungannya. Setiap pemikiran manusia yang diberi kesimpulan akan melahirkan sebuah konsep atau ide. Setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut sebagai aktivitas berpikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. Menurut madzhab komunisme, pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak [1] . Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam : Muttafaq 'alayh dan Mukhtalaf fiih

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alay h dan Mukhtalaf Fiih Oleh : Agusmal Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah . Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli. Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah (penunjukan)   dan irsyad (petunjuk). Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat mengh