AGUSMAL
1.
Pendahuluan
Ibarat api jauh panggang, cita-cita untuk membangun kesejahteraan
di dalam naungan sistem ekonomi kapitalisme malah menjadi malapetaka di seluruh
dunia yang mengadopsinya, termasuk di negara jantung kapitalisme barat sendiri yakni
Amerika Serikat yang hampir setiap lima tahun berlangganan dengan krisis
moneter. Sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan fiat money (uang
kertas), franctional reserve requirement (cadangan emas yang rata-rata
10 %), dan interest (bunga), sebagai pondasi dalam membangun perekonomian
setiap negara ternyata memicu inflasi dan ketidakseimbangan pasar uang dan
pasar barang yang selalu berakhir dengan terjadinya krisis yang
memporak-porandakan seluruh subsektor perekonomian negara tersebut.[1]
Otoritas moneter berusaha mati-matian menghadap laju inflasi dengan
kebijakan inflation targeting. Tapi secanggih apapun pendekatannya,
tidak pernah memutus akar inflasi dan tidak pernah dapat menyeimbangkan sektor
moneter dan sektor rill, karena adanya interest, sekuritisasi hutang, dan
permainan dipasar derifatif, telah menyebabkan laju pertumbuhan sektor moneter
yakni nilai jumlah uang beredar (JUB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
sektor rill (nilai barang dan jasa). Teori ekonomi menyatakan, tatkala jumlah
uang beredar lebih tinggi daripada jumlah barang dan jasa maka inflasi akan
terjadi.
Selain problem dalam skala makro tersebut, ekonomi kapitalisme juga
telah menyebabkan problem dalam skala mikro yakni para konsumen dan produsen
melakukan kegiatan ekonomi yang terkadang melanggar nilai-nilai agama. Para
produsen memproduksi apapun yang nilai guna, dimana nilai guna dalam pandangan
ekonomi ini adalah semua barang dan jasa yang memiliki permintaan. Sementara
para konsumen juga melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memandang
lagi prinsip-prinsip illahiyah.
Hegemoni konsumerisme yang dibangkitkan dalam premis perilaku
konsumen ekonomi barat ternyata telah memburamkan cita-cita keadilan dan
kesejahteraan. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat sulit sekali menggerakan
rasanya untuk cinta kasih dan peduli terhadap nasib orang lain, karena setiap
orang lebih suka berlomba-lomba dalam kekayaan dan mencari kesenangan sendiri.
Patut diakui bahwa hal ini telah menghinggap pada sebagian umat islam sehingga
di khawatirkan akan menghambat saluran distribusi sebagian harta dari yang kaya
terhadap yang miskin.[2]
Menghadapi semua ini,
beberapa tokoh-tokoh intelektual dari kalangan umat islam yang melakukan
perlawanan terhadap doktrin sistem ekonomi kapitalisme dengan mencoba
membangkitkan kembali doktrin ekonomi islam. Jika kita perhatikan, ditinjau
dari minstrem pemikirannya maka upaya membangkitkan kembali ekonomi islam
terbagi dalam tiga madzhab yaitu madzhab fundamentalis, madzhab parsialistik,
dan madzhab modernisme. Sedangkan jika ditinjau dari sisi arah kajian maka
pengembanan ekonomi islam dapat dklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu kajian
yang bersifat makro dan kajian yang bersifat mikro. Pada kesempatan ini,
penulis akan mencoba untuk menjelaskan konsep perilaku konsumen dalam ekonomi
islam. Hanya, tatkala membahas masalah ini, bukan berarti bahwa kami bermadzhab
parsialistik. Ini hanya sekedar bagian dari sumbangsih kami dalam mengembangkan
ekonomi mikro islam.
2.
PEMBAHASAN
2.1
Teori
Permintaan
Sebelum
masuk dalam kajian perilaku konsumen secara spesifik maka terlebih dahulu akan
kita bahas mengenai teori permintaan. Mengapa demikian? Karena teori perilaku
konsumen memiliki hubungan yang erat dan tidak bisa dipisahkan dari teori
permintaan.
Manusia
yang hidup dalam sistem ekonomi manapun akan melakukan pilihan terhadap semua
barang/jasa yang diinginkannya berdasarkan jumlah pendapatan proporsional yang
dimilikinya. Dengan adanya keterbatasan terhadap jumlah pendapatan proporsional
yang dimilikinya maka setiap rumah tangga konsumen masyarakat islam akan selalu
berusaha mengkombinasikan pilihannya dalam mengkonsumsi barang/jasa berdasarkan
tingkat prioritas kebutuhan dan keinginan akan barang dan jasa. Tentu saja setiap
konsumen akan melakukan pilihan yang terbaik terhadap barang/jasa yang di
izinkan oleh syara’, memberikan manfaat, dan memberikan kepuasan paling tinggi.
Seorang konsumen yang di dalam hatinya dipenuhi dengan keimanan, yang nafsunya
berada dibawah kendali akal dan keimanannya akan memiliki kepuasaan yang
tertinggi tatkala mampu memenuhi kebutuhannya secara proporsional, ini yang
disebut dengan permintaan proporsional. Sedangkan bagi seorang konsumen yang
dipenuhi dengan nafsu lawwamah (akal dan keimanannya berada dibawah kendali
nafsunya) maka akan memiliki kepuasan
tertinggi tatkala semakin barang / jasa yang dikonsumsinya karena merasa
semakin banyak barang yang di konsumsi maka semakin terpenuhi kebutuhannya. Ini
yang disebut dengan permintaan lawwamah. Perbadingan kurva permintaan
proporsional dan kurva permintaan lawwamah:
Perhatikan
kurva diatas, sangat jelas sekali perbedaan antara permintaan proporsional dan
permintaan lawwamah. Seorang konsumen yang memiliki gaya permintaan
proporsional akan cenderung lebih hemat. Seberapa besarpun harga barang
diturunkan maka permintaan barang dia cenderung konstan, adapapun jika
bertambah maka hanya sedikit saja. Sedangkan seorang konsumen yang memiliki
gaya permintaan lawwamah maka penurunan harga barang sedikit saja maka akan
cenderung menambah jumlah barang yang diminta. Mengapa dalam permintaan
proporsional, disaat harga barang di naikkan akan berefek pada penurunan
permintaan? Jawabannya sangat jelas sekali, hal itu terjadi karena kenaikkan
harga barang akan mengurangi daya beli konsumen.
2.2
Hukum
Permintaan (Permintaan Proporsional & Permintaan Lawwamah)
Pebagai
hasil dari kombinasi kajian secara tekstual dan faktual yang kami lakukan maka
kami merumuskan hukum permintaan dalam khasanah ilmu ekonomi menjadi dua yaitu
hukum permintaan proporsional (ini adalah hukum permintaan ekonomi islam) dan
hukum permintaan lawwamah (ini adalah hukum permintaan ekonomi
kapitalalisme/konvensional). Hukum permintaan proporsional yaitu:
“Jika
harga suatu barang/jasa naik, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan
cenderung menurun. Sedangkan jika harga barang/jasa turun, maka permintaan akan
barang/jasa tersebut akan cenderung konstan, adapun jika permintaannya
bertambah maka akan bertambah dengan jumlah yang sangat sedikit. Dengan syarat cateris
paribus.”
Sedangkan
hukum permintaan lawwamah adalah sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh
para ekonom barat yaitu:
“Jika
harga suatu barang/jasa naik maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan
cenderung menurun. Sebaliknya jika harga suatu barang/jasa turun, maka
permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung meningkat. Dengan syarat cateris
paribus.”
Dalam
ekonomi islam, barang-barang yang di haramkan oleh syara’ untuk di konsumsi
oleh umat islam seperti daging babi maka tidak akan memiliki permintaan pada
umat islam karena diproteksi oleh pemerintah. Namun, daging babi akan memiliki
permintaan pada masyarakat islam yang tidak beragama islam (non muslim yang
hidup dalam negara islam) sebab di izinkan oleh syara’ dan makanan yang
dihalalkan dalam agama mereka maka tidak boleh diproteksi oleh pemerintah
islam.
2.3
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Permintaan
Manusia
sebagai makhluk yang memiliki naluri dan
kebutuhan jasmani akan bersifat dinamis dan rasional di dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, aktivitas permintaan yang
dilakukan oleh manusia adalah bagian dari pemenuhan naluri dan kebutuhan
jasmaninya. Setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di dalam
hidupnya, hanya saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas permintaan
rumah tangga konsumen di dalam ekonomi islam. Yaitu:
a.
Harga
Barang Itu Sendiri
Naik
turunnya harga suatu barang / jasa akan mempengaruhi tingkat permintaan barang
dan jasa tersebut. Hanya saja di dalam masyarakat islam yang menerapkan ekonomi
islam, kenaikan permintaan sebagai akibat dari turunnya harga tidak
sesignifikan kenaikan permintaan dalam ekonomi konvensional. Semakin tinggi
tingkat ketawadhuan seseorang di dalam hidupnya maka akan semakin mendekati
kurva permintaan proporsional, begitupun sebaliknya, semakin semakin kaburnya
nilai-nilai ketawadhuan seseorang maka akan semakin mendekati permintaan
lawwamah.
b.
Legalitas
Syara’ (Allah swt)
Adanya
legalitas syara’ di dalam faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menjadi
hal yang paling mendasar yang menjadi pembeda antara perilaku konsumen di dalam
ekonomi konvensional dengan ekonomi islam. Ekonomi islam menjadikan legalitas
syara’ sebagai faktor yang paling mempengaruhi permintaan karena masyarakat
islam menjadikan menjadikan hukum syara’ sebagai landasan bagi perbuatan
mereka. Masyarakat islam yang beragama islam tidak akan pernah melakukan
permintaan terhadap barang/jasa yang tidak di izinkan oleh syara’ seperti
daging babi dan jasa pelacuran. Oleh karena itu, barang/jasa yang tidak di
izinkan oleh syara’ untuk di konsumsi maka tidak akan memiliki permintaan di
dalam masyarakat islam yang beragama islam meskipun dengan harga yang sangat
rendah (murah).
c.
Pendapatan
Masyarakat
Semakin
tinggi pendapatan masyarakat suatu daerah atau wilayah maka permintaan barang/jasa
masyarakat daerah (wilayah) tersebut akan semakin tinggi pula. Begitupun
sebaliknya, apabila pendapatan masyarakat suatu daerah rendah maka permintaan barang/jasa
masyarakat daerah tersebut akan rendah pula.
d.
Intesintas
Kebutuhan
Intensintas
kebutuhan merupakan masalah tingkat prioritas kebutuhan yang akan dipilih oleh
setiap konsumen dalam mengkonsumsi barang/jasa. Tingkat permintaan terhadap
barang-barang primer akan lebih tinggi dari pada barang barang-barang sekunder,
permintaan terhadap barang sekunder akan lebih tinggi daripada permintaan barang
tersier.
e.
Jumlah
penduduk
Semakin
banyak jumlah penduduk suatu daerah (wilayah), maka semakin tinggi pula tingkat
permintaan di wilayah tersebut.
f.
Distribusi
pendapatan
Pembahasan
distribusi pendapatan sangat berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan dan
kesenjengan ekonomi masyarakat. Apabila kesenjangan ekonomi masyarakat tinggi,
maka hanya sebagian besar masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhannya secara
normal. Oleh karