Langsung ke konten utama

PARADIGMA EKONOMI KONVENSIONAL (KAPITALISME) TERHADAP KEMISKINAN



PARADIGMA EKONOMI KONVENSIONAL (KAPITALISME) TERHADAP KEMISKINAN
Oleh: Agusmal

A.    Pendahuluan
Makalah ini akan membahas kemiskinan di indonesia dengan menggunakan perspektif konvensional (ekonomi kapitalisme), sehingga dalam bab ini kami akan menyajikan beberapa buah pemikiran kami maupun hasil kajian yang berkaitan dengan objek pembahasan yaitu masalah kemiskinan dengan perspektif konvensional. Kami akan melakukan kajian terhadap teori-teori kemiskinan dari sistem ekonomi konvensional (neo kapitalisme) sebagai sistem ekonomi yang digunakan oleh  indonesia saat ini.
Paradigma para ekonom terhadap berbagai fenomena ekonomi sangat berbeda-beda antara satu aliran dengan aliran yang lainnya, sebab mereka memiliki subjektifitas masing-masing sesuai dengan ideologi yang mereka emban atau yang membentuk paradigma mereka. Oleh karena itu, kajian pustaka ini akan dibuat secara sistematis agar para pembacanya dapat membedakan secara terperinci perbedaan antara konsep islam dan konvensional dalam masalah kemiskinan.

B.     Pengertian dan Batasan (Garis) Kemiskinan
Hal yang paling penting dalam memberikan definisi kemiskinan maka hal yang paling utama yang harus diketetahui oleh para ekonom adalah mereka harus membedakan antara kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.  Kemiskinan berkaitan erat dengan standar yang tetapkan oleh pemerintah (di indoensia standar ini ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik). Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup absolut bukan standar hidup relatif. Sedangkan ketimpangan distribusi berkaitan erat dengan standar hidup relatif seluruh masyarakat di suatu negara.
Berdasarkan hal ini, Mudrajat Kuncoro mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Selanjutnya menurut Kuncoro, standar hidup minimum ditetapkan berdasarkan dua elemen, yaitu: (1) pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi minimum dan kebutuhan lainnya, dan (2) jumlah kebutuhan lainnya yang sangat bervariasi yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.[1] Pengeluaran masyarakat dalam memenuhi standar gizi mungkin masih bisa diukur dengan mengunnakan pendekatan harga, tetapi jumlah kebutuhan lainnya yang mencerminkan biaya partisipasi dalam masyarakat masih menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ekonom, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat peradaban masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan batas minimum kebutuhan yang menjadi standar kemisminan menjadi dua bagian yaitu kebutuhan makanan dan kebutuhan bukan makanan. Kebutuhan minimum makanan yang digunakan oleh BPS adalah dengan patokan 2.100 kalori perhari, sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum meliputi pengeluaran perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa yang tidak memiliki ukuran khusus. Menghitung batas kemiskinan dengan ukuran tingkat kebutuhan ini disebut dengan Basic Needs Approach (pendekatan kebutuhan dasar). Selain itu, BPS juga terkadang menggunakan pendekatan Head Count Index (HCI) untuk menghitung batas kemskinan yang terjadi di indonesia dimana pendekatan ini ditempuh dengan cara menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. Meskipun pendekatan ini telah mengabaikan penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi para ekonomi neoliberal tetap menganggapnya sebagai sesuatu yang paling baik untuk digunakan karena mereka beranggapan bahwa justru poverty gap (kesenjangan kemiskinan) yang terabaikan dalam pendekatan HCI bisa digunakan untuk menentukan efektifitas kebijakan fiskal pemerintah (khususnya kebijakan transfer) dalam meningkatkan pendapatan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan agar kesenjangan kemiskinan yang terabaikan dalam pendekatan HCI dapat dihilangkan.[2] Dengan dua pendekatan ini maka  BPS menetapkan bahwa batas kemiskinan adalah US$ 1 per hari.
Dengan standar tersebut maka bagi indonesia, seseorang dikatakan miskin jika pendapatannya sama atau lebih kecil dari 1 dollar per hari. Jika pendapatannya melebihi 1 dollar, misalnya 1,2 dollar perhari maka ia tidak termasuk sebagai masyarakat yang miskin.
Garis kemiskinan yang digunakan di Indonesia sebenarnya sesuai dengan konsensus World Bank, dimana World Bank menetapkan garis kemiskinan berdasarkan tingkat kemajuan suatu negara. World bank menetapkan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari untuk negara-negara yang sedang berkembang (NSB) dan US$ 2 per hari untuk negara-negara maju.
Ada pendekatan lain yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan dalam selain dua pendekatan diatas yaitu garis kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo dan Sam F. Poli. Keduanya menggunakan pendekatan harga beras berdasarkan lokasi yaitu dengan membedakan antara garis kemiskinan masyarakat pedesaan dan garis kemiskinan masyarakat perkotaan. Menurut Sajogyo, garis kemiskinan masyarakat pedesaan adalah setara dengan nilai harga beras untuk 20 kg dan garis kemiskinan masyarakat perkotaan adalah setara dengan nilai harga beras 30 kg. Sedangkan menurut Sam F. Poli, garis kemiskinan masyarakat pedesaan adalah setara dengan nilai harga beras 27 kg dan garis kemiskinan masyarakat perkotaan adalah setara dengan nilai harga beras 40 kg. Ukuran Sajogyo dan Sam F. Poli ini berdasarkan perhitungan per kapita per bulan. Jika pendekatan ini digunakan saat ini (februari 2017) yaitu dengan harga beras 8.500 per kilogram maka garis kemiskinan Sajogyo adalah Rp 170.000 untuk masyarakat pedesaan dan Rp 255.000 untuk masyarakat perkotaan. Sedangkan garis kemiskinan Sam F. Poli adalah Rp 229.500 untuk masyarakat pedesaan dan Rp 340.000 untuk masyarakat perkotaan.
C.    Jenis-Jenis Kemiskinan
Ditinjau dari sisi jenisnya, para ekonom yang beraliran kapitalisme membagi kemiskinan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Masing-masing penjelasannya sebagai berikut:
a.       Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut berkaitan erat dengan standar kehidupan yang layak bagi setiap jiwa. Oleh karena itu, kemiskinan absolut ini berkaitan erat pula dengan harga-harga barang dan jasa serta biaya perumahan yang dibutuhkan oleh setiap individu sebab besar standar kehidupan yang layak bagi setiap jiwa berkorelasi positif dengan tingkat harga barang dan jasa. Kemiskinan absolut adalah suatu gambaran dari keadaan masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar yang di maksud adalah makanan pokok yang bisa memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia kebutuhan tempat tinggal, serta aneka barang dan jasa lainnya. Kebutuhan dasar ini sebagaimana yang telah diterangkan oleh Mudrajat Kuncoro. Kebutuhan gizi ini di indonesia diukur dengan standar 2.100 kalori per hari. Sampai hari ini belum jelas pengklasifikasian terhadap aneka barang dan jasa yang dimaksud oleh para ekonom konvensional yang masuk dalam kategori kebutuhan. Hanya saja untuk di indonesia BPS telah menetapkan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dan IHC bahwa standar kemiskinan absolut di indonesia adalah US$ 1 per hari.
b.      Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif sangat erat kaitannya dengan distribusi pendapatan, dimana kemiskinan relatif ini merupakan hasil perhitungan dari pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan. Kemiskinan relatif adalah gambarang dari suatu kelompok pendapatan masyarakat yang paling rendah diantara kelompok pendapatan-kelompok pendapatan yang lain di dalam suatu negara. Oleh karena itu, seseorang yang miskin secara relatif belum tentu miskin secara absolut tetapi seseorang yang miskin secara absolut sudah pasti miskin secara relatif. Perbedaan tingkat pendapatan diantara kelompok pendapatan ini biasanya disebabkan oleh ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpangan distribusi pendapatan ini di dalam negara-negara yang berideologi kapitalisme diukur dengan ditribusi pendapatan perorangan (personal distribution), rasio gini (gini ratio), kurva lorenz (lorenz curve), dan distribusi fungsional.
D.    Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Ditinjau dari sebabnya, para ekonom yang beraliran kapitalisme mengklasifikan kemiskinan menjadi tiga bagian yaitu kemiskinan kultural, kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiyah. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Kemiskinan Kultural (Cultural Poverty)
Kemiskinan kultural merupakan bentuk kemiskinan yang terjadi karena dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang negatif (tidak baik). Budaya atau kebiasaan masyarakat yang tidak produktif dan suka mengharapkan segala sesuatunya bersifat instan atau bahasa kasarnya adalah “mau ambil enaknya saja” tanpa mau bekerja keras menjadi penyebab terjadinya kemiskinan kultural. Oscar Lewis menyatakan kemiskinan adalah suatu budaya yang terjadi karena depresi ekonomi yang berlangsung lama. Menanggapi hal ini, Hasan Aedy menyatakan bahwa sikap mental yang tidak suka berusaha, malas, masa bodoh, manja dengan anugerah alam, suka pasrah, dan malas bekerja adalah bagian dari budaya miskin.[3]
Pada dasarnya, kemiskinan kultural ini memiliki beberapa ciri-ciri yang melekat erat pada penderitanya, ciri-ciri ini di kemukakan oleh DJamaluddin Ancok dimana menurut beliau orang-orang yang menderita kemiskinan kultural biasanya merasa diri tidak berguna, penuh dengan keputusasaan, merasa inferior, dan sangat dependen pada orang lain. Orang miskin tersebut juga tidak memiliki kepribadian yang kuat, kurang bisa mengontrol diri, mudah implusif dan saangat berorientasi pada masa kini tanpa memikirkan masa depan.[4]
b.      Kemiskinan Struktural (Struktural Poverty)
Menurut Sayogjo kemiskinan struktural disebabkan oleh dua faktor yaitu market failure (kegagalan pasar) dan political failure (kegagalan politik).[5]  Kegagalan pasar adalah suatu keadaan dimana mekanisme pasar tidak bekerja sebagaimana harapan para penggagas sistem ekonomi pasar (ekonomi kapitalisme) dimana mereka mengatakan bahwa mekanisme pasar akan selalu bekerja secara simultan dan akan selalu menemukan keseimbangan dengan sendirinya sebagai akibat dari tarik-menarik antara permintaan dan penawaran. Teori mereka tentang mekanisme pasar ini ternyata ditengah perjalanan mengalami kegagalan (tidak sesuai dengan fakta), mekanisme pasar tidak bekerja sebagaimana teori mereka. Inilah yang disebut dengan kegagalan pasar. Kegagalan pasar dalam meningkatkan daya beli masyarakat menjadi penyebab kemiskinan struktural. Misalnya seseorang didera oleh kemiskinan karena upah yang rendah sebagai akibat dari  pengekloitasian masyarakat yang dilakukan oleh para pemilik modal (kapitalis)  yang memanfaatkan dari keadaan angkatan kerja yang melonjak lebih tinggi dibandingkan dengan kesempatan kerja. Inilah yang disebut oleh Karl Max sebagai airon wages (upah besi).
Sedangkan political failure berhubungan dengan politik (kebijakan) ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalisme. sistem ekonomi kapitalisme yang memiliki gagasan privatisasi menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan struktural dan kesenjangan pendapatan. Kegagalan politik yang menjadi penyebab kemiskinan struktural biasanya terjadi karena adanya monopoli atau privatisasi barang publik (barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak), ketimpangan distribusi pendapatan, serta inflasi dan krisis ekonomi yang diakibatkan oleh permainan di pasar sektor non rill yang dalam sistem ekonomi kapitalisme memang tidak dilarang.
c.       Kemiskinan Alamiyah (Natural Poverty)
Kemiskinan alamiyah merupakan kemiskinan yang terjadi diluar kekuasaan manusia, misalnya karena bencana alam, cacat fisik baik secara bawaan maupun karena kecelakaan, cacat mental, dan tua rentah. Menurut para pemikir ekonom kapitalis, kemiskinan alamiyah ini adalah jenis kemiskinan yang paling sulit untuk diberantas karena sulit untuk diberdayakan.
E.     Kesenjangan Distribusi Pendapatan
Salah satu permasalahan pembangunan yang terjadi di negara-negara yang berideologi kapitalisme saat ini adalah masalah pertumbuhan ekonomi versus distribusi pendapatan. Nilai pertumbuhan ekonomi yang tinggi terkadang tidak menunjukan keadaan yang sebenarnya yang terjadi di masyarakat. Ada beberapa negara yang pertumbuhannya tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak mampu menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Paul Krugman, pemenang hadiah nobel ekonomi tahun 2000, menyebut pertumbuhan semacam itu sebagai bubble economy (ekonomi balon). sebaliknya ada beberapa negara yang pertumbuhannya rendah tetapi mereka mampu menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan dan ada pula negara yang peningkatan pertumbuhan ekonominya dapat menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi yang selalu dibangga-banggakan oleh pemerintah indonesia sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi terlihat hanyalah merupakan angka yang fiktif (tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya), sebab pertumbuhan ekonomi indonesia tidak mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang riil di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh La Rianda bahwa pertumbuhan ekonomi indonesia dalam kurun 2005-2008 tidak mampu menurunkan persentase pengangguran terutama dalam kurun waktu tahun 2000-2008, tidak seperti halnya negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan yang secara nominal angka laju pertumbuhan negara-negara tersebut dalam kurun waktu 2005-2008 cenderung menurun tetapi mereka mampu menurunkan tingkat pengangguran.
Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi terkadang terlihat seperti balon yang besar padahal di dalamnya kosong (pertumbuhan tidak berkualitas) dan terkadang terlihat seperti buah nangka (pertumbuhan yang berkualitas)? Para ekonom islam menyebut bahwa penyebab terjadinya pertumbuhan yang tidak berkualitas karena adanya ketimpangan distribusi pendapatan ditengah-tengah masyarakat.
Ketimpangan distribusi pendapatan ini merupakan masalah yang sangat serius yang menimpa hampir seluruh negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dalam menjalankan roda pemerintahannya. Para ekonom kapitalis sejak lama telah memberikan beberapa formula (pendekatan) yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengidentifikasi apakah distribusi di tengah-tengah masyarakat timpang melebihi kewajaran ataukah berada dalam ranah kewajaran. Beberapa formula itu antara lain sebagai berikut:
a.       Distribusi Pendapatan Perorangan (Personal Distribution)
Distribusi pendapatan perorangan merupakan ukuran tingkat distribusi pendapatan pendapatan nasional yang dilakukan dengan cara menghitung tingkat pendapatan seseorang dengan cara membandingkan pendapatan masing-masing individu dengan total pendapatan nasional lalu tingkat pendapatan masing-masing individu di klasifikasikan dalam bentuk kuintil (5 kelompok pendapatan) atau desil (10 kelompok pendapatan).
Formula menghitung tingkat pendapatan individu:

Keterangan:
Πi                = Tingkat Pendapatan Individu 1
y1                = Total Pendapatan Individu 1
Yn               = Total Pendapatan Nasional
Tabel 1.1 Contoh distribusi pendapatan perorangan suatu NSB atas dasar kelompok pendapatan secara hipotesis
Individu
Tingkat Pendapatan
(Share) Pendapatan
Per Individu
kuintil (%)
Desil (%)
1
0,8


2
1,0

1,8
3
1,4


4
1,8
5,0
3,2
5
1,9


6
2,0

3,9
7
2,4


8
2,7
9,0
5,1
9
2,8


10
3,0

5,8
11
3,4


12
3,8
13,0
7,2
13
4,2


14
4,8

9,0
15
5,9


16
7,1
17,8
13,0
17
10,5


18
12,0

22,5
19
13,5


20
15,0
51
28,5
Sumber: Lincolin Arsyad
Dalam kuintil, masing-masing kelompok pendapatan terdiri dari 4 orang, sedangkan dalam desil masing-masing kelompok pendapatan terdiri dari 2 orang. Dari perhitungan ini menunjukan bahwa 10 persen penduduk yang berpendapatan rendah hanya menerima 5 persen dari total pendapatan nasional bahkan 50 persen penduduk yang berpendapatan rendah hanya menikmati 19,8 persen dari total pendapatan nasional. Sedangkan 2 orang yang paling kaya menikmati sebesar 28,5 persen dari total pendapatan nasional (ini lebih besar dari pada pendapatan 60 persen masyarakat)
b.      Kurva Lorenz
Pendekatan ini diperkenalkan pada tahun 1905 masehi oleh Conrad Lorenz seorang ahli statistika dari Amerika Serikat. Pendekatan ini digambarkan dalam bentuk sebuah kurva yang bentuk bujur sangkar dari kiri bawah menuju kanan atas. Jumlah penerimaan pendapatan digambarkan pada sumbu horizontal yang menunjukan angka persentase kumulatif. Misalnya titik 10 menunjukan 10 persen penduduk termiskin (paling rendah pendapatannya). Sumbu vertikal menunjukan besar pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase jumlah penduduk. Misalnya angka 5 yang menunjukan yang di nikmati sebesar pendapatan sebesar 5 persen dari total pendapatan nasional.
Kemudian ada garis diagonal yang membentuk bujur sangkar dari kiri-bawah menuju kanan-atas yang menunjukan hubungan antara tingkat pendapatan dan persentase penduduk. Garis menunjukan tingkat masing-masing kelompok pendapatan terhadap pendapatan nasional. Semakin garis ini mendekati garis kemerataan sempurna maka menunjukan bahwa distribusi pendapatan semakin merata, sebaliknya semakin garis diagonal ini menjauhi garis kemerataan sempurna maka menunjukan bahwa distribusi pendapatan semakin tidak merata (timpang). Contoh kurva lorenz:

c.       Indeks Gini Gini (Rasio Gini)
Indeks gini merupakan alat ukur ketimpangan distribusi pendapatan yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1912 masehi oleh C. Gini seorang ahli statistik dari Italia. Dari semua alat ukur ketimpangan pendapatan, indeks gini adalah alat ukur yang paling sering digunakan oleh berbagai negara termasuk World Bank saat ini. Untuk mengukur indeks gini maka kita harus menempuh jalan sebagaimana dua pendekatan sebelumnya yaitu membuat klasifikasi masyarakat berdasarkan jumlah pendapatan dalam beberapa kelompok pendapatan, yang selanjutnya akan dianalisis dengan formula indeks gini. Formula indeks gini yaitu sebagai berikut:
Dimana:
µt       = pangsa kumulatif pendapatan
Πt      = Pangsa Kumulatif Penduduk
Atau lebih sederhananya adalah sebagai berikut:
Dimana:
Xi      =  Proporsi kumulatif jumlah rumah tangga dalam kelas i
Yi      = Proporsi kumulatif jumlah pendapatan rumah tangga kelas i
Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan secara agregat yang nilainya berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai indeks gini semakin mendekati 0 maka menunjukan distribusi pendapatan nasional semakin merata ke semua unit masyarakat, sebaliknya jika nilai indeks gini semakin mendekati 1 maka hal itu menunjukan distribusi pendapatan nasional semakin timpang.
Menurut Mudrajat Kuncoro, ketimpangan yang rendah mempunyai nilai indeks gini sebesar 0,4 atau di bawahnya dan diatas 0,4 termasuk jenis ketimpangan yang tinggi. Sedangkan Lincolin Arsyad membagi jenis ketimpangan menjadi tiga bagian yaitu: (1) Ketimpangan rendah dimana nilai gininya berkisar antara 0,20-0,35, (2) Ketimpangan sedang yang nilai gininya berkisar antara 0,36-0,49, dan (3) Ketimpangan tinggi dimana nilai gininya berkisar antara 0,50-0,70.
Selain dengan mekanisme diatas, indeks gini pula terkadang di publikasikan dalam bentuk persentase. Hal ini sebagaimana yang digunakan oleh World Bank. Pendekatan yang dilakukan oleh world bank ini ditempuh dengan cara memanfaatkan kurva lorenz yang garis diagonalnya dibagi menjadi dua lokasi yaitu pedesaan dan perkotaan.
d.      Distribusi Fungsional
Pendekatan yang lain yang sering digunakan oleh para ekonom konvensional untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan adalah distribusi fungsional atau disebut juga sebagai distribusi pangsa faktor produksi. Pendekatan ini memiliki banyak kelemahan salah satunya mengabaikan masyarakat yang tidak terlibat dalam proses produksi, sebab pendekatan ini hanya menghitung distribusi pendapatan masyarakat yang terlibat dalam proses produksi yaitu sebagai faktor produksi. Pendekatan ini ditempuh dengan cara membandingkan antara persentase yang diterima oleh masyarakat faktor produksi dengan persentase pendapatan nasional yang terdiri dari upah, sewa, bunga, dan laba.
Teori ini akan menjelaskan peranan masing-masing dari faktor produksi tersebut dalam proses produksi, yaitu peranan tenaga kerja yang menerima upah, peranan pemilik tanah yang menerima sewa atas tanahnya, dan peranan pemilik modal yang menerima bunga atau laba. Dari hasil perhitungan atas peranan masing-masing faktor produksi tersebut akan dilihat ketimpangan yang diterima masing-masing faktor produksi antara satu dengan lainnya yang biasanya digambarkan dalam bentuk permintaan dan penawaran.

Sekian dan Terima Kasih
Hasbunalloh wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir...
Malang, 12 Februari 2017


[1] Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan, UPP STIM YKPN, 2006. Hal.  112
[2] Hal ini hasil analisis subjektif penulis atas pernyataan Gerald M. Meier dalam bukunya Leading Issues in Economic Development, Edisi ke 6 yang diterbitkan oleh Oxford University Press 1995. Dimana ia mengatakan bahwa kesenjangan kemiskinan pendapatan atau poverty gap dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan Head Count Index. Menanggapi hal ini, Mudrajat Kuncoro dalam bukunya Ekonomika Pembangunan mengatakan bahwa poverty gap menghitung transfer yang akan membawa pendapatan setiap penduduk miskin hingga tingkat diatas garis kemiskinan, sedemikian sehingga kemiskinan dapat dilenyapkan.
[3] Hasan Aedy, Studi Tipologi Kemiskinan dan Pemberdayaan Syariah Mustahik Fakir Miskin di Kota Kendari.  Disertasi UHO, 2015.  Kendari. Hal. 40
[4] Djamaluddin Ancok, Pemanfaatan Organisasi Lokal Untuk Mengentaskan Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia. Aditya Media. 1995. Yogyakarta.
[5] Dikutip dalam Mubyarto, Pembangunan Ekonomi Yang Berkeadilan, dalam buku Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Aditya Media. 1995. Yogyakarta.

Komentar

Artikel Terbaik

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal) Khutbah Pertama Membaca basmalah : BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dibaca dalam hati) Mengucapkan salam : ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUHU (lalu khotib duduk dan muadzin mengumandangkan azan. Setelah selesai adzan, khatib berdiri lagi dan langsung membaca hamdalah kalimat pujian (hamdalah), yaitu: INNAL HAMDA LILLAAH, NAHMADUHUU WA NASTA’IINUHUU WA NASTAGHFIRUHU WA NA’UUDZUBILLAAHI MIN SYURUURI ‘ANFUSINAA WA MIN SYAYYI-AATI A’MAALINAA MAN YAHDILLAAHU FALAA MUDHILLALAHU WA MAN YUDHLIL FALAA HAADIYALAHU Membaca syahadat : ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAAHU WA ASYHADU ANNAA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUHUU LAA NABIYYA BA’DAHU Membaca shalawat : ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SYAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII ‘AJMA’IIN Membaca ayat alqur’an yang mengajak bertaqwa kepada allah, contoh: YA AYYUHAL

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

1.         PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Di dalam menjalani kehidupan manusia akan terus mencari tahu tentang hakikat hidupnya dan seluruh materi yang ada disekelilingnya. Dia akan terus berfikir mencari kebenaran (hakikat) hidupnya dan materi lain yang ada disekelilingnya. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk berfikir dan mencari tahu sebelum menemukan jawaban   dan memahami tentang diri dan lingkungannya. Setiap pemikiran manusia yang diberi kesimpulan akan melahirkan sebuah konsep atau ide. Setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut sebagai aktivitas berpikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. Menurut madzhab komunisme, pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak [1] . Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam : Muttafaq 'alayh dan Mukhtalaf fiih

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alay h dan Mukhtalaf Fiih Oleh : Agusmal Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah . Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli. Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah (penunjukan)   dan irsyad (petunjuk). Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat mengh