Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal)
Telah terjadi kerancuan didalam pembahasan maqosid syariah dimana para ulama kontemporer yang kembali memproklamirkan maqosid syariah dengan mengikut kepada terminologi Asy-Syatibi menjadikan mashlahat sebagai ‘illat. Tatkala asy-syatibi mengatakan bahwa:
Telah terjadi kerancuan didalam pembahasan maqosid syariah dimana para ulama kontemporer yang kembali memproklamirkan maqosid syariah dengan mengikut kepada terminologi Asy-Syatibi menjadikan mashlahat sebagai ‘illat. Tatkala asy-syatibi mengatakan bahwa:
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
Artinya: “Hukum-hukum
ditetapkan untuk kemashlahatan hamba”.[1]
Maka
beliau sesungguhnya meletakan mashlahat sebagai ‘illat (alasan/sebab
pensyariatan hukum islam). Pendapat asy-syatibi ini kemudian dijadikan sebagai
kabbah (rujukan) oleh para ulama kontemporer dalam merumuskan maqosid (tujuan
syariah) dimana mereka menjadikan mashlahat sebagai ‘illat. Misalnya
Jasser Auda, tatkala mendefisinikan maqosid syariah, beliau menegaskan bahwa
maqosid syariah adalah sejumlah tujuan (yang dianggap) Illahi dan konsep akhlak
yang melandasi proses al-Tasyri’ al-Islamiy (penyusunan hukum berdasarkan syariat islam).[2]
Akibatnya mereka memandang bahwa penyebab disyariatkannya hukum islam adalah
menjaga agama, akal, jiwa, keturunan dan harta. Pertanyaan besar yang harus
dijawab oleh para penggagas maqosid syariah, apakah mashlahat bisa dijadikan
sebagai ‘illat atau tidak? Untuk menjawab hal ini, maka umat islam harus
memahami bahwa pembahasan tentang apakah sesuatu bisa dijadikan sebagai ‘illat
atau tidak bukanlah pembahasan ulama ahli fiqih, bukan pula pembahasan ulama
ahli hadist, bukan pula pembahasan ahli kalam. Pembahasan tentang ‘illat
syara adalah pembahasan ulama ahli ushul. Oleh karena itu, untuk mengetahui
apakah mashlahat bisa dijadikan sebagai ‘illat atau tidak maka umat
islam harus melihat pandangan ulama ahli ushul tentang mashlahat.
Taqiyuddin An-Nabhani dengan hati-hati
menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif
(al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan
(ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.[3] Mengapa
An-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia
nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi shighatnya (bentuknya)
tidaklah menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya
menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat.
Misalnya firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 82 dan al-Anbiya
ayat 107 yang berbunyi:
ãAÍit\çRur z`ÏB Èb#uäöà)ø9$# $tB uqèd Öä!$xÿÏ© ×puH÷quur tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 wur ßÌt tûüÏJÎ=»©à9$# wÎ) #Y$|¡yz ÇÑËÈ
Artinya:
“Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian.” (TQS. Al-Isra: 82).
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (TQS. Al-Anbiya: 107)
Menurut
An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shighat ta‘lil (bentuk kata yang
menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lil. Sehingga
menurut beliau, ayat ini hanya mengandung al-natijah (hasil) diutusnya
Muhammad saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya
rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari
penetapan syariat. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa tujuan Allah swt mengharamkan khamr dan judi yaitu agar tidak
terjadi permusuhan dan saling memarahi diantara manusia karena khamr dan judi.
Dia Ta'ala berfirman:
$yJ¯RÎ) ßÌã ß`»sÜø¤±9$# br& yìÏ%qã ãNä3uZ÷t/ nourºyyèø9$# uä!$Òøót7ø9$#ur Îû Ì÷Ksø:$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ÇÒÊÈ
Artinya: "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi itu, "(TQS Al Maidah(5):91)
Dia juga
menjelaskan maksud penciptaan jin dan manusia agar menyembah-Nya. Allah swt berfirman:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku."(TQS Adz Dzaariyaat(51):56)
Dan tujuan Alloh dalam mewajibkan puasa adalah agar mereka menjadi
orang yang bertaqwa. Allah Ta'ala berfirman:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,"(TQS Al Baqarah(2):183)
Sedangkan tujuan-Nya dalam mewajibkan shalat adalah untuk mencegah
mereka dari perbuatan keji dan munkar. Allah Ta'ala berfirman:
( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ÇÍÎÈ
"Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar."(TQS Al Ankabut(29):45)
Demikianlah
Allah swt menjelaskan tujuannya dalam mensyariatkan hukum islam. Yang dimaksud
dengan tujuan Allah disini adalah tujuan
yang akan diraih oleh seorang manusia tatkala melaksanakan syariat Allah bukan
alasan Allah (‘illat) mensyariatkan hukum tersebut.
Ayat-ayat
diatas tentu berbeda dengan ayat-ayat yang menunjukan ada ‘illat (alasan
pensyariatan hukum) di dalamnya. Seperti firman Allah swt:
øÎ)ur
ãAqà)s?
üÏ%©#Ï9
zNyè÷Rr&
ª!$#
Ïmøn=tã
|MôJyè÷Rr&ur
Ïmøn=tã
ô7Å¡øBr&
y7øn=tã
y7y_÷ry
È,¨?$#ur
©!$#
Å"øéBur
Îû
Å¡øÿtR
$tB
ª!$#
ÏmÏö7ãB
Óy´ørBur
}¨$¨Z9$#
ª!$#ur
,ymr&
br&
çm9t±ørB
( $£Jn=sù
4Ó|Ós%
Ó÷y
$pk÷]ÏiB
#\sÛur
$ygs3»oYô_¨ry
ös5Ï9
w
tbqä3t
n?tã
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
Óltym
þÎû
Ælºurør&
öNÎgͬ!$uÏã÷r&
#sÎ)
(#öqÒs%
£`åk÷]ÏB
#\sÛur
4 c%x.ur
ãøBr&
«!$#
ZwqãèøÿtB
ÇÌÐÈ
Artinya: "…supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,"(TQS Al Ahdzab(33):37)
Dan
firman-Nya Ta'ala:
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 ÇÐÈ
Artinya: "…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu."(TQS Al Hasyr(59):7)
Dan
firman-Nya Ta'ala:
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷r& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsã $yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷F{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ãÌøtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& 4 y7Ï9ºs äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷r& #sÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºxx. ûÎiüt7ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ
Artinya: "Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,"(TQS Al
Maidah(5):89)
Maka
shighot ayat-ayat tersebut menunjukan bahwa yang disebut di dalamnya
adalah ‘illat (sebab disyariatkannya hukum), bukan tujuan dari hukum
tersebut. Jika yang dimaksud dengan maqoshid adalah hikmah penerapan syariat
maka bagaimana gambaran hikmah penerapan syariat itu? Pembahasan tersebut dapat dilihat di.
https://agus-mal.blogspot.co.id/2017/10/maqoshid-asy-syariyah-sebagai-hikmatu.html
[1]
Asafri Jaya, Konsep Maqosid, h. 64. bisa
dilihat lebih lanjud: Al Syatiby: Muwwafaqat, (Kairo: Mustafa Muhammad,
t.th.), Jilid I, h.21.
[2]
Jasser Auda, Maqosid
Untuk Pemula, h. 5
[3]
Taqiyuddin An-Nabhani.. Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah. Ushûl
al-Fiqh. Juz, III, h. 359-360).
Komentar
Posting Komentar