PARADIGMA
EKONOMI KONVENSIONAL (KAPITALISME) TERHADAP KEMISKINAN
Oleh: Agusmal
Oleh: Agusmal
A.
Pendahuluan
Makalah ini akan membahas kemiskinan di indonesia dengan
menggunakan perspektif konvensional (ekonomi kapitalisme), sehingga dalam bab
ini kami akan menyajikan beberapa buah pemikiran kami maupun hasil kajian yang
berkaitan dengan objek pembahasan yaitu masalah kemiskinan dengan perspektif
konvensional. Kami akan melakukan kajian terhadap teori-teori kemiskinan dari
sistem ekonomi konvensional (neo kapitalisme) sebagai sistem ekonomi yang
digunakan oleh indonesia saat ini.
Paradigma para ekonom terhadap berbagai fenomena ekonomi sangat
berbeda-beda antara satu aliran dengan aliran yang lainnya, sebab mereka
memiliki subjektifitas masing-masing sesuai dengan ideologi yang mereka emban
atau yang membentuk paradigma mereka. Oleh karena itu, kajian pustaka ini akan
dibuat secara sistematis agar para pembacanya dapat membedakan secara
terperinci perbedaan antara konsep islam dan konvensional dalam masalah
kemiskinan.
B.
Pengertian dan
Batasan (Garis) Kemiskinan
Hal yang paling penting dalam memberikan definisi kemiskinan maka
hal yang paling utama yang harus diketetahui oleh para ekonom adalah mereka
harus membedakan antara kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan berkaitan erat dengan standar yang
tetapkan oleh pemerintah (di indoensia standar ini ditetapkan oleh Badan Pusat
Statistik). Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup absolut bukan standar
hidup relatif. Sedangkan ketimpangan distribusi berkaitan erat dengan standar
hidup relatif seluruh masyarakat di suatu negara.
Berdasarkan hal ini, Mudrajat Kuncoro mendefinisikan kemiskinan
sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Selanjutnya menurut
Kuncoro, standar hidup minimum ditetapkan berdasarkan dua elemen, yaitu: (1)
pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan
lainnya, dan (2) jumlah kebutuhan lainnya yang sangat bervariasi yang
mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.[1]
Pengeluaran masyarakat dalam memenuhi standar gizi mungkin masih bisa diukur
dengan mengunnakan pendekatan harga, tetapi jumlah kebutuhan lainnya yang
mencerminkan biaya partisipasi dalam masyarakat masih menimbulkan perbedaan
pendapat dikalangan para ekonom, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat
peradaban masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan batas minimum
kebutuhan yang menjadi standar kemisminan menjadi dua bagian yaitu kebutuhan makanan
dan kebutuhan bukan makanan. Kebutuhan minimum makanan yang digunakan oleh BPS
adalah dengan patokan 2.100 kalori perhari, sedangkan pengeluaran kebutuhan
minimum meliputi pengeluaran perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa
yang tidak memiliki ukuran khusus. Menghitung batas kemiskinan dengan ukuran
tingkat kebutuhan ini disebut dengan Basic Needs Approach (pendekatan
kebutuhan dasar). Selain itu, BPS juga terkadang menggunakan pendekatan Head
Count Index (HCI) untuk menghitung batas kemskinan yang terjadi di
indonesia dimana pendekatan ini ditempuh dengan cara menghitung jumlah orang
miskin sebagai proporsi dari populasi. Meskipun pendekatan ini telah
mengabaikan penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi para
ekonomi neoliberal tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang paling baik untuk
digunakan karena mereka beranggapan bahwa justru poverty gap (kesenjangan
kemiskinan) yang terabaikan dalam pendekatan HCI bisa digunakan untuk
menentukan efektifitas kebijakan fiskal pemerintah (khususnya kebijakan
transfer) dalam meningkatkan pendapatan penduduk yang berada dibawah garis
kemiskinan agar kesenjangan kemiskinan yang terabaikan dalam pendekatan HCI
dapat dihilangkan.[2] Dengan dua
pendekatan ini maka BPS menetapkan bahwa
batas kemiskinan adalah US$ 1 per hari.
