Langsung ke konten utama

HAKIKAT AMAL (PERBUATAN) MANUSIA


Agusmal
1.      Sekapur Sirih
Menasehati dan mengajak orang lain untuk taat pada Alloh swt adalah perkara yang mudah, namun tahukah saudaraku bahwa mengimplementasikan semua perkara yang telah kita nasehatkan pada orang lain itu terkadang terasa begitu sulit bagi diri kita sendiri. Begitu banyak manusia di masa kita saat ini yang alim al-lisan bi laa amal (alim hanya sebatas lisan tanpa diikuti dengan perbuatan), kita hidup pada masa dimana sebagian orang yang bergelar intektual muslim menjadi pengritik dan pendistorsi terhadap tatanan syariat islam. Mereka memperjualbelikan ayat-ayat al-Qur’an dengan harga yang sangat murah (baik itu dengan kucuran dana asing maupun dengan jabatan). Padahal sebagian besar dari mereka adalah alumni perguruan tinggi islam dan pondok pesantren.

Seluruh umat islam mengetahui bahwa dunia ini merupakan tempat persinggahan sementara dan akhirat menjadi tujuan akhir dalam perjalanan mereka. Mereka memahami dan sangat tahu akan perkara itu, tetapi hanya sedikit dari mereka yang sadar terhadap terhadap hal itu. Oleh karena itu, meskipun mereka tahu bahwa mereka akan meninggalkan dunia ini dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan mereka selama hidup di dunia namun mereka tetap saja lalai dari mengerjakan perintah Alloh swt. Jikalau pun mereka mengerjakan perintah Alloh, maka mereka hanya membatasi diri pada kewajiban sholat dan lalai dari kewajiban-kewajiban yang lainnya yang setara dengan sholat (ditinjau dari sisi kewajibannya) seperti kewajiban melaksanakan aktivitas dakwah. Mereka berperilaku sebagaimana perilaku Bani Israel yang memilah-milah ayat-ayat kitab sucinya sekehendak hatinya. Jika ada suatu ayat yang mereka anggap mudah untuk mengerjakannya maka mereka akan lakukan, tetapi jika ada ayat yang mereka merasa keberatan didalam hati mereka untuk mengerjakannya maka mereka akan mengabaikannya bahkan menghapusnya. Begitupun sebagian umat islam hari ini, mereka mengabaikan perintah Alloh swt. Memang mereka tidak merubah teks ayat-ayat al-Qur’an, tetapi mereka telah mendistorsi makna-makna dari ayat-ayat al-Qur’an yang memberatkan hati mereka dan makna ayat itu dialihkan sesuai dengan hawa nafsunya (kepentingannya). Orang-orang seperti ini sesungguhnya terkena penyakit hati yang akut yakni tidak ada keikhlasan dalam menjalankan perintah Alloh.
Mempelari dan membina diri dengan tsaqofah islam memang kewajiban bagi setiap manusia, tetapi jangan lupa bahwa ada perkara yang sangat penting untuk diketahui sebelum menunaikan kewajiban pada penciptanya, yaitu mengetahui hakekat amal (perbuatan) manusia di sisi Alloh swt. Sebab, jika seseorang mengerjakan perintah Alloh swt tanpa mengetahui hakikat perbuatannya maka bisa jadi amalnya sia-sia bahkan bisa menjadi dosa besar. Oleh karena itu, dalam lembaran yang ringkas ini, saya ingin memberikan gambaran yang ringkas tentang syarat-syarat diterimanya amal (perbuatan)
2.      Parameter Perbuatan Manusia
Pemahaman dan pemikiran seseorang yang cenderung mempengaruhi perbuatannya, Seseorang bertingkah-laku sesuai dengan pemikirannya. Jika kita meminta pendapat kepada wanita barat yang tidak beragama islam tentang pakaian jilbab dan kerudung yang di pakai oleh wanita-wanita muslimah, mungkin saja ia akan menjawab bahwa pakaian itu sangat kuno, ketinggalan zaman, dan jelek. Tetapi jika kita bertanya kepadanya tentang pakaian mini yang memperlihatkan sebagian besar kemolekan tubuh wanita, mungkin saja ia akan menjawab bahwa pakaian itu adalah pakaian yang baik, modern, dan bagus. Sebaliknya, jika pertanyaan itu kita lemparkan kepada wanita muslimah yang taat kepada Alloh maka jawabannya akan bertentangan dengan jawaban wanita barat tersebut. Semua itu terjadi karena wanita itu memiliki pemahaman dan persepsi yang berbeda tentang stadar baik-buruk dan standar benar-salah.
Secara umum, parameter perbuatan manusia ada dua yaitu parameter mashlahat aqliyah dan parameter syariat. Parameter mashlahat aqliyah adalah suatu parameter yang menjadikan mashlahat yang ditimbul dari proses berfikir untuk menentukan baik-buruk dan benar-salahnya perbuatannya. Sedangkan parameter syariat adalah parameter perbuatan manusia yang menjadikan syariat islam sebagai standar dalam menentukan baik-buruk dan benar-salahnya perbuatannya. Jika islam memandang bahwa suatu perbuatan itu buruk maka orang yang menggunakan parameter yang kedua ini akan mengikutinya (menganggap hal itu sebagai perbuatan yang buruk). Begitupun sebaliknya, jika islam menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pula baginya.
Sedangkan orang yang menggunakan parameter mashlahat aqliyah sebagai parameter dalam perbuatannya akan cenderung mengikuti hawa nafsunya. Parameter ini akan melahirkan ketidakseimbangan, pertentangan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, bisa jadi seseorang menganggap suatu perbuatan mendatangkan mashlahat tetapi bagi orang lain hal itu akan mendatangkan mudharat (kerusakan). Hal itu, karena pola pikir setiap orang di masyarakat berbeda-beda dan cenderung dipengaruhi oleh kepentingan individualistik. Parameter ini (mashlahat aqliyah) akan selalu melahirkan pertentangan dan perselisihan di tengah-tengah masyarakat yang akan berujung pada penindasan sebagian orang kepada sebagian yang lain.
Oleh karena itu, menjadikan syariat islam sebagai paramenter dalam perbuatan manusia adalah sebuah keharusan bagi orang-orang yang mendambakan kehidupan yang damai dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebab, dengan menjadikan syariat islam sebagai parameter perbuatan maka tidak ada seorang pun yang dirugikan karena parameter perbuatan mereka sama yaitu syariat islam. Jika ada yang meragukan keadilan dan kehebatan parameter ini maka silahkan cari satu aturan dari syariat islam yang menindas masyarakat atau merugikan satu golongan tertentu dan menguntungkan golongan yang lain.
Namun harus dipahami oleh seluruh umat islam bahwa kewajiban menjadikan syariat islam sebagai standar perbuatan mereka bukan karena di dalam syariat islam itu terdapat mashlahat melainkan karena ini adalah perintah Alloh swt.
Para sholihin selalu mengedepankan nilai-nilai ta’abbudi (taat pada perintah secara mutlak tanpa mencari tahu manfaat dari perintah Alloh itu) dalam menjalankan perintah Alloh swt. Inilah yang menjadikan mereka sebagai kekasih Alloh dan Rasul-Nya, mereka selalu menjadikan hukum syara sebagai tolok ukur perbuatan mereka. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Muhammad bin Muhammad bin Ismail dalam kitabnya yang berjudul fikru al-islam:


3.      Syarat Diterimanya Perbuatan Manusia
Islam menetapkan tiga perkara diterimanya amal seseorang yaitu islam, rukun, dan ikhlas. Dengan menjadikan islam sebagai syarat, maka amalan orang-orang kafir tidak akan pernah diterima oleh Alloh swt., begitupula dengan menjadikan rukun sebagai syarat maka amalan seorang muslim yang tidak mengikuti ketentuan Alloh dan Rasululullah juga tertolak. Sedangkan dengan menjadikan ikhlas sebagai syarat maka amalan seorang muslim yang dilakukan tidak karena mengharapkan balasan dan ridha dari Alloh swt juga tertolak.
Dengan demikian, bagi seorang muslim yang ingin melaksanakan perintah Alloh maka ia harus memperhatikan syarat dan rukun dari amalan tersebut, sebab jika syarat dan rukun dalam perbuatannya tidak terpenuhi maka perbuatannya akan menyimpang dari ketentuan syara’ dan tidak ada yang dia dapatkan kecuali dosa karena beribadah dengan tata cara yang salah atau beribadah tetapi dengan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Alloh ta’ala. Rasulullah saw bersabda:
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد (رواه مسلم و الطرميذي و ابو داود و احمد)
Artinya: “Barang siapa yang melakukan perbuatan (amalan) yang tidak kami perintahkan maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim, tirmidzy, Abu Dawud, dan Ahmad)
Oleh karena itu, beribadah dan beramal sholih di dalam islam harus mengikuti ketentuan Alloh swt bukan menggunakan timbangan mashlahat aqliyah.
Sedangkan ikhlas yang harus dipenuhi dalam beribadah dan beramal sholih merupakan perkara yang paling berat dan paling sulit, perkara utama yang menjadi penentu diterimanya amal seseorang, dan perkara yang mudah didefinisikan tetapi sulit dipraktekan. Ikhlas adalah perbuatan hati yang tersimpan dilubuk hati yang paling dalam yang tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali pemilik hati (individu itu sendiri) dan penciptanya (Alloh swt). Di dalam kitab Min Muqowwimat an-Nafsiyah al-Islamiyah diterangkan bahwa:
و اما الإخلاص في الطاعة فهو ترك الرياء، وهو من أعمال القلوب لا يعلمه الا العبد وخالقه، وربما خفي واختلط أمره على العبد حتى يدقق و يحاسب نفسه و يعاود التفكير ويسأل لماذا قام بالطاعة؟ او لماذا هو ملتبس بها؟ فإن وجد أنه إنما يقوم بها لله وحده فقد اخلص، وان وجد أنه يقوم بها لغرض آخر فقد راءى،
Mengikhlaskan perbuatan kita untuk semata-mata mencari keridhoan Alloh swt di dalam perbuatan kita adalah syarat mutlak diterimanya amalan perbuatan seseorang. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah saw:
انما الاعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ومن كان هجرته لدنيا يصيبها اوامرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر إليه (رواه إمام البخاري)
Imam al-Qurthuby pernah memberitahukan bahwa al-Hasan al-Bishry pernah ditanya tentang ikhlas dan riya, kemudian ia berkata bahwa diantara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu. Abu Yusuf berkata dalam al-Kharaj bahwa Mas’ar telah memberitahukan kepadanya dari Sa’ad bin Ibrahim bahwa para sahabat Rasulullah saw menghampiri seorang laki-laki pada perang al-Qodisiyah. Laki-laki itu tangan dan kakinya putus, saat itu ia sedang memeriksa pasukan seraya membacakan firman Alloh swt:

ومن يطع الله والرسول فألئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين ، وحسن أولئك رفيقا  
Artinya: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa: 69). Seseorang lalu bertanya kepada laki-laki itu: siapa engkau wahai hamba Alloh? Ia menjawab: saya adalah seorang dari kaum anshor. Ia tidak menyabutkan namanya karena takut hatinya di hinggapi oleh riya.
Riya adalah lawan dari ikhlas. Riya adalah melaksanakan suatu aktivitas ibadah yang tujuannya bukan untuk mendapatkan ridha Alloh swt melainkan untuk mendapatkan sanjungan (pujian) dari manusia atau karena yang lainnya. Masuknya di dalam hati sangat halus dan sangat sulit untuk diketahui kecuali orang-orang yang tahu tanda-tandanya. Riya bagaikan langkah kaki semut hitam yang berjalan diatas batu hitam ditengah gemerlapnya malam. Itulah riya, seseorang bisa terlihat ikhlas di mata manusia, namun  ternyata hatinya telah dikungkung oleh penyakit riya. Riya bukan dosa kecil, riya masuk dalam kategori dosa syirik kecil. Tidak perbedaan antara syirik kecil dan syirik besar jika ditinjau dari sifat kesyirikannya karena sama-sama masuk fakultas syirik. Kita berlindung kepada Alloh dari penyakit riya.
Masih ada saudara kembar dari penyakit riya yang dapat menggugurkan pahala seseorang yaitu ujub. Ujub adalah menyebut-nyebut dan membangga-banggakan ibadah atau amal sholih yang telah dilakukan kepada orang lain. Jika seseorang melakukan ujub maka gugurlah pahala dari kebaikan yang telah ia lakukan tersebut. Perbedaan riya dan ujub adalah riya menyertai perbuatan sedangkan ujub terjadi setelah perbuatan itu dilakukan.
4.      Puncak Ketaatan dan Keikhlasan Seorang Hamba
Puncak keikhlasan dan ketataan seorang hamba adalah apabila ia menjadikan hidupnya hanya untuk melayani Alloh dan Rasul-Nya.  Puncak ketaatan dan keikhlasan seorang hamba adalah apabila ia ridha, menerima, dan berusaha melaksanakan dengan sebaik-baiknya seluruh keputusan (perintah) Alloh swt. Hal ini sebagaimana firman Alloh swt:
أَنْفُسَكُمْ وَ تُخْرِجُوْنَ فَرِيْقاً مِّنْكُمْ مِّنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُوْنَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ وَ إِنْ يَأتُوْكُمْ أُسَارَى تُفَادُوْهُمْ وَ هُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْن
Artinya: Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.’” (QS. Al-Baqarah: 285).
Lebih lanjut Alloh swt berfirman:
Ÿ
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim[1] terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65)
Dengan kedua ayat ini dan ayat-ayat yang lain yang serupa dengannya menunjukan bahwa puncak ketaatan dan keikhlasan bagi seorang muslim adalah tatkala ia menemukan hatinya ridha terhadap seluruh perintah Alloh dan ia menemukan dirinya sangat bergairah menyambut setiap seruan Alloh swt baik seruan itu bersifar amar (perintah) maupun nahiy (larangan) serta tanpa membeda-bedakan (memiliah-milah) antara yang mudah dan yang berat dari perintah tersebut. Sebab Alloh sangat murka kepada hamba-nya yang melaksanakan sebagian perintah-Nya dan mengabaikan sebagian yang lain karena hatinya merasa berat untuk melaksanakannya serta mengambil jalan tengah tengah (mencampur-adukan antara aturan Alloh dan peraturan kufur yang lahir dari akal mereka). Alloh swt berfirman:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# tbrãàÿõ3tƒ «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur šcr߃̍ãƒur br& (#qè%Ìhxÿムtû÷üt/ «!$# ¾Ï&Î#ßâur šcqä9qà)tƒur ß`ÏB÷sçR <Ù÷èt7Î/ ãàÿò6tRur <Ù÷èt7Î/ tbr߃̍ãƒur br& (#räÏ­Gtƒ tû÷üt/ y7Ï9ºsŒ ¸xÎ6y ÇÊÎÉÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4 $tRôtFôãr&ur tûï̍Ïÿ»s3ù=Ï9 $\/#xtã $YYŠÎgB ÇÊÎÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). (QS. An-Nisa: 150-151)
Alloh swt memberikan ancaman dengan kesempitan dunia dan adzab yang pedih kepada orang-orang yang menjalankan perintah Alloh dengan mengikuti hawa nafsunya, hanya menjalankan aturan Alloh yang dianggapnya mudah (tidak merepotkannya) dan meninggalkan yang lain yang dianggapnya berat untuk direalisasikan. Alloh berfirman tentang perilaku bani israel:
tbqãYÏB÷sçGsùr& ÇÙ÷èt7Î/ É=»tGÅ3ø9$# šcrãàÿõ3s?ur <Ù÷èt7Î/ 4 $yJsù âä!#ty_ `tB ã@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ öNà6YÏB žwÎ) Ó÷Åz Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( tPöqtƒur ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tbrŠtãƒ #n<Î) Ïdx©r& É>#xyèø9$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÑÎÈ
Artinya: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.[2] (QS. Al-Baqaroh: 85)”
Oleh karena itu, puncak keikhlasan seorang hamba adalah tatkala ia menemukan hatinya ridha terhadap seluruh perintah Alloh, sedangkan puncak ketaatan seorang hamba adalah tatkala ia menemukan dirinya bersegera menyambut setiap seruan Alloh swt seberat apapun seruan (perintah) itu.
Perintah Alloh secara garis besar dibagi menjadi tiga ruang lingkup yaitu ruang lingkup pribadi, ruang lingkup masyarakat (negara), dan ruang lingkup pengkultusan. ruang lingkup pribadi adalah aturan Alloh swt yang berhubungan dengan dengan pribadi seorang hamba seperti adab makan-minum, adab berpakaian, dan lain sebagainya. Sedangkan ruang lingkup pengkultusan adalah aturan Alloh yang menjelaskan tentang masalah aqidah dan ibadah mahdho (seperti sholat, puasa, haji, dll). Dua ruang lingkup ini saat ini, insya Alloh masih bisa dilakukan meskipun tidak berjalan secara sempurna ditengah-tengah masyarakat. Sedangkan ruang lingkup masyarakat (negara) adalah aturan Alloh yang berhubungan dengan pengaturan urusan masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem sosial, sistem pergaulan, sistem sanksi dan lain sebagainya. Ruang lingkup ini saat ini cenderung diabaikan oleh umat islam, banyak perintah Alloh berkaitan dengan sistem ekonomi, politik, sosial, pergaulan dan sistem peradilan diabaikan oleh umat islam, padahal Alloh mewajibkan kepada mereka untuk melaksanakannya. Umat islam meninggalkan konstitusi islam dan menggunakan konstitusi buatan manusia (hasil konsensus akal manusia) untuk mengatur masyarakat, untuk menjalankan sistem pemerintahan, untuk mengatur perekonomian, untuk menjalankan pendidikan masyarakat, untuk mengatur sistem pergaulan di tengah-tengah masyarakat, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi sebagai implikasi dari penerapan demokrasi di negeri-negeri mereka saat ini.
Pembaca yang budiman, sesungguhnya tidak adanya negara yang menjadikan hukum-hukum islam sebagai konstitusi secara penuh dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat menjadi penyebab diabaikannya perintah Alloh, menjadi penyebab kita bermaksiat pada Alloh, maka menegakan (mengembalikan) negara yang menerapkan konstitusi islam sesungguhnya wajib bagi seluruh umat islam di dunia. Saya menggunakan kata: “mengembalikan negara” sebab negara yang menerapkan konstitusi islam itu pernah ada ditengah-tengah masyarakat dan menjadi adidaya dunia selama 13 abad (1.301 tahun) lamanya, itulah yang disebut sebagai al-imamah. Negara ini runtuh 93 tahun yang silam (1924 M) karena konspirasi inggris dan negara-negara eropa lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi aganda besar umat islam saat ini yaitu bersatu dan berjuang untuk menerapkan syariat islam secara utuh (totalitas) dan kembali menyatukan kaum muslimin diseluruh dunia.
5.      Kesimpulan
Berdasarkan keterangan diatas maka sesungguhnya menyerahkan diri pada ketentuan Alloh dan ikhlas semata-mata mengharapkan ridho Alloh swt dalam menjalankan penrintah dan menjauhi larangan Alloh adalah syarat mutlak diterimanya pahala seorang hamba dan puncak ketaatan dan keikhlasan seorang hamba adalah jika ia mau taat kepada seluruh perintah Alloh.




[1] Menjadikan Rasulullah sebagai hakim maksudnya adalah menjadikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw (al-Qur’an) sebagai konstitusi (peraturan) dalam mengatur hidup mereka baik dalam skala mikro (individu) maupun skala makro (negara).
[2] ayat Ini berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, Karena membantu sekutunya. tapi jika Kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, Maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.

Komentar

Artikel Terbaik

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal) Khutbah Pertama Membaca basmalah : BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dibaca dalam hati) Mengucapkan salam : ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUHU (lalu khotib duduk dan muadzin mengumandangkan azan. Setelah selesai adzan, khatib berdiri lagi dan langsung membaca hamdalah kalimat pujian (hamdalah), yaitu: INNAL HAMDA LILLAAH, NAHMADUHUU WA NASTA’IINUHUU WA NASTAGHFIRUHU WA NA’UUDZUBILLAAHI MIN SYURUURI ‘ANFUSINAA WA MIN SYAYYI-AATI A’MAALINAA MAN YAHDILLAAHU FALAA MUDHILLALAHU WA MAN YUDHLIL FALAA HAADIYALAHU Membaca syahadat : ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAAHU WA ASYHADU ANNAA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUHUU LAA NABIYYA BA’DAHU Membaca shalawat : ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SYAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII ‘AJMA’IIN Membaca ayat alqur’an yang mengajak bertaqwa kepada allah, contoh: YA AYYUHAL

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

1.         PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Di dalam menjalani kehidupan manusia akan terus mencari tahu tentang hakikat hidupnya dan seluruh materi yang ada disekelilingnya. Dia akan terus berfikir mencari kebenaran (hakikat) hidupnya dan materi lain yang ada disekelilingnya. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk berfikir dan mencari tahu sebelum menemukan jawaban   dan memahami tentang diri dan lingkungannya. Setiap pemikiran manusia yang diberi kesimpulan akan melahirkan sebuah konsep atau ide. Setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut sebagai aktivitas berpikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. Menurut madzhab komunisme, pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak [1] . Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam : Muttafaq 'alayh dan Mukhtalaf fiih

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alay h dan Mukhtalaf Fiih Oleh : Agusmal Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah . Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli. Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah (penunjukan)   dan irsyad (petunjuk). Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat mengh