Langsung ke konten utama

MENGGAGAS TEORI PERMINTAAN DAN TEORI UTILITAS ISLAM SEBAGAI SOLUSI TUNTAS PROBLEM GAYA HIDUP HEDONISME DI INDOENSIA


Oleh:  AGUSMAL 
 
1.      Pendahuluan
Doktrin ekonomi kapitalisme yang tidak memiliki batasan moral tidak hanya melahirkan konsumen yang konsumeris tetapi juga telah menyebabkan hilangnya batasan-batasan moral dan syariat di dalam transaksi barang dan jasa sehingga melahirkan masyarakat yang hedonis. Hedonisme adalah suatu pandangan yang memandang bahwa hidup di dunia ini hanya untuk mencari kenikmatan duniawi dan untuk bersenang-senang mengikuti hawa nafsu lawwamah. Doktrin ekonomi kapitalisme telah melahirkan bentuk masyarakat yang hedonis.
Ekonomi kapitalisme memandang bahwa barang memiliki nilai guna jika barang tersebut memiliki permintaan. Artinya, barang dan jasa apapun yang diminta atau disukai oleh konsumen maka akan dianggap sebagai komoditas produksi. Oleh karena itu, sekalipun suatu barang/jasa diharamkan di dalam agama dan melanggar nilai-nilai moral (seperti alkohol dan jasa pelacuran), tetapi jika memiliki permintaan maka tetap dianggap sebagai barang/jasa yang berguna, sehingga harus di produksi untuk memenuhi keinginan konsumen.

Sehingga tidak mengherankan, jika minuman beralkohol dianggap sebagai komoditas yang berguna di indonesia. Mengacu laporan keuangan MLBI, pendapatan perusahaan yang memproduksi minuman keras (alkohol) pada bulan September 2014 tercatat Rp 2 triliun, atau naik 10,49% dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 1,81 triliun. Penjualan minuman beralkohol jenis bir berkontribusi Rp 1,9 triliun. Sisanya sebesar Rp 93,71 miliar dari penjualan soft drink. Menurut Agus Silaban (Ketua Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor) pada periode April 2014–Maret 2015, pihaknya mendapat jatah impor 425.000 karton minuman alkohol.[1]
Disisi yang lain permintaan jasa pelacuran juga dianggap nilai guna di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga tidak mengherankan jika sepanjang 2011, berdasarkan perhitungan Biro Riset Infobank (birl), nilai transaksi pelacuran per bulan sekitar Rp 5,5 triliun. Angka itu berdasarkan asumsi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti United Nations Development Programme (UNDP), Dinas Sosial, dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), bahwa jumlah PSK di Indonesia sekitar 193.000-272.000. Angka ini tak berlebihan. (infobanknews.com, 23/8/2012). Ratu mucikari dari Jawa Timur konon bisa meraup penghasilan sampai Rp 25 juta/hari.
Meningkatnya jumlah PSK berarti menunjukkan meningkatnya jumlah pria yang gemar berzina. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, diperkirakan ada 6,7 juta laki-laki yang membeli seks pada 2012. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 3,2 juta (kompas.com, 3/12/2012).
Lebih parahnya lagi, jasa haram pelacuran juga sudah lama dinikmati kalangan pejabat. Sudah jadi rahasia umum, tak sedikit pejabat yang mendapat gratifikasi seksual berupa layanan pelacur. Ironinya, sampai saat ini belum ada undang-undang yang dapat menjeratnya.
Semua fakta itu adalah indikasi hancurnya iman dan takwa bangsa yang mayoritas muslim ini. Masyarakat dan penguasa pun menjadi manusia hedonis yang memburu kenikmatan jasadiyah, termasuk berzina. Istlah haram dan dosa seolah hilang dari kamus mereka. Resiko terkena penyakit kelamin, termasuk tertular HIV/AIDS pun tak terpikirkan.
Menghadapi ini semua, telah lahir ditengah-tengah masyarakat para ekonom islam yang menawarkan pendekatan ekonomi islam dalam menyelesaikan problem bangsa hari ini. Salah satu tawaran mereka adalah pendekatan doktrin permintaan ekonomi islam dan perilaku konsumen islam. Oleh karena itu, dalam artikel ini akan membahas “Teori Permintaan Islam Dan Perilaku Konsumen Islam Sebagai Solusi Tuntas Atas Problem Yang Dihadapi Masyarakat Indonesia”.
2.     Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam artikel ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa sesungguhnya kelemahan dari teori permintaan konvensional dan bagaimanakah teori permintaan ekonomi islam?
2.      Bagaimana Konsep Utility dalam ekonomi islam?

3.     Kajian Teori
3.1Teori Permintaan
Permintaan  adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dalam periode tertentu dan dalam periode tertentu.[2] Permintaan dapat dibagi menjadi dua macam:
a.       Permintaan absolut (absolut demand)
Permintaan absolut adalah seluruh permintaan terhadap barang dan jasa baik yang bertenaga beli/berkemampuan membeli, maupun yang tidak bertenaga beli.
b.      Permintaan efektif (effective demand)
Permintaan efektif adalah permintaan terhadap barang dan jasa yang disertai kemampuan membeli.
Adapun permintaan menurut ekonomi Islam, misalnya Ibnu Taimiyah, permintaan adalah hasrat atau keinginan terhadap suatu barang (raghbah fi al-syai).[3] Ketika berbicara tentang harga al-Ghazali berpadangan bahwa jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah.[4] Artinya, al-Ghazali menanggap permintaan itu berslop negatif.
Oleh karena itu, hukum permintaan islam menurut Muhammad (2005) adalah sebagai berikut: “apabila harga suatu barang naik, maka permintaan akan barang tersebut akan akan turun, sebaliknya bila harga barang tersebut turun maka permintaan akan naik”. Hukum (sunatullah) permintaan tetap berlaku, jika asumsi-asumsi yang dibutuhkan terpenuhi, yaitu cateris paribus.[5]
3.2Teori Utilitas
Teori utilitas berbicara tentang perilaku konsumen di dalam menentukan nilai guna suatu barang. Perilaku  konsumen  adalah  tindakan  yang  langsung  terlibat  dalam mendapatkan,  mengkonsumsi  dan  menghabiskan  produk  dan  jasa, termasuk  keputusan  yang  mendahului  dan  menyusul  tindakan  ini.[6]
Perilaku konsumen muslim adalah suatu perilaku yang dilakukan oleh seorang muslim dimana dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial  (spiritual).[7]
Teori utility merupakan rasionalisasi dari fungsi permintaan. Perilaku konsumen di dalam menentukan pilihannya terhadap barang yang akan di konsumsi memiliki perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Perbedaan yang paling mendasar terdapat pada status barang yang akan di konsumsi. Perilaku konsumen di dalam islam dibangun rasionalitas yang terikat dengan hukum syara’.[8]

4.     Pembahasan
4.1Teori Permintaan Islam
Manusia yang hidup dalam sistem ekonomi manapun akan melakukan pilihan terhadap semua barang/jasa yang diinginkannya berdasarkan jumlah pendapatan proporsional yang dimilikinya. Dengan adanya keterbatasan terhadap jumlah pendapatan proporsional yang dimilikinya maka setiap rumah tangga konsumen masyarakat islam akan selalu berusaha mengkombinasikan pilihannya dalam mengkonsumsi barang/jasa berdasarkan tingkat prioritas kebutuhan dan keinginan akan barang dan jasa. Tentu saja setiap konsumen akan melakukan pilihan yang terbaik terhadap barang/jasa yang di izinkan oleh syara’, memberikan manfaat, dan memberikan kepuasan paling tinggi. Seorang konsumen yang di dalam hatinya dipenuhi dengan keimanan, yang nafsunya berada dibawah kendali akal dan keimanannya akan memiliki kepuasaan yang tertinggi tatkala mampu memenuhi kebutuhannya secara proporsional, ini yang disebut dengan permintaan proporsional. Sedangkan bagi seorang konsumen yang dipenuhi dengan nafsu lawwamah (akal dan keimanannya berada dibawah kendali nafsunya) maka akan  memiliki kepuasan tertinggi tatkala semakin barang / jasa yang dikonsumsinya karena merasa semakin banyak barang yang di konsumsi maka semakin terpenuhi kebutuhannya. Ini yang disebut dengan permintaan lawwamah. Perbadingan kurva permintaan proporsional dan kurva permintaan lawwamah:
 
Perhatikan kurva diatas, sangat jelas sekali perbedaan antara permintaan proporsional dan permintaan lawwamah. Seorang konsumen yang memiliki gaya permintaan proporsional akan cenderung lebih hemat. Seberapa besarpun harga barang diturunkan maka permintaan barang dia cenderung konstan, adapapun jika bertambah maka hanya sedikit saja. Sedangkan seorang konsumen yang memiliki gaya permintaan lawwamah maka penurunan harga barang sedikit saja maka akan cenderung menambah jumlah barang yang diminta. Mengapa dalam permintaan proporsional, disaat harga barang di naikkan akan berefek pada penurunan permintaan? Jawabannya sangat jelas sekali, hal itu terjadi karena kenaikkan harga barang akan mengurangi daya beli konsumen.
4.2 Hukum Permintaan
Setelah melakukan kajian secara tekstual dan faktual (terhadap gerakan islam yang anggotanya memiliki keimanan yang tinggi dan terhadap umat islam yang kurang taat kepada Allah[9]) maka kami merumuskan hukum permintaan dalam khasanah ilmu ekonomi menjadi dua yaitu hukum permintaan proporsional (ini adalah hukum permintaan ekonomi islam) dan hukum permintaan lawwamah (ini adalah hukum permintaan ekonomi kapitalalisme/konvensional). Hukum permintaan proporsional yaitu:
“Jika harga suatu barang/jasa yang halal naik, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung menurun. Sedangkan jika harga barang/jasa yang halal turun, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung konstan, adapun jika permintaannya bertambah maka akan bertambah dengan jumlah yang sangat sedikit. Dengan syarat cateris paribus.”
Sedangkan hukum permintaan lawwamah adalah sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh para ekonom barat yaitu:
“Jika harga suatu barang/jasa naik yang halal maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung menurun. Sebaliknya jika harga suatu barang/jasa yang halal turun, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung meningkat. Dengan syarat cateris paribus.”
Mengapa perlu ada batasan bahwa barang dan jasa tersebut adalah barang/jasa yang halal? Hal ini dikarenakan dalam masyarakat islam, barang-barang yang di haramkan oleh syara’ untuk di konsumsi oleh umat islam seperti daging babi maka tidak akan memiliki permintaan pada umat islam walaupun harganya sangat murah bahkan ditawarkan dengan harga yang gratis sekalipun. Hal ini disebakan oleh dua hal yakni 1). Karena faktor keimanan (keyakinan akan haramnya daging babi tersebut dan juga ketaatan pada individu muslim pada larangan Alloh), dan 2). karena diproteksi oleh pemerintah islam. Namun, daging babi akan memiliki permintaan pada masyarakat islam yang tidak beragama islam (non muslim yang hidup dalam negara islam) jika didalam agama mereka tidak melarangnya dan makanan yang dihalalkan dalam agama mereka maka tidak boleh diproteksi oleh pemerintah islam, ini adalah ketentuan yang baku di dalam sistem pemerintahan islam.[10] Oleh karena itu, hukum permintaan diatas dimana memiliki batasan yakni harus barang yang halal dalam tinjauan syariat islam. Jika syariat islam melarang kaum muslimin untuk mengkonsumsi alkohol dan memakai jasa pelacuran maka dua hal ini tidak akan memiliki permintaan ditengah-tengah kaum muslimin. Begitupun dengan daging babi, daging babi, semurah apapun tidak akan memiliki permintaan kepada umat islam karena adanya larangan syariat islam dan negara islam memproteksi daging babi agar tidak di konsumsi oleh umat islam. Namun, proteksi itu tidak berlaku kepada umat kristiani yang menjadi warga negara islam, sebab syariat mereka memperbolehkan memakan daging babi. Inilah keadilan sistem pemerintahan islam.
4.3Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Masyarkat Islam Dan Batasan-Batasan Rasionalitas
Setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di dalam hidupnya, hanya saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas permintaan rumah tangga konsumen di dalam ekonomi islam. Yaitu:
a.       Legalitas Syara’ (Allah swt)
Adanya legalitas syara’ di dalam faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menjadi hal yang paling mendasar yang menjadi pembeda antara perilaku konsumen di dalam ekonomi konvensional dengan ekonomi islam. Masyarakat islam yang beragama islam tidak akan pernah melakukan permintaan terhadap barang/jasa yang tidak di izinkan oleh syara’ seperti daging babi dan jasa pelacuran. Oleh karena itu, barang/jasa yang tidak di izinkan oleh syara’ untuk di konsumsi maka tidak akan memiliki permintaan di dalam masyarakat islam yang beragama islam meskipun dengan harga yang sangat rendah (murah).
b.      Harga Barang Itu Sendiri
Naik turunnya harga suatu barang / jasa akan mempengaruhi tingkat permintaan barang dan jasa tersebut. Hanya saja di dalam masyarakat islam yang menerapkan ekonomi islam, kenaikan permintaan sebagai akibat dari turunnya harga tidak sesignifikan kenaikan permintaan dalam ekonomi konvensional. Semakin tinggi tingkat ketawadhuan  dan keimanan seseorang di dalam hidupnya maka akan semakin mendekati kurva permintaan proporsional, begitupun sebaliknya, semakin semakin kaburnya nilai-nilai ketawadhuan seseorang maka akan semakin mendekati permintaan lawwamah.
c.    Jumlah Sedekah
Semakin tinggi dorongan seseorang untuk bersedekah (misalnya membayar zakat, infak, atau membantu orang lain) maka pendapatan disposibel-nya akan semakin berkurang sehingga akan mengurangi daya beli terhadap barang dan jasa. Bagi sebagian orang mungkin memandang bahwa sedekah mengurangi konsumsi rumah tangga. Tetapi bagi masyarakat islam yang bertakwa, sedekah adalah salah satu unsur pembentuk kebahagiaan dan ketenangan batin. Sehingga, jika kita kembalikan kepada hakikat konsumsi (kenapa kita mengkonsumsi suatu barang) maka kita akan mengetahui bahwa kita melakukan konsumsi untuk hidup dan kita hidup untuk mencari kedamaian dan kebahagiaan. Jika hidup mencari kebahagiaan, maka bagi masyarakat islam yang bertaqwa, sedekah dapat menjadikan hati menjadi tentram dan bahagia.
d.   Pendapatan Masyarakat
Semakin tinggi pendapatan masyarakat suatu daerah atau wilayah maka permintaan barang/jasa masyarakat daerah (wilayah) tersebut akan semakin tinggi pula. Begitupun sebaliknya, apabila pendapatan masyarakat suatu daerah rendah maka permintaan barang/jasa masyarakat daerah tersebut akan rendah pula.
e.    Intesintas Kebutuhan
Intensintas kebutuhan merupakan masalah tingkat prioritas kebutuhan yang akan dipilih oleh setiap konsumen dalam mengkonsumsi barang/jasa. Tingkat permintaan terhadap barang-barang primer akan lebih tinggi dari pada barang barang-barang sekunder, permintaan terhadap barang sekunder akan lebih tinggi daripada permintaan barang tersier.
f.     Jumlah penduduk
Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah (wilayah), maka semakin tinggi pula tingkat permintaan di wilayah tersebut.
g.      Distribusi pendapatan
Pembahasan distribusi pendapatan sangat berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan dan kesenjengan ekonomi masyarakat. Apabila kesenjangan ekonomi masyarakat tinggi, maka hanya sebagian besar masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhannya secara normal. Oleh karena itu, semakin merata distribusi pendapatan di masyarakat yang ditandai dengan rendahnya tingkat rasio gini, maka akan semakin tinggi pula tingkat permintaan masyarakat tersebut. Begitu pula sebaliknya.
h.      Selera (preferensi)
Perkembangan mode, pendidikan, lingkungan akan mempengaruhi selera masyarakat yang akan mempunyai pengaruh terhadap jumlah permintaan.[1] Semisal barang-barang khas suatu daerah tertentu.
i.        Harga barang substitusi
apabila harga suatu barang naik maka konsumen yang rasional akan cenderung untuk beralih untuk mengkonsumsi barang penggantinya. Misalnya antara buah apel dan buah pear. Apabila harga apel naik, sementara harga buah pear konstan maka konsumen buah apel akan cenderung untuk beralih kepada buah pear.
4.4  Teori Utility Dalam Ekonomi Islam
Dalam teori ekonomi mikro, kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut sebagai nilai guna (utility). Jika kepuasan semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Perlu dipahami, bahwa nilai guna didalam Islam bukan hanya bersifat fisik, namun juga bersifat non fisik. Nilai guna yang bersifat fisik adalah nilai guna yang didapatkan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Nilai guna yang bersifat fisik di bagi menjadi dua yaitu nilai guna total (NGT) dan nilai guna marginal (NGM). Sedangkan nilai guna yang bersifat non fisik ialah nilai guna yang didapatkan dalam memenuhi kebutuhan naluri manusia yaitu gharizah at tadayun (naluri beragama), gharizah an nau’ (naluri seksual), dan gharizah al baqo (naluri mempertahankan diri/keamanan). Nilai guna non fisik ini yang tidak ada dalam ekonomi konvensional karena memandang bahwa tujuan hidup di dunia ini adalah untuk mencari materi. Sehingga, bagi mereka kebutuhan itu hanya materi (jasmani) saja. Akidah sekularisme yang mereka adopsi menjadikan mereka tidak menyadari bahwa manusia memiliki kebutuhan naluri yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kegelisahan dan keresahan di dalam hati. Nilai guna yang bersifat fisik akan mengalami penurunan nilai secara marginal disaat di lakukan (dikonsumsi) berulang-ulang. Sedangkan nilai guna yang bersifat non fisik akan mengalami penambahan nilai marginal semakin tinggi jika dilakukan secara berulang-ulang. Perbedaan keduanya dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 2.1 Nilai Guna Total Dan Nilai Guna Marginal (Fisik)
Jumlah Apel Yang Dimakan
Nilai Guna Total
Nilai Guna Marginal
0
0
0
1
30
30
2
90
20
3
120
15
4
90
5
5
80
1
6
70
-2
7
60
-5
8
50
-10
9
40
-15
10
30
-30


        

Tabel 2.2 Nilai Guna Total dan Nilai Guna Marginal (Non Fisik)
Sholat (Naluri Beragama)
Nilai Guna Total
Nilai Guna Marginal
Sedekah ke A
30
30
Sedekah ke B
60
60
Sedekah ke C
90
90
Sedekah ke D
120
120
Sedekah ke E
180
180
Sedekah ke F
200
200
Sedekah ke G
220
220
Sedekah ke H
250
250
Sedekah ke I
280
280
Sedekah ke J
300
300
Sedekah ke K
350
350
Sedekah ke L
370
370

Kurva Nilai Guna Total dan Nilai Guna Marginal (Non Fisik)

Mungkin bagi sebagian orang, mereka tidak memasukan pemenuhan kebutuhan naluri ini dalam pembahasan ilmu ekonomi karena mereka menganggap bukan bagian dari kerangka ilmu ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh barat selama ini. Mereka lupa bahwa tujuan dari pemenuhan kebutuhan material (fisik) adalah untuk melangsungkan kehidupan dan mendapatkan kebahagian serta ketentraman di dalam hidup. Jika tujuan akhir dari aktivitas ekonomi adalah untuk mendapatkan kesejahteraan, kedamaian dan ketertaman di dalam hidup, maka mereka harus mengetahui bahwa sesungguhnya pemenuhan kebutuhan naluri (misalnya: sedekah sebagai bagian dari naluri beragama) merupakan salah satu sarana yang mengantarkan jiwa kaum muslimin kepada kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian di dalam hidup. Semakin banyak sedekah yang dikeluarkan oleh seorang individu umat islam yang bertaqwa maka dia akan semakin merasakan ketentraman.
Selain itu,  mereka lupa bahwa keberhasilan perekonomian suatu negara  tidak berdiri sendiri, keberhasilan perekonomian suatu negara yang terkadang diukur dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya sangat berkaitan erat dengan dimensi yang lain seperti sistem politik negara, tingkat keamanan (gharizah al baqo), dan tingkah laku masyarakatnya yang sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya pemenuhan gharizah at taddayun (naluri beragama). Jika penduduk masyarakat islam taat dalam beragama maka tingkah laku masyarakatnya akan cenderung baik.
Barat sendiri telah menyadari bahwa keberhasilan ekonomi suatu negara harus sangat berkaitan erat dengan dimensi yang lain, maka tidak mengherankan mereka memasukan pembahasan eksternalitas dalam ilmu ekonomi. Padahal eksternalitas bukanlah bagian dari ilmu ekonomi melainkan bagian dari ilmu lingkungan.


[1] Eko suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal 62


[1] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Berita Harian: Minuman Beralkohol Panen Akhir tahun. 2015
[2] Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. (Yogyakarta: BPFE,2004), hal. 113.
[3] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 364.
[4] Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 325
[5] Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. (Yogyakarta: BPFE,2004), hal. 114.
[6] James F, Engel, et. al, Perilaku Konsumen Jilid 1, Jakarta: Binarupa Aksara, 1994, hlm. 3
[7] Sri Rizqiningsih, Analisis Perilaku Konsumen Muslim Dalam Hal Tren Jilbab Perspektif Teori Konsumsi Islam, Semarang, 2013: hlm. 19
[8] Agusmal, Analisis Perilaku Konsumen Di Dalam Masyarakat Islam. UIN MALIKI Malang. 2016.
[9] Standar: dikatakan beriman yaitu ketika rajin sholat baik wajib maupun sholat sunnah, dan dikatakan kurang taat kepada Allah jika tidak melaksanakan sholat wajib.
[10] Perhatikanlah bahwa dalam negara islam yang menerapkan syariat islam, rakyatnya bukan hanya yang beragama islam, akan tetapi non muslim pun ada di dalamnya dan syariat islam memiliki seperangkat aturan yang sangat adil kepada orang-orang non muslim yang menjadi rakyat negara islam.

Komentar

Artikel Terbaik

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal) Khutbah Pertama Membaca basmalah : BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dibaca dalam hati) Mengucapkan salam : ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUHU (lalu khotib duduk dan muadzin mengumandangkan azan. Setelah selesai adzan, khatib berdiri lagi dan langsung membaca hamdalah kalimat pujian (hamdalah), yaitu: INNAL HAMDA LILLAAH, NAHMADUHUU WA NASTA’IINUHUU WA NASTAGHFIRUHU WA NA’UUDZUBILLAAHI MIN SYURUURI ‘ANFUSINAA WA MIN SYAYYI-AATI A’MAALINAA MAN YAHDILLAAHU FALAA MUDHILLALAHU WA MAN YUDHLIL FALAA HAADIYALAHU Membaca syahadat : ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAAHU WA ASYHADU ANNAA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUHUU LAA NABIYYA BA’DAHU Membaca shalawat : ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SYAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII ‘AJMA’IIN Membaca ayat alqur’an yang mengajak bertaqwa kepada allah, contoh: YA AYYUHAL

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

1.         PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Di dalam menjalani kehidupan manusia akan terus mencari tahu tentang hakikat hidupnya dan seluruh materi yang ada disekelilingnya. Dia akan terus berfikir mencari kebenaran (hakikat) hidupnya dan materi lain yang ada disekelilingnya. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk berfikir dan mencari tahu sebelum menemukan jawaban   dan memahami tentang diri dan lingkungannya. Setiap pemikiran manusia yang diberi kesimpulan akan melahirkan sebuah konsep atau ide. Setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut sebagai aktivitas berpikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. Menurut madzhab komunisme, pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak [1] . Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam : Muttafaq 'alayh dan Mukhtalaf fiih

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alay h dan Mukhtalaf Fiih Oleh : Agusmal Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah . Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli. Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah (penunjukan)   dan irsyad (petunjuk). Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat mengh