MENGGAGAS TEORI PERMINTAAN DAN TEORI UTILITAS ISLAM SEBAGAI SOLUSI TUNTAS PROBLEM GAYA HIDUP HEDONISME DI INDOENSIA
Oleh: AGUSMAL
1.
Pendahuluan
Doktrin ekonomi kapitalisme yang tidak
memiliki batasan moral tidak hanya melahirkan konsumen yang konsumeris tetapi
juga telah menyebabkan hilangnya batasan-batasan moral dan syariat di dalam transaksi
barang dan jasa sehingga melahirkan masyarakat yang hedonis. Hedonisme adalah
suatu pandangan yang memandang bahwa hidup di dunia ini hanya untuk mencari
kenikmatan duniawi dan untuk bersenang-senang mengikuti hawa nafsu lawwamah.
Doktrin ekonomi kapitalisme telah melahirkan bentuk masyarakat yang hedonis.
Ekonomi kapitalisme memandang bahwa barang
memiliki nilai guna jika barang tersebut memiliki permintaan. Artinya, barang
dan jasa apapun yang diminta atau disukai oleh konsumen maka akan dianggap
sebagai komoditas produksi. Oleh karena itu, sekalipun suatu barang/jasa
diharamkan di dalam agama dan melanggar nilai-nilai moral (seperti alkohol dan
jasa pelacuran), tetapi jika memiliki permintaan maka tetap dianggap sebagai
barang/jasa yang berguna, sehingga harus di produksi untuk memenuhi keinginan
konsumen.
Sehingga tidak mengherankan, jika minuman
beralkohol dianggap sebagai komoditas yang berguna di indonesia. Mengacu
laporan keuangan MLBI, pendapatan perusahaan yang memproduksi minuman keras
(alkohol) pada bulan September 2014 tercatat Rp 2 triliun, atau naik 10,49%
dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 1,81 triliun. Penjualan
minuman beralkohol jenis bir berkontribusi Rp 1,9 triliun. Sisanya sebesar Rp
93,71 miliar dari penjualan soft drink. Menurut Agus Silaban (Ketua Asosiasi
Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor) pada periode April 2014–Maret
2015, pihaknya mendapat jatah impor 425.000 karton minuman alkohol.[1]
Disisi yang lain permintaan jasa pelacuran
juga dianggap nilai guna di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga tidak mengherankan
jika sepanjang 2011, berdasarkan perhitungan Biro Riset Infobank (birl), nilai
transaksi pelacuran per bulan sekitar Rp 5,5 triliun. Angka itu berdasarkan
asumsi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang dikeluarkan beberapa lembaga
seperti United Nations Development Programme (UNDP), Dinas Sosial, dan Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA), bahwa jumlah PSK di Indonesia sekitar
193.000-272.000. Angka ini tak berlebihan. (infobanknews.com, 23/8/2012).
Ratu mucikari dari Jawa Timur konon bisa meraup penghasilan sampai Rp 25
juta/hari.
Meningkatnya jumlah PSK berarti menunjukkan
meningkatnya jumlah pria yang gemar berzina. Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan, diperkirakan ada 6,7 juta laki-laki yang membeli seks pada 2012.
Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 3,2 juta (kompas.com, 3/12/2012).
Lebih parahnya lagi, jasa haram pelacuran
juga sudah lama dinikmati kalangan pejabat. Sudah jadi rahasia umum, tak
sedikit pejabat yang mendapat gratifikasi seksual berupa layanan pelacur. Ironinya,
sampai saat ini belum ada undang-undang yang dapat menjeratnya.
Semua fakta itu adalah indikasi hancurnya
iman dan takwa bangsa yang mayoritas muslim ini. Masyarakat dan penguasa pun
menjadi manusia hedonis yang memburu kenikmatan jasadiyah, termasuk berzina.
Istlah haram dan dosa seolah hilang dari kamus mereka. Resiko terkena penyakit
kelamin, termasuk tertular HIV/AIDS pun tak terpikirkan.
Menghadapi ini semua, telah lahir
ditengah-tengah masyarakat para ekonom islam yang menawarkan pendekatan ekonomi
islam dalam menyelesaikan problem bangsa hari ini. Salah satu tawaran mereka
adalah pendekatan doktrin permintaan ekonomi islam dan perilaku konsumen islam.
Oleh karena itu, dalam artikel ini akan membahas “Teori Permintaan Islam Dan
Perilaku Konsumen Islam Sebagai Solusi Tuntas Atas Problem Yang Dihadapi
Masyarakat Indonesia”.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam artikel ini adalah sebagai berikut :
1. Apa
sesungguhnya kelemahan dari teori permintaan konvensional dan bagaimanakah
teori permintaan ekonomi islam?
2. Bagaimana
Konsep Utility dalam ekonomi islam?
3. Kajian
Teori
3.1Teori
Permintaan
Permintaan
adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu
dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dalam periode
tertentu dan dalam periode tertentu.[2] Permintaan
dapat dibagi menjadi dua macam:
a.
Permintaan absolut (absolut demand)
Permintaan absolut
adalah seluruh permintaan terhadap barang dan jasa baik yang bertenaga beli/berkemampuan
membeli, maupun yang tidak bertenaga beli.
b.
Permintaan efektif (effective demand)
Permintaan efektif
adalah permintaan terhadap barang dan jasa yang disertai kemampuan membeli.
Adapun permintaan
menurut ekonomi Islam, misalnya Ibnu Taimiyah, permintaan adalah hasrat atau
keinginan terhadap suatu barang (raghbah fi al-syai).[3] Ketika
berbicara tentang harga al-Ghazali berpadangan bahwa jika petani tidak
mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, ia akan menjualnya pada harga yang
sangat rendah.[4] Artinya,
al-Ghazali menanggap permintaan itu berslop negatif.
Oleh karena itu, hukum
permintaan islam menurut Muhammad (2005) adalah sebagai berikut: “apabila
harga suatu barang naik, maka permintaan akan barang tersebut akan akan turun,
sebaliknya bila harga barang tersebut turun maka permintaan akan naik”.
Hukum (sunatullah) permintaan tetap berlaku, jika asumsi-asumsi yang
dibutuhkan terpenuhi, yaitu cateris paribus.[5]
3.2Teori
Utilitas
Teori utilitas berbicara tentang perilaku
konsumen di dalam menentukan nilai guna suatu barang. Perilaku konsumen
adalah tindakan yang
langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi
dan menghabiskan produk
dan jasa, termasuk keputusan
yang mendahului dan
menyusul tindakan ini.[6]
Perilaku konsumen muslim adalah suatu
perilaku yang dilakukan oleh seorang muslim dimana dalam memenuhi kebutuhannya
tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi
kebutuhan sosial (spiritual).[7]
Teori
utility merupakan rasionalisasi dari fungsi permintaan. Perilaku konsumen di
dalam menentukan pilihannya terhadap barang yang akan di konsumsi memiliki
perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Perbedaan yang paling
mendasar terdapat pada status barang yang akan di konsumsi. Perilaku konsumen
di dalam islam dibangun rasionalitas yang terikat dengan hukum syara’.[8]
4. Pembahasan
4.1Teori
Permintaan Islam
Manusia
yang hidup dalam sistem ekonomi manapun akan melakukan pilihan terhadap semua
barang/jasa yang diinginkannya berdasarkan jumlah pendapatan proporsional yang
dimilikinya. Dengan adanya keterbatasan terhadap jumlah pendapatan proporsional
yang dimilikinya maka setiap rumah tangga konsumen masyarakat islam akan selalu
berusaha mengkombinasikan pilihannya dalam mengkonsumsi barang/jasa berdasarkan
tingkat prioritas kebutuhan dan keinginan akan barang dan jasa. Tentu saja
setiap konsumen akan melakukan pilihan yang terbaik terhadap barang/jasa yang
di izinkan oleh syara’, memberikan manfaat, dan memberikan kepuasan paling
tinggi. Seorang konsumen yang di dalam hatinya dipenuhi dengan keimanan, yang
nafsunya berada dibawah kendali akal dan keimanannya akan memiliki kepuasaan
yang tertinggi tatkala mampu memenuhi kebutuhannya secara proporsional, ini
yang disebut dengan permintaan proporsional. Sedangkan bagi seorang konsumen
yang dipenuhi dengan nafsu lawwamah (akal dan keimanannya berada dibawah
kendali nafsunya) maka akan memiliki kepuasan
tertinggi tatkala semakin barang / jasa yang dikonsumsinya karena merasa
semakin banyak barang yang di konsumsi maka semakin terpenuhi kebutuhannya. Ini
yang disebut dengan permintaan lawwamah. Perbadingan kurva permintaan
proporsional dan kurva permintaan lawwamah:
Perhatikan
kurva diatas, sangat jelas sekali perbedaan antara permintaan proporsional dan
permintaan lawwamah. Seorang konsumen yang memiliki gaya permintaan
proporsional akan cenderung lebih hemat. Seberapa besarpun harga barang
diturunkan maka permintaan barang dia cenderung konstan, adapapun jika
bertambah maka hanya sedikit saja. Sedangkan seorang konsumen yang memiliki
gaya permintaan lawwamah maka penurunan harga barang sedikit saja maka akan
cenderung menambah jumlah barang yang diminta. Mengapa dalam permintaan
proporsional, disaat harga barang di naikkan akan berefek pada penurunan
permintaan? Jawabannya sangat jelas sekali, hal itu terjadi karena kenaikkan
harga barang akan mengurangi daya beli konsumen.
4.2
Hukum Permintaan
Setelah
melakukan kajian secara tekstual dan faktual (terhadap gerakan islam yang
anggotanya memiliki keimanan yang tinggi dan terhadap umat islam yang kurang
taat kepada Allah[9])
maka kami merumuskan hukum permintaan dalam khasanah ilmu ekonomi menjadi dua
yaitu hukum permintaan proporsional (ini adalah hukum permintaan ekonomi islam)
dan hukum permintaan lawwamah (ini adalah hukum permintaan ekonomi
kapitalalisme/konvensional). Hukum permintaan proporsional yaitu:
“Jika
harga suatu barang/jasa yang halal naik, maka permintaan akan barang/jasa
tersebut akan cenderung menurun. Sedangkan jika harga barang/jasa yang halal
turun, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung konstan, adapun
jika permintaannya bertambah maka akan bertambah dengan jumlah yang sangat
sedikit. Dengan syarat cateris paribus.”
Sedangkan
hukum permintaan lawwamah adalah sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh
para ekonom barat yaitu:
“Jika
harga suatu barang/jasa naik yang halal maka permintaan akan barang/jasa
tersebut akan cenderung menurun. Sebaliknya jika harga suatu barang/jasa yang
halal turun, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung
meningkat. Dengan syarat cateris paribus.”
Mengapa
perlu ada batasan bahwa barang dan jasa tersebut adalah barang/jasa yang halal?
Hal ini dikarenakan dalam masyarakat islam, barang-barang yang di haramkan oleh
syara’ untuk di konsumsi oleh umat islam seperti daging babi maka tidak akan
memiliki permintaan pada umat islam walaupun harganya sangat murah bahkan
ditawarkan dengan harga yang gratis sekalipun. Hal ini disebakan oleh dua hal
yakni 1). Karena faktor keimanan (keyakinan akan haramnya daging babi tersebut
dan juga ketaatan pada individu muslim pada larangan Alloh), dan 2). karena
diproteksi oleh pemerintah islam. Namun, daging babi akan memiliki permintaan
pada masyarakat islam yang tidak beragama islam (non muslim yang hidup dalam
negara islam) jika didalam agama mereka tidak melarangnya dan makanan yang
dihalalkan dalam agama mereka maka tidak boleh diproteksi oleh pemerintah islam,
ini adalah ketentuan yang baku di dalam sistem pemerintahan islam.[10] Oleh
karena itu, hukum permintaan diatas dimana memiliki batasan yakni harus barang
yang halal dalam tinjauan syariat islam. Jika syariat islam melarang kaum
muslimin untuk mengkonsumsi alkohol dan memakai jasa pelacuran maka dua hal ini
tidak akan memiliki permintaan ditengah-tengah kaum muslimin. Begitupun dengan
daging babi, daging babi, semurah apapun tidak akan memiliki permintaan kepada
umat islam karena adanya larangan syariat islam dan negara islam memproteksi
daging babi agar tidak di konsumsi oleh umat islam. Namun, proteksi itu tidak
berlaku kepada umat kristiani yang menjadi warga negara islam, sebab syariat
mereka memperbolehkan memakan daging babi. Inilah keadilan sistem pemerintahan
islam.
4.3Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Permintaan Masyarkat Islam Dan Batasan-Batasan Rasionalitas
Setiap
manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di dalam hidupnya, hanya saja
ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas permintaan rumah tangga
konsumen di dalam ekonomi islam. Yaitu:
a.
Legalitas
Syara’ (Allah swt)
Adanya
legalitas syara’ di dalam faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menjadi
hal yang paling mendasar yang menjadi pembeda antara perilaku konsumen di dalam
ekonomi konvensional dengan ekonomi islam. Masyarakat islam yang beragama islam
tidak akan pernah melakukan permintaan terhadap barang/jasa yang tidak di
izinkan oleh syara’ seperti daging babi dan jasa pelacuran. Oleh karena itu,
barang/jasa yang tidak di izinkan oleh syara’ untuk di konsumsi maka tidak akan
memiliki permintaan di dalam masyarakat islam yang beragama islam meskipun
dengan harga yang sangat rendah (murah).
b.
Harga
Barang Itu Sendiri
Naik
turunnya harga suatu barang / jasa akan mempengaruhi tingkat permintaan barang
dan jasa tersebut. Hanya saja di dalam masyarakat islam yang menerapkan ekonomi
islam, kenaikan permintaan sebagai akibat dari turunnya harga tidak
sesignifikan kenaikan permintaan dalam ekonomi konvensional. Semakin tinggi
tingkat ketawadhuan dan keimanan
seseorang di dalam hidupnya maka akan semakin mendekati kurva permintaan
proporsional, begitupun sebaliknya, semakin semakin kaburnya nilai-nilai
ketawadhuan seseorang maka akan semakin mendekati permintaan lawwamah.
c.
Jumlah
Sedekah
Semakin
tinggi dorongan seseorang untuk bersedekah (misalnya membayar zakat, infak,
atau membantu orang lain) maka pendapatan disposibel-nya akan semakin berkurang
sehingga akan mengurangi daya beli terhadap barang dan jasa. Bagi sebagian
orang mungkin memandang bahwa sedekah mengurangi konsumsi rumah tangga. Tetapi
bagi masyarakat islam yang bertakwa, sedekah adalah salah satu unsur pembentuk
kebahagiaan dan ketenangan batin. Sehingga, jika kita kembalikan kepada hakikat
konsumsi (kenapa kita mengkonsumsi suatu barang) maka kita akan mengetahui
bahwa kita melakukan konsumsi untuk hidup dan kita hidup untuk mencari
kedamaian dan kebahagiaan. Jika hidup mencari kebahagiaan, maka bagi masyarakat
islam yang bertaqwa, sedekah dapat menjadikan hati menjadi tentram dan bahagia.
d.
Pendapatan
Masyarakat
Semakin
tinggi pendapatan masyarakat suatu daerah atau wilayah maka permintaan
barang/jasa masyarakat daerah (wilayah) tersebut akan semakin tinggi pula.
Begitupun sebaliknya, apabila pendapatan masyarakat suatu daerah rendah maka
permintaan barang/jasa masyarakat daerah tersebut akan rendah pula.
e.
Intesintas
Kebutuhan
Intensintas
kebutuhan merupakan masalah tingkat prioritas kebutuhan yang akan dipilih oleh
setiap konsumen dalam mengkonsumsi barang/jasa. Tingkat permintaan terhadap
barang-barang primer akan lebih tinggi dari pada barang barang-barang sekunder,
permintaan terhadap barang sekunder akan lebih tinggi daripada permintaan
barang tersier.
f.
Jumlah
penduduk
Semakin
banyak jumlah penduduk suatu daerah (wilayah), maka semakin tinggi pula tingkat
permintaan di wilayah tersebut.
g.
Distribusi
pendapatan
Pembahasan
distribusi pendapatan sangat berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan dan
kesenjengan ekonomi masyarakat. Apabila kesenjangan ekonomi masyarakat tinggi,
maka hanya sebagian besar masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhannya secara
normal. Oleh karena itu, semakin merata distribusi pendapatan di masyarakat
yang ditandai dengan rendahnya tingkat rasio gini, maka akan semakin tinggi
pula tingkat permintaan masyarakat tersebut. Begitu pula sebaliknya.
h.
Selera
(preferensi)
Perkembangan
mode, pendidikan, lingkungan akan mempengaruhi selera masyarakat yang akan
mempunyai pengaruh terhadap jumlah permintaan.[1]
Semisal barang-barang khas suatu daerah tertentu.
i.
Harga
barang substitusi
apabila
harga suatu barang naik maka konsumen yang rasional akan cenderung untuk
beralih untuk mengkonsumsi barang penggantinya. Misalnya antara buah apel dan
buah pear. Apabila harga apel naik, sementara harga buah pear konstan maka
konsumen buah apel akan cenderung untuk beralih kepada buah pear.
4.4
Teori Utility Dalam Ekonomi Islam
Dalam
teori ekonomi mikro, kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut
sebagai nilai guna (utility). Jika kepuasan semakin tinggi, maka semakin tinggi
pula nilai gunanya. Perlu dipahami, bahwa nilai guna didalam Islam bukan hanya
bersifat fisik, namun juga bersifat non fisik. Nilai guna yang bersifat fisik
adalah nilai guna yang didapatkan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Nilai
guna yang bersifat fisik di bagi menjadi dua yaitu nilai guna total (NGT) dan
nilai guna marginal (NGM). Sedangkan nilai guna yang bersifat non fisik ialah
nilai guna yang didapatkan dalam memenuhi kebutuhan naluri manusia yaitu gharizah
at tadayun (naluri beragama), gharizah an nau’ (naluri seksual), dan
gharizah al baqo (naluri mempertahankan diri/keamanan). Nilai guna non
fisik ini yang tidak ada dalam ekonomi konvensional karena memandang bahwa
tujuan hidup di dunia ini adalah untuk mencari materi. Sehingga, bagi mereka
kebutuhan itu hanya materi (jasmani) saja. Akidah sekularisme yang mereka
adopsi menjadikan mereka tidak menyadari bahwa manusia memiliki kebutuhan
naluri yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kegelisahan dan keresahan di
dalam hati. Nilai guna yang bersifat fisik akan mengalami penurunan nilai
secara marginal disaat di lakukan (dikonsumsi) berulang-ulang. Sedangkan nilai
guna yang bersifat non fisik akan mengalami penambahan nilai marginal semakin
tinggi jika dilakukan secara berulang-ulang. Perbedaan keduanya dapat dilihat
dibawah ini:
Tabel 2.1 Nilai Guna Total Dan Nilai Guna
Marginal (Fisik)
Jumlah Apel
Yang Dimakan
|
Nilai Guna
Total
|
Nilai Guna
Marginal
|
0
|
0
|
0
|
1
|
30
|
30
|
2
|
90
|
20
|
3
|
120
|
15
|
4
|
90
|
5
|
5
|
80
|
1
|
6
|
70
|
-2
|
7
|
60
|
-5
|
8
|
50
|
-10
|
9
|
40
|
-15
|
10
|
30
|
-30
|
Tabel 2.2 Nilai Guna Total dan Nilai Guna Marginal (Non Fisik)
Sholat (Naluri Beragama)
|
Nilai Guna Total
|
Nilai Guna Marginal
|
Sedekah ke A
|
30
|
30
|
Sedekah ke B
|
60
|
60
|
Sedekah ke C
|
90
|
90
|
Sedekah ke D
|
120
|
120
|
Sedekah ke E
|
180
|
180
|
Sedekah ke F
|
200
|
200
|
Sedekah ke G
|
220
|
220
|
Sedekah ke H
|
250
|
250
|
Sedekah ke I
|
280
|
280
|
Sedekah ke J
|
300
|
300
|
Sedekah ke K
|
350
|
350
|
Sedekah ke L
|
370
|
370
|
Kurva Nilai Guna Total dan Nilai
Guna Marginal (Non Fisik)
Mungkin
bagi sebagian orang, mereka tidak memasukan pemenuhan kebutuhan naluri ini
dalam pembahasan ilmu ekonomi karena mereka menganggap bukan bagian dari
kerangka ilmu ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh barat selama ini. Mereka
lupa bahwa tujuan dari pemenuhan kebutuhan material (fisik) adalah untuk
melangsungkan kehidupan dan mendapatkan kebahagian serta ketentraman di dalam
hidup. Jika tujuan akhir dari aktivitas ekonomi adalah untuk mendapatkan
kesejahteraan, kedamaian dan ketertaman di dalam hidup, maka mereka harus
mengetahui bahwa sesungguhnya pemenuhan kebutuhan naluri (misalnya: sedekah
sebagai bagian dari naluri beragama) merupakan salah satu sarana yang
mengantarkan jiwa kaum muslimin kepada kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian
di dalam hidup. Semakin banyak sedekah yang dikeluarkan oleh seorang individu
umat islam yang bertaqwa maka dia akan semakin merasakan ketentraman.
Selain
itu, mereka lupa bahwa keberhasilan
perekonomian suatu negara tidak berdiri
sendiri, keberhasilan perekonomian suatu negara yang terkadang diukur dengan
tingkat kesejahteraan masyarakatnya sangat berkaitan erat dengan dimensi yang
lain seperti sistem politik negara, tingkat keamanan (gharizah al baqo),
dan tingkah laku masyarakatnya yang sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya
pemenuhan gharizah at taddayun (naluri beragama). Jika penduduk masyarakat
islam taat dalam beragama maka tingkah laku masyarakatnya akan cenderung baik.
Barat
sendiri telah menyadari bahwa keberhasilan ekonomi suatu negara harus sangat
berkaitan erat dengan dimensi yang lain, maka tidak mengherankan mereka
memasukan pembahasan eksternalitas dalam ilmu ekonomi. Padahal eksternalitas
bukanlah bagian dari ilmu ekonomi melainkan bagian dari ilmu lingkungan.
[1]
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Berita Harian: Minuman Beralkohol
Panen Akhir tahun. 2015
[2] Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif
Islam. (Yogyakarta: BPFE,2004), hal. 113.
[3]
Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga.
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 364.
[4]
Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Edisi Ketiga. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal.
325
[5] Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif
Islam. (Yogyakarta: BPFE,2004), hal. 114.
[6] James F, Engel, et. al, Perilaku Konsumen
Jilid 1, Jakarta: Binarupa Aksara, 1994, hlm. 3
[7] Sri Rizqiningsih, Analisis Perilaku
Konsumen Muslim Dalam Hal Tren Jilbab Perspektif Teori Konsumsi Islam, Semarang,
2013: hlm. 19
[8] Agusmal,
Analisis Perilaku Konsumen Di Dalam Masyarakat Islam. UIN MALIKI Malang.
2016.
[9] Standar: dikatakan beriman yaitu ketika
rajin sholat baik wajib maupun sholat sunnah, dan dikatakan kurang taat kepada
Allah jika tidak melaksanakan sholat wajib.
[10] Perhatikanlah bahwa dalam negara islam yang
menerapkan syariat islam, rakyatnya bukan hanya yang beragama islam, akan tetapi
non muslim pun ada di dalamnya dan syariat islam memiliki seperangkat aturan
yang sangat adil kepada orang-orang non muslim yang menjadi rakyat negara
islam.
Komentar
Posting Komentar