Oleh: Agusmal
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[1] Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tidak ada satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).[2] Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Yang dimaksud dengan lima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.[3] Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات. Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling bertentangan.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[1] Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tidak ada satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).[2] Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Yang dimaksud dengan lima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.[3] Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات. Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling bertentangan.
Maqosid dharuriyyat menempati peringkat
pertama disusul maqosid hajiyyat dan maqosid tahsiniyyat. level dharuriat
adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas.
Sementara level hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi
manusia. Selanjutnya pada level tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan
martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh,
dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan
Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat
merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.[4]
Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi
hukum Islam. Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah,
berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala
prioritas masing-masing.
1.
Memelihara Agama (حفظ الدين)
Menjaga atau memelihara agama, ditinjau
dari skala prioritasnya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: Memelihara
Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu.
Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama. memelihara
Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud
menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang
sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam
maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap
kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk
dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula
mempersulit bagi orang yang melakukannya.
2.
Memelihara jiwa (حفظ النفس )
Memelihara jiwa ditinjau dari skala
prioritas, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat pula: memelihara jiwa dalam
peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat,
seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut belawan untuk
menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan
minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali
tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.
3.
Memelihara Aqal (حفظ العقل )
Memelihara aqal, dilihat dari segi
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu: Memelihara aqal
dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika
ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
aqal. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut
Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal,
tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan
ilmu pengetahuan. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak
berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi
aqal secara langsung.
4.
Memelihara keturunan (حفظ النسل)
Memelihara keturunan, ditinjau dari
segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: memelihara
keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang
berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan
menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak
padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan
mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus
talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya,
padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis. memelihara keturunan dalam
peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam
perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika
hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak
pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5.
Memelihara Harta (حفظ المال)
Dilihat dari segi kepentingannya,
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: memelihara harta dalam
peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan
larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan
itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta. memelihara harta
dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam.
Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan
akan mempersulit orang yang memerlukan modal. memelihara harta dalam peringkat
tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau
penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis.
Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab
peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan
pertama.[5]
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan
hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima
unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini
sama juga dengan merusak visi dan misi hukum islam. Dengan demikian akan menuai
kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
[1]
Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al-
‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3. lihat juga Izzuddin
Ibn Abd al-salam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Bairut: Dar
al-Jail, t.thn), jilid II, h. 72. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, h. 1017.
[2] Al- Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al-
Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), h. 150. lebih lanjut tentang
tujuan hukum islam dapat dilihat dalam Fathi al-daraini, al-manahij
al-Ushuliyyah fi Ijtihadi bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’, (Damsyik: Dar al-Kitab
al-Hadist, 1975), h. 28; Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar
al-Fikri al-Arabi, 1958), h. 366; Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal
Philosophiy, (Islamabad; Islamic Research institute, 1977), h. 223.
[3]
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazali, al-mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),h. 20
[4] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah
menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997)
[5]
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama),
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.128 – 131.
Komentar
Posting Komentar