Agusmal
1. Sekapur
Sirih
Menasehati dan mengajak orang lain untuk taat
pada Alloh swt adalah perkara yang mudah, namun tahukah saudaraku bahwa
mengimplementasikan semua perkara yang telah kita nasehatkan pada orang lain
itu terkadang terasa begitu sulit bagi diri kita sendiri. Begitu banyak manusia
di masa kita saat ini yang alim al-lisan bi laa amal (alim hanya sebatas
lisan tanpa diikuti dengan perbuatan), kita hidup pada masa dimana sebagian
orang yang bergelar intektual muslim menjadi pengritik dan pendistorsi terhadap
tatanan syariat islam. Mereka memperjualbelikan ayat-ayat al-Qur’an dengan
harga yang sangat murah (baik itu dengan kucuran dana asing maupun dengan
jabatan). Padahal sebagian besar dari mereka adalah alumni perguruan tinggi
islam dan pondok pesantren.
Seluruh umat islam mengetahui bahwa dunia ini
merupakan tempat persinggahan sementara dan akhirat menjadi tujuan akhir dalam
perjalanan mereka. Mereka memahami dan sangat tahu akan perkara itu, tetapi
hanya sedikit dari mereka yang sadar terhadap terhadap hal itu. Oleh karena
itu, meskipun mereka tahu bahwa mereka akan meninggalkan dunia ini dan mereka
akan dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan mereka selama hidup di dunia
namun mereka tetap saja lalai dari mengerjakan perintah Alloh swt. Jikalau pun
mereka mengerjakan perintah Alloh, maka mereka hanya membatasi diri pada
kewajiban sholat dan lalai dari kewajiban-kewajiban yang lainnya yang setara
dengan sholat (ditinjau dari sisi kewajibannya) seperti kewajiban melaksanakan
aktivitas dakwah. Mereka berperilaku sebagaimana perilaku Bani Israel yang
memilah-milah ayat-ayat kitab sucinya sekehendak hatinya. Jika ada suatu ayat yang
mereka anggap mudah untuk mengerjakannya maka mereka akan lakukan, tetapi jika
ada ayat yang mereka merasa keberatan didalam hati mereka untuk mengerjakannya
maka mereka akan mengabaikannya bahkan menghapusnya. Begitupun sebagian umat
islam hari ini, mereka mengabaikan perintah Alloh swt. Memang mereka tidak
merubah teks ayat-ayat al-Qur’an, tetapi mereka telah mendistorsi makna-makna
dari ayat-ayat al-Qur’an yang memberatkan hati mereka dan makna ayat itu
dialihkan sesuai dengan hawa nafsunya (kepentingannya). Orang-orang seperti ini
sesungguhnya terkena penyakit hati yang akut yakni tidak ada keikhlasan dalam
menjalankan perintah Alloh.
Mempelari dan membina diri dengan tsaqofah
islam memang kewajiban bagi setiap manusia, tetapi jangan lupa bahwa ada perkara
yang sangat penting untuk diketahui sebelum menunaikan kewajiban pada
penciptanya, yaitu mengetahui hakekat amal (perbuatan) manusia di sisi Alloh
swt. Sebab, jika seseorang mengerjakan perintah Alloh swt tanpa mengetahui
hakikat perbuatannya maka bisa jadi amalnya sia-sia bahkan bisa menjadi dosa
besar. Oleh karena itu, dalam lembaran yang ringkas ini, saya ingin memberikan
gambaran yang ringkas tentang syarat-syarat diterimanya amal (perbuatan)
2. Parameter
Perbuatan Manusia
Pemahaman dan pemikiran seseorang yang
cenderung mempengaruhi perbuatannya, Seseorang bertingkah-laku sesuai dengan
pemikirannya. Jika kita meminta pendapat kepada wanita barat yang tidak
beragama islam tentang pakaian jilbab dan kerudung yang di pakai oleh
wanita-wanita muslimah, mungkin saja ia akan menjawab bahwa pakaian itu sangat
kuno, ketinggalan zaman, dan jelek. Tetapi jika kita bertanya kepadanya tentang
pakaian mini yang memperlihatkan sebagian besar kemolekan tubuh wanita, mungkin
saja ia akan menjawab bahwa pakaian itu adalah pakaian yang baik, modern, dan
bagus. Sebaliknya, jika pertanyaan itu kita lemparkan kepada wanita muslimah
yang taat kepada Alloh maka jawabannya akan bertentangan dengan jawaban wanita
barat tersebut. Semua itu terjadi karena wanita itu memiliki pemahaman dan
persepsi yang berbeda tentang stadar baik-buruk dan standar benar-salah.
Secara umum, parameter perbuatan manusia ada
dua yaitu parameter mashlahat aqliyah dan parameter syariat. Parameter mashlahat
aqliyah adalah suatu parameter yang menjadikan mashlahat yang ditimbul dari
proses berfikir untuk menentukan baik-buruk dan benar-salahnya perbuatannya.
Sedangkan parameter syariat adalah parameter perbuatan manusia yang menjadikan
syariat islam sebagai standar dalam menentukan baik-buruk dan benar-salahnya perbuatannya.
Jika islam memandang bahwa suatu perbuatan itu buruk maka orang yang
menggunakan parameter yang kedua ini akan mengikutinya (menganggap hal itu
sebagai perbuatan yang buruk). Begitupun sebaliknya, jika islam menganggap
suatu perbuatan itu baik maka baik pula baginya.
Sedangkan orang yang menggunakan parameter mashlahat
aqliyah sebagai parameter dalam perbuatannya akan cenderung mengikuti hawa
nafsunya. Parameter ini akan melahirkan ketidakseimbangan, pertentangan dan
kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, bisa jadi seseorang menganggap
suatu perbuatan mendatangkan mashlahat tetapi bagi orang lain hal itu akan mendatangkan
mudharat (kerusakan). Hal itu, karena pola pikir setiap orang di masyarakat
berbeda-beda dan cenderung dipengaruhi oleh kepentingan individualistik. Parameter
ini (mashlahat aqliyah) akan selalu melahirkan pertentangan dan perselisihan di
tengah-tengah masyarakat yang akan berujung pada penindasan sebagian orang
kepada sebagian yang lain.
Oleh karena itu, menjadikan syariat islam
sebagai paramenter dalam perbuatan manusia adalah sebuah keharusan bagi
orang-orang yang mendambakan kehidupan yang damai dan tentram dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Sebab, dengan menjadikan syariat islam sebagai
parameter perbuatan maka tidak ada seorang pun yang dirugikan karena parameter
perbuatan mereka sama yaitu syariat islam. Jika ada yang meragukan keadilan dan
kehebatan parameter ini maka silahkan cari satu aturan dari syariat islam yang
menindas masyarakat atau merugikan satu golongan tertentu dan menguntungkan
golongan yang lain.
Namun harus dipahami oleh seluruh umat islam
bahwa kewajiban menjadikan syariat islam sebagai standar perbuatan mereka bukan
karena di dalam syariat islam itu terdapat mashlahat melainkan karena ini adalah
perintah Alloh swt.
Para sholihin selalu mengedepankan
nilai-nilai ta’abbudi (taat pada perintah secara mutlak tanpa mencari tahu
manfaat dari perintah Alloh itu) dalam menjalankan perintah Alloh swt. Inilah
yang menjadikan mereka sebagai kekasih Alloh dan Rasul-Nya, mereka selalu
menjadikan hukum syara sebagai tolok ukur perbuatan mereka. Hal ini sebagaimana
yang diterangkan oleh Muhammad bin Muhammad bin Ismail dalam kitabnya yang
berjudul fikru al-islam:
3. Syarat
Diterimanya Perbuatan Manusia
Islam menetapkan tiga perkara diterimanya amal seseorang yaitu
islam, rukun, dan ikhlas. Dengan menjadikan islam sebagai syarat, maka amalan
orang-orang kafir tidak akan pernah diterima oleh Alloh swt., begitupula dengan
menjadikan rukun sebagai syarat maka amalan seorang muslim yang tidak mengikuti
ketentuan Alloh dan Rasululullah juga tertolak. Sedangkan dengan menjadikan
ikhlas sebagai syarat maka amalan seorang muslim yang dilakukan tidak karena
mengharapkan balasan dan ridha dari Alloh swt juga tertolak.
Dengan demikian, bagi seorang muslim yang ingin melaksanakan
perintah Alloh maka ia harus memperhatikan syarat dan rukun dari amalan
tersebut, sebab jika syarat dan rukun dalam perbuatannya tidak terpenuhi maka
perbuatannya akan menyimpang dari ketentuan syara’ dan tidak ada yang dia
dapatkan kecuali dosa karena beribadah dengan tata cara yang salah atau
beribadah tetapi dengan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Alloh ta’ala. Rasulullah saw bersabda:
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد
(رواه مسلم و الطرميذي و ابو داود و احمد)
Artinya: “Barang siapa yang melakukan
perbuatan (amalan) yang tidak kami perintahkan maka amalannya tertolak.” (HR.
Muslim, tirmidzy, Abu Dawud, dan Ahmad)
Oleh karena itu, beribadah dan beramal sholih
di dalam islam harus mengikuti ketentuan Alloh swt bukan menggunakan timbangan
mashlahat aqliyah.
Sedangkan ikhlas yang harus dipenuhi dalam
beribadah dan beramal sholih merupakan perkara yang paling berat dan paling
sulit, perkara utama yang menjadi penentu diterimanya amal seseorang, dan perkara
yang mudah didefinisikan tetapi sulit dipraktekan. Ikhlas adalah perbuatan hati
yang tersimpan dilubuk hati yang paling dalam yang tidak ada seorang pun yang
mengetahui kecuali pemilik hati (individu itu sendiri) dan penciptanya (Alloh
swt). Di dalam kitab Min Muqowwimat an-Nafsiyah al-Islamiyah diterangkan
bahwa:
و
اما الإخلاص في الطاعة فهو ترك الرياء، وهو من أعمال القلوب لا يعلمه الا العبد
وخالقه، وربما خفي واختلط أمره على العبد حتى يدقق و يحاسب نفسه و يعاود التفكير
ويسأل لماذا قام بالطاعة؟ او لماذا هو ملتبس بها؟ فإن وجد أنه إنما يقوم بها لله
وحده فقد اخلص، وان وجد أنه يقوم بها لغرض آخر فقد راءى،
Mengikhlaskan perbuatan kita untuk semata-mata mencari keridhoan
Alloh swt di dalam perbuatan kita adalah syarat mutlak diterimanya amalan
perbuatan seseorang. Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah saw:
انما الاعمال بالنيات و انما لكل امرئ
ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ومن كان هجرته لدنيا
يصيبها اوامرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر إليه (رواه إمام البخاري)
Imam al-Qurthuby pernah memberitahukan bahwa
al-Hasan al-Bishry pernah ditanya tentang ikhlas dan riya, kemudian ia berkata
bahwa diantara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka menyembunyikan
kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu. Abu Yusuf berkata dalam
al-Kharaj bahwa Mas’ar telah memberitahukan kepadanya dari Sa’ad bin Ibrahim
bahwa para sahabat Rasulullah saw menghampiri seorang laki-laki pada perang
al-Qodisiyah. Laki-laki itu tangan dan kakinya putus, saat itu ia sedang
memeriksa pasukan seraya membacakan firman Alloh swt:
ومن يطع الله والرسول فألئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين ، وحسن أولئك رفيقا
Artinya: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah
dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang
sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa: 69). Seseorang lalu bertanya kepada laki-laki
itu: siapa engkau wahai hamba Alloh? Ia menjawab: saya adalah seorang dari kaum
anshor. Ia tidak menyabutkan namanya karena takut hatinya di hinggapi oleh
riya.
Riya adalah lawan dari ikhlas. Riya adalah
melaksanakan suatu aktivitas ibadah yang tujuannya bukan untuk mendapatkan
ridha Alloh swt melainkan untuk mendapatkan sanjungan (pujian) dari manusia
atau karena yang lainnya. Masuknya di dalam hati sangat halus dan sangat sulit
untuk diketahui kecuali orang-orang yang tahu tanda-tandanya. Riya bagaikan
langkah kaki semut hitam yang berjalan diatas batu hitam ditengah gemerlapnya
malam. Itulah riya, seseorang bisa terlihat ikhlas di mata manusia, namun ternyata hatinya telah dikungkung oleh penyakit
riya. Riya bukan dosa kecil, riya masuk dalam kategori dosa syirik kecil. Tidak
perbedaan antara syirik kecil dan syirik besar jika ditinjau dari sifat
kesyirikannya karena sama-sama masuk fakultas syirik. Kita berlindung kepada
Alloh dari penyakit riya.
Masih ada saudara kembar dari penyakit riya
yang dapat menggugurkan pahala seseorang yaitu ujub. Ujub adalah
menyebut-nyebut dan membangga-banggakan ibadah atau amal sholih yang telah dilakukan
kepada orang lain. Jika seseorang melakukan ujub maka gugurlah pahala dari
kebaikan yang telah ia lakukan tersebut. Perbedaan riya dan ujub adalah riya
menyertai perbuatan sedangkan ujub terjadi setelah perbuatan itu dilakukan.
4. Puncak
Ketaatan dan Keikhlasan Seorang Hamba
Puncak keikhlasan dan ketataan seorang hamba
adalah apabila ia menjadikan hidupnya hanya untuk melayani Alloh dan Rasul-Nya. Puncak ketaatan dan keikhlasan seorang hamba
adalah apabila ia ridha, menerima, dan berusaha melaksanakan dengan
sebaik-baiknya seluruh keputusan (perintah) Alloh swt. Hal ini sebagaimana
firman Alloh swt:
أَنْفُسَكُمْ وَ تُخْرِجُوْنَ فَرِيْقاً مِّنْكُمْ مِّنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُوْنَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ وَ إِنْ يَأتُوْكُمْ أُسَارَى تُفَادُوْهُمْ وَ هُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْن
Artinya: Rasul
telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain)
dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat.’
(Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali.’” (QS. Al-Baqarah: 285).
Lebih lanjut Alloh swt berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim[1]
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65)
Dengan kedua
ayat ini dan ayat-ayat yang lain yang serupa dengannya menunjukan bahwa puncak
ketaatan dan keikhlasan bagi seorang muslim adalah tatkala ia menemukan hatinya
ridha terhadap seluruh perintah Alloh dan ia menemukan dirinya sangat bergairah
menyambut setiap seruan Alloh swt baik seruan itu bersifar amar (perintah)
maupun nahiy (larangan) serta tanpa membeda-bedakan (memiliah-milah)
antara yang mudah dan yang berat dari perintah tersebut. Sebab Alloh sangat
murka kepada hamba-nya yang melaksanakan sebagian perintah-Nya dan mengabaikan
sebagian yang lain karena hatinya merasa berat untuk melaksanakannya serta
mengambil jalan tengah tengah (mencampur-adukan antara aturan Alloh dan
peraturan kufur yang lahir dari akal mereka). Alloh swt berfirman:
¨bÎ) úïÏ%©!$# tbrãàÿõ3t «!$$Î/ ¾Ï&Î#ßâur crßÌãur br& (#qè%Ìhxÿã tû÷üt/ «!$# ¾Ï&Î#ßâur cqä9qà)tur ß`ÏB÷sçR <Ù÷èt7Î/ ãàÿò6tRur <Ù÷èt7Î/ tbrßÌãur br& (#räÏGt tû÷üt/ y7Ï9ºs ¸xÎ6y ÇÊÎÉÈ y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# $y)ym 4 $tRôtFôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 $\/#xtã $YYÎgB ÇÊÎÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). (QS. An-Nisa:
150-151)
Alloh swt
memberikan ancaman dengan kesempitan dunia dan adzab yang pedih kepada
orang-orang yang menjalankan perintah Alloh dengan mengikuti hawa nafsunya,
hanya menjalankan aturan Alloh yang dianggapnya mudah (tidak merepotkannya) dan
meninggalkan yang lain yang dianggapnya berat untuk direalisasikan. Alloh
berfirman tentang perilaku bani israel:
tbqãYÏB÷sçGsùr& ÇÙ÷èt7Î/ É=»tGÅ3ø9$# crãàÿõ3s?ur <Ù÷èt7Î/ 4 $yJsù âä!#ty_ `tB ã@yèøÿt Ï9ºs öNà6YÏB wÎ) Ó÷Åz Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( tPöqtur ÏpyJ»uÉ)ø9$# tbrtã #n<Î) Ïdx©r& É>#xyèø9$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÑÎÈ
Artinya: “Apakah
kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat.[2] (QS. Al-Baqaroh:
85)”
Oleh karena
itu, puncak keikhlasan seorang hamba adalah tatkala ia menemukan hatinya ridha
terhadap seluruh perintah Alloh, sedangkan puncak ketaatan seorang hamba adalah
tatkala ia menemukan dirinya bersegera menyambut setiap seruan Alloh swt
seberat apapun seruan (perintah) itu.
Perintah
Alloh secara garis besar dibagi menjadi tiga ruang lingkup yaitu ruang lingkup
pribadi, ruang lingkup masyarakat (negara), dan ruang lingkup pengkultusan. ruang
lingkup pribadi adalah aturan Alloh swt yang berhubungan dengan dengan pribadi
seorang hamba seperti adab makan-minum, adab berpakaian, dan lain sebagainya. Sedangkan
ruang lingkup pengkultusan adalah aturan Alloh yang menjelaskan tentang masalah
aqidah dan ibadah mahdho (seperti sholat, puasa, haji, dll). Dua ruang lingkup
ini saat ini, insya Alloh masih bisa dilakukan meskipun tidak berjalan secara
sempurna ditengah-tengah masyarakat. Sedangkan ruang lingkup masyarakat (negara)
adalah aturan Alloh yang berhubungan dengan pengaturan urusan masyarakat
seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem sosial,
sistem pergaulan, sistem sanksi dan lain sebagainya. Ruang lingkup ini saat ini cenderung diabaikan oleh umat islam, banyak perintah Alloh berkaitan dengan sistem
ekonomi, politik, sosial, pergaulan dan sistem peradilan diabaikan oleh umat islam,
padahal Alloh mewajibkan kepada mereka untuk melaksanakannya. Umat islam meninggalkan konstitusi islam dan menggunakan
konstitusi buatan manusia (hasil konsensus akal manusia) untuk mengatur
masyarakat, untuk menjalankan sistem pemerintahan, untuk mengatur perekonomian,
untuk menjalankan pendidikan masyarakat, untuk mengatur sistem pergaulan di
tengah-tengah masyarakat, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi sebagai implikasi
dari penerapan demokrasi di negeri-negeri mereka saat ini.
Pembaca yang
budiman, sesungguhnya tidak adanya negara yang menjadikan hukum-hukum islam
sebagai konstitusi secara penuh dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat
menjadi penyebab diabaikannya perintah Alloh, menjadi penyebab kita bermaksiat
pada Alloh, maka menegakan (mengembalikan) negara yang menerapkan konstitusi
islam sesungguhnya wajib bagi seluruh umat islam di dunia. Saya menggunakan
kata: “mengembalikan negara” sebab negara yang menerapkan konstitusi islam itu
pernah ada ditengah-tengah masyarakat dan menjadi adidaya dunia selama 13 abad
(1.301 tahun) lamanya, itulah yang disebut sebagai al-imamah. Negara ini
runtuh 93 tahun yang silam (1924 M) karena konspirasi inggris dan negara-negara
eropa lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi aganda besar umat islam saat ini
yaitu bersatu dan berjuang untuk menerapkan syariat islam secara utuh
(totalitas) dan kembali menyatukan kaum muslimin diseluruh dunia.
5. Kesimpulan
Berdasarkan keterangan diatas maka sesungguhnya menyerahkan diri
pada ketentuan Alloh dan ikhlas semata-mata mengharapkan ridho Alloh swt dalam
menjalankan penrintah dan menjauhi larangan Alloh adalah syarat mutlak
diterimanya pahala seorang hamba dan puncak ketaatan dan keikhlasan seorang
hamba adalah jika ia mau taat kepada seluruh perintah Alloh.
[1] Menjadikan Rasulullah sebagai hakim
maksudnya adalah menjadikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw (al-Qur’an)
sebagai konstitusi (peraturan) dalam mengatur hidup mereka baik dalam skala
mikro (individu) maupun skala makro (negara).
[2] ayat Ini
berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi
Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu
dengan orang-orang Khazraj. antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam
selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah
membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. sampai antara kedua
suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, Karena membantu
sekutunya. tapi jika Kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, Maka kedua suku
Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.
Komentar
Posting Komentar