Dengan standar tersebut maka bagi indonesia, seseorang dikatakan
miskin jika pendapatannya sama atau lebih kecil dari 1 dollar per hari. Jika
pendapatannya melebihi 1 dollar, misalnya 1,2 dollar perhari maka ia tidak
termasuk sebagai masyarakat yang miskin.
Garis kemiskinan yang digunakan di Indonesia sebenarnya sesuai
dengan konsensus World Bank, dimana World Bank menetapkan garis kemiskinan
berdasarkan tingkat kemajuan suatu negara. World bank menetapkan pendapatan
perkapita sebesar US$ 1 per hari untuk negara-negara yang sedang berkembang
(NSB) dan US$ 2 per hari untuk negara-negara maju.
Ada pendekatan lain yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan dalam
selain dua pendekatan diatas yaitu garis kemiskinan yang dikemukakan oleh
Sajogyo dan Sam F. Poli. Keduanya menggunakan pendekatan harga beras
berdasarkan lokasi yaitu dengan membedakan antara garis kemiskinan masyarakat
pedesaan dan garis kemiskinan masyarakat perkotaan. Menurut Sajogyo, garis
kemiskinan masyarakat pedesaan adalah setara dengan nilai harga beras untuk 20
kg dan garis kemiskinan masyarakat perkotaan adalah setara dengan nilai harga
beras 30 kg. Sedangkan menurut Sam F. Poli, garis kemiskinan masyarakat
pedesaan adalah setara dengan nilai harga beras 27 kg dan garis kemiskinan
masyarakat perkotaan adalah setara dengan nilai harga beras 40 kg. Ukuran
Sajogyo dan Sam F. Poli ini berdasarkan perhitungan per kapita per bulan. Jika
pendekatan ini digunakan saat ini (februari 2017) yaitu dengan harga beras
8.500 per kilogram maka garis kemiskinan Sajogyo adalah Rp 170.000 untuk
masyarakat pedesaan dan Rp 255.000 untuk masyarakat perkotaan. Sedangkan garis
kemiskinan Sam F. Poli adalah Rp 229.500 untuk masyarakat pedesaan dan Rp
340.000 untuk masyarakat perkotaan.
C.
Jenis-Jenis
Kemiskinan
Ditinjau dari sisi jenisnya, para ekonom yang beraliran kapitalisme
membagi kemiskinan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Masing-masing penjelasannya sebagai berikut:
a.
Kemiskinan
Absolut
Kemiskinan absolut berkaitan erat dengan standar kehidupan yang
layak bagi setiap jiwa. Oleh karena itu, kemiskinan absolut ini berkaitan erat pula
dengan harga-harga barang dan jasa serta biaya perumahan yang dibutuhkan oleh
setiap individu sebab besar standar kehidupan yang layak bagi setiap jiwa
berkorelasi positif dengan tingkat harga barang dan jasa. Kemiskinan absolut
adalah suatu gambaran dari keadaan masyarakat yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang di maksud adalah makanan pokok yang
bisa memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia kebutuhan
tempat tinggal, serta aneka barang dan jasa lainnya. Kebutuhan dasar ini
sebagaimana yang telah diterangkan oleh Mudrajat Kuncoro. Kebutuhan gizi ini di
indonesia diukur dengan standar 2.100 kalori per hari. Sampai hari ini belum
jelas pengklasifikasian terhadap aneka barang dan jasa yang dimaksud oleh para
ekonom konvensional yang masuk dalam kategori kebutuhan. Hanya saja untuk di
indonesia BPS telah menetapkan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
dan IHC bahwa standar kemiskinan absolut di indonesia adalah US$ 1 per hari.
b.
Kemiskinan
Relatif
Kemiskinan relatif sangat erat kaitannya dengan distribusi
pendapatan, dimana kemiskinan relatif ini merupakan hasil perhitungan dari
pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok
pendapatan. Kemiskinan relatif adalah gambarang dari suatu kelompok pendapatan
masyarakat yang paling rendah diantara kelompok pendapatan-kelompok pendapatan
yang lain di dalam suatu negara. Oleh karena itu, seseorang yang miskin secara
relatif belum tentu miskin secara absolut tetapi seseorang yang miskin secara
absolut sudah pasti miskin secara relatif. Perbedaan tingkat pendapatan
diantara kelompok pendapatan ini biasanya disebabkan oleh ketimpangan
distribusi pendapatan. Ketimpangan distribusi pendapatan ini di dalam
negara-negara yang berideologi kapitalisme diukur dengan ditribusi pendapatan
perorangan (personal distribution), rasio gini (gini ratio),
kurva lorenz (lorenz curve), dan distribusi fungsional.
D.
Faktor-Faktor
Penyebab Kemiskinan
Ditinjau dari sebabnya, para ekonom yang beraliran kapitalisme
mengklasifikan kemiskinan menjadi tiga bagian yaitu kemiskinan kultural, kemiskinan
struktural dan kemiskinan alamiyah. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Kemiskinan
Kultural (Cultural Poverty)
Kemiskinan kultural merupakan bentuk kemiskinan yang terjadi karena
dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang negatif (tidak baik). Budaya atau
kebiasaan masyarakat yang tidak produktif dan suka mengharapkan segala
sesuatunya bersifat instan atau bahasa kasarnya adalah “mau ambil enaknya saja”
tanpa mau bekerja keras menjadi penyebab terjadinya kemiskinan kultural. Oscar
Lewis menyatakan kemiskinan adalah suatu budaya yang terjadi karena depresi
ekonomi yang berlangsung lama. Menanggapi hal ini, Hasan Aedy menyatakan bahwa sikap
mental yang tidak suka berusaha, malas, masa bodoh, manja dengan anugerah alam,
suka pasrah, dan malas bekerja adalah bagian dari budaya miskin.[3]
Pada dasarnya, kemiskinan kultural ini memiliki beberapa ciri-ciri
yang melekat erat pada penderitanya, ciri-ciri ini di kemukakan oleh DJamaluddin
Ancok dimana menurut beliau orang-orang yang menderita kemiskinan kultural
biasanya merasa diri tidak berguna, penuh dengan keputusasaan, merasa inferior,
dan sangat dependen pada orang lain. Orang miskin tersebut juga tidak memiliki
kepribadian yang kuat, kurang bisa mengontrol diri, mudah implusif dan saangat
berorientasi pada masa kini tanpa memikirkan masa depan.[4]
b.
Kemiskinan
Struktural (Struktural Poverty)
Menurut Sayogjo kemiskinan struktural disebabkan oleh dua faktor
yaitu market failure (kegagalan pasar) dan political failure (kegagalan
politik).[5]
Kegagalan pasar adalah suatu keadaan
dimana mekanisme pasar tidak bekerja sebagaimana harapan para penggagas sistem
ekonomi pasar (ekonomi kapitalisme) dimana mereka mengatakan bahwa mekanisme
pasar akan selalu bekerja secara simultan dan akan selalu menemukan
keseimbangan dengan sendirinya sebagai akibat dari tarik-menarik antara
permintaan dan penawaran. Teori mereka tentang mekanisme pasar ini ternyata
ditengah perjalanan mengalami kegagalan (tidak sesuai dengan fakta), mekanisme
pasar tidak bekerja sebagaimana teori mereka. Inilah yang disebut dengan
kegagalan pasar. Kegagalan pasar dalam meningkatkan daya beli masyarakat
menjadi penyebab kemiskinan struktural. Misalnya seseorang didera oleh
kemiskinan karena upah yang rendah sebagai akibat dari pengekloitasian masyarakat yang dilakukan oleh
para pemilik modal (kapitalis) yang memanfaatkan
dari keadaan angkatan kerja yang melonjak lebih tinggi dibandingkan dengan
kesempatan kerja. Inilah yang disebut oleh Karl Max sebagai airon wages (upah
besi).
Sedangkan political failure berhubungan dengan politik
(kebijakan) ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalisme. sistem ekonomi
kapitalisme yang memiliki gagasan privatisasi menjadi penyebab utama terjadinya
kemiskinan struktural dan kesenjangan pendapatan. Kegagalan politik yang
menjadi penyebab kemiskinan struktural biasanya terjadi karena adanya monopoli
atau privatisasi barang publik (barang-barang yang menguasai hajat hidup orang
banyak), ketimpangan distribusi pendapatan, serta inflasi dan krisis ekonomi
yang diakibatkan oleh permainan di pasar sektor non rill yang dalam sistem
ekonomi kapitalisme memang tidak dilarang.
c.
Kemiskinan
Alamiyah (Natural Poverty)
Kemiskinan alamiyah merupakan kemiskinan yang terjadi diluar
kekuasaan manusia, misalnya karena bencana alam, cacat fisik baik secara bawaan
maupun karena kecelakaan, cacat mental, dan tua rentah. Menurut para pemikir
ekonom kapitalis, kemiskinan alamiyah ini adalah jenis kemiskinan yang paling
sulit untuk diberantas karena sulit untuk diberdayakan.
E.
Kesenjangan
Distribusi Pendapatan
Salah satu
permasalahan pembangunan yang terjadi di negara-negara yang berideologi
kapitalisme saat ini adalah masalah pertumbuhan ekonomi versus distribusi
pendapatan. Nilai pertumbuhan ekonomi yang tinggi terkadang tidak menunjukan
keadaan yang sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Ada beberapa negara yang
pertumbuhannya tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak mampu
menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Paul Krugman, pemenang hadiah nobel ekonomi
tahun 2000, menyebut pertumbuhan semacam itu sebagai bubble economy (ekonomi
balon). sebaliknya ada beberapa negara yang pertumbuhannya rendah tetapi
mereka mampu menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan dan ada pula negara
yang peningkatan pertumbuhan ekonominya dapat menekan angka kemiskinan dan
pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi yang selalu
dibangga-banggakan oleh pemerintah indonesia sebagai indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi terlihat hanyalah merupakan angka yang fiktif (tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya), sebab pertumbuhan ekonomi indonesia
tidak mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang riil di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh La Rianda bahwa
pertumbuhan ekonomi indonesia dalam kurun 2005-2008 tidak mampu menurunkan
persentase pengangguran terutama dalam kurun waktu tahun 2000-2008, tidak
seperti halnya negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan
Korea Selatan yang secara nominal angka laju pertumbuhan negara-negara tersebut
dalam kurun waktu 2005-2008 cenderung menurun tetapi mereka mampu menurunkan
tingkat pengangguran.
Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang
menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi terkadang terlihat seperti balon yang
besar padahal di dalamnya kosong (pertumbuhan tidak berkualitas) dan terkadang
terlihat seperti buah nangka (pertumbuhan yang berkualitas)? Para ekonom islam
menyebut bahwa penyebab terjadinya pertumbuhan yang tidak berkualitas karena
adanya ketimpangan distribusi pendapatan ditengah-tengah masyarakat.
Ketimpangan distribusi pendapatan ini
merupakan masalah yang sangat serius yang menimpa hampir seluruh negara-negara
yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dalam menjalankan roda
pemerintahannya. Para ekonom kapitalis sejak lama telah memberikan beberapa
formula (pendekatan) yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
mengidentifikasi apakah distribusi di tengah-tengah masyarakat timpang melebihi
kewajaran ataukah berada dalam ranah kewajaran. Beberapa formula itu antara
lain sebagai berikut:
a. Distribusi
Pendapatan Perorangan (Personal Distribution)
Distribusi pendapatan perorangan
merupakan ukuran tingkat distribusi pendapatan pendapatan nasional yang
dilakukan dengan cara menghitung tingkat pendapatan seseorang dengan cara
membandingkan pendapatan masing-masing individu dengan total pendapatan
nasional lalu tingkat pendapatan masing-masing individu di klasifikasikan dalam
bentuk kuintil (5 kelompok pendapatan) atau desil (10 kelompok pendapatan).
Formula menghitung tingkat pendapatan
individu:
Keterangan:
Πi = Tingkat Pendapatan Individu 1
y1 = Total Pendapatan Individu 1
Yn = Total Pendapatan Nasional
Tabel
1.1 Contoh distribusi pendapatan perorangan suatu NSB atas dasar kelompok pendapatan
secara hipotesis
Individu
|
Tingkat Pendapatan
|
(Share) Pendapatan
|
|
Per Individu
|
kuintil (%)
|
Desil (%)
|
|
1
|
0,8
|
||
2
|
1,0
|
1,8
|
|
3
|
1,4
|
||
4
|
1,8
|
5,0
|
3,2
|
5
|
1,9
|
||
6
|
2,0
|
3,9
|
|
7
|
2,4
|
||
8
|
2,7
|
9,0
|
5,1
|
9
|
2,8
|
||
10
|
3,0
|
5,8
|
|
11
|
3,4
|
||
12
|
3,8
|
13,0
|
7,2
|
13
|
4,2
|
||
14
|
4,8
|
9,0
|
|
15
|
5,9
|
||
16
|
7,1
|
17,8
|
13,0
|
17
|
10,5
|
||
18
|
12,0
|
22,5
|
|
19
|
13,5
|
||
20
|
15,0
|
51
|
28,5
|
Sumber: Lincolin Arsyad
Dalam
kuintil, masing-masing kelompok pendapatan terdiri dari 4 orang, sedangkan
dalam desil masing-masing kelompok pendapatan terdiri dari 2 orang. Dari
perhitungan ini menunjukan bahwa 10 persen penduduk yang berpendapatan rendah
hanya menerima 5 persen dari total pendapatan nasional bahkan 50 persen
penduduk yang berpendapatan rendah hanya menikmati 19,8 persen dari total
pendapatan nasional. Sedangkan 2 orang yang paling kaya menikmati sebesar 28,5
persen dari total pendapatan nasional (ini lebih besar dari pada pendapatan 60
persen masyarakat)
b. Kurva
Lorenz
Pendekatan ini diperkenalkan pada tahun
1905 masehi oleh Conrad Lorenz seorang ahli statistika dari Amerika Serikat.
Pendekatan ini digambarkan dalam bentuk sebuah kurva yang bentuk bujur sangkar
dari kiri bawah menuju kanan atas. Jumlah penerimaan pendapatan digambarkan
pada sumbu horizontal yang menunjukan angka persentase kumulatif. Misalnya
titik 10 menunjukan 10 persen penduduk termiskin (paling rendah pendapatannya).
Sumbu vertikal menunjukan besar pendapatan yang diterima oleh masing-masing
persentase jumlah penduduk. Misalnya angka 5 yang menunjukan yang di nikmati
sebesar pendapatan sebesar 5 persen dari total pendapatan nasional.
Kemudian ada garis diagonal yang
membentuk bujur sangkar dari kiri-bawah menuju kanan-atas yang menunjukan
hubungan antara tingkat pendapatan dan persentase penduduk. Garis menunjukan
tingkat masing-masing kelompok pendapatan terhadap pendapatan nasional. Semakin
garis ini mendekati garis kemerataan sempurna maka menunjukan bahwa distribusi
pendapatan semakin merata, sebaliknya semakin garis diagonal ini menjauhi garis
kemerataan sempurna maka menunjukan bahwa distribusi pendapatan semakin tidak
merata (timpang). Contoh kurva lorenz:
c. Indeks
Gini Gini (Rasio Gini)
Indeks gini merupakan alat ukur ketimpangan
distribusi pendapatan yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1912 masehi oleh
C. Gini seorang ahli statistik dari Italia. Dari semua alat ukur ketimpangan
pendapatan, indeks gini adalah alat ukur yang paling sering digunakan oleh
berbagai negara termasuk World Bank saat ini. Untuk mengukur indeks gini maka
kita harus menempuh jalan sebagaimana dua pendekatan sebelumnya yaitu membuat
klasifikasi masyarakat berdasarkan jumlah pendapatan dalam beberapa kelompok
pendapatan, yang selanjutnya akan dianalisis dengan formula indeks gini.
Formula indeks gini yaitu sebagai berikut:
Dimana:
µt = pangsa kumulatif pendapatan
Πt = Pangsa Kumulatif Penduduk
Atau lebih
sederhananya adalah sebagai berikut:
Dimana:
Xi =
Proporsi kumulatif jumlah rumah tangga dalam kelas i
Yi = Proporsi kumulatif jumlah pendapatan
rumah tangga kelas i
Indeks
gini merupakan ukuran ketimpangan secara agregat yang nilainya berkisar antara
0 sampai 1. Jika nilai indeks gini semakin mendekati 0 maka menunjukan
distribusi pendapatan nasional semakin merata ke semua unit masyarakat,
sebaliknya jika nilai indeks gini semakin mendekati 1 maka hal itu menunjukan
distribusi pendapatan nasional semakin timpang.
Menurut
Mudrajat Kuncoro, ketimpangan yang rendah mempunyai nilai indeks gini sebesar
0,4 atau di bawahnya dan diatas 0,4 termasuk jenis ketimpangan yang tinggi.
Sedangkan Lincolin Arsyad membagi jenis ketimpangan menjadi tiga bagian yaitu:
(1) Ketimpangan rendah dimana nilai gininya berkisar antara 0,20-0,35, (2)
Ketimpangan sedang yang nilai gininya berkisar antara 0,36-0,49, dan (3)
Ketimpangan tinggi dimana nilai gininya berkisar antara 0,50-0,70.
Selain
dengan mekanisme diatas, indeks gini pula terkadang di publikasikan dalam
bentuk persentase. Hal ini sebagaimana yang digunakan oleh World Bank.
Pendekatan yang dilakukan oleh world bank ini ditempuh dengan cara memanfaatkan
kurva lorenz yang garis diagonalnya dibagi menjadi dua lokasi yaitu pedesaan
dan perkotaan.
d. Distribusi
Fungsional
Pendekatan yang lain yang sering
digunakan oleh para ekonom konvensional untuk mengukur tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan adalah distribusi fungsional atau disebut juga sebagai
distribusi pangsa faktor produksi. Pendekatan ini memiliki banyak kelemahan
salah satunya mengabaikan masyarakat yang tidak terlibat dalam proses produksi,
sebab pendekatan ini hanya menghitung distribusi pendapatan masyarakat yang
terlibat dalam proses produksi yaitu sebagai faktor produksi. Pendekatan ini
ditempuh dengan cara membandingkan antara persentase yang diterima oleh
masyarakat faktor produksi dengan persentase pendapatan nasional yang terdiri
dari upah, sewa, bunga, dan laba.
Teori ini akan menjelaskan peranan
masing-masing dari faktor produksi tersebut dalam proses produksi, yaitu
peranan tenaga kerja yang menerima upah, peranan pemilik tanah yang menerima
sewa atas tanahnya, dan peranan pemilik modal yang menerima bunga atau laba.
Dari hasil perhitungan atas peranan masing-masing faktor produksi tersebut akan
dilihat ketimpangan yang diterima masing-masing faktor produksi antara satu
dengan lainnya yang biasanya digambarkan dalam bentuk permintaan dan penawaran.
Sekian dan
Terima Kasih
Hasbunalloh wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir...
Malang, 12 Februari
2017
[1] Mudrajat
Kuncoro, Ekonomika Pembangunan, UPP STIM YKPN, 2006. Hal. 112
[2] Hal ini hasil
analisis subjektif penulis atas pernyataan Gerald M. Meier dalam bukunya Leading
Issues in Economic Development, Edisi ke 6 yang diterbitkan oleh Oxford
University Press 1995. Dimana ia mengatakan bahwa kesenjangan kemiskinan
pendapatan atau poverty gap dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan Head
Count Index. Menanggapi hal ini, Mudrajat Kuncoro dalam bukunya Ekonomika
Pembangunan mengatakan bahwa poverty gap menghitung transfer yang akan membawa
pendapatan setiap penduduk miskin hingga tingkat diatas garis kemiskinan,
sedemikian sehingga kemiskinan dapat dilenyapkan.
[3]
Hasan Aedy, Studi Tipologi Kemiskinan dan Pemberdayaan Syariah Mustahik
Fakir Miskin di Kota Kendari. Disertasi UHO, 2015. Kendari. Hal. 40
[4]
Djamaluddin Ancok, Pemanfaatan Organisasi Lokal Untuk Mengentaskan
Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia. Aditya Media. 1995. Yogyakarta.
[5]
Dikutip dalam Mubyarto, Pembangunan Ekonomi Yang Berkeadilan, dalam buku
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Aditya Media. 1995. Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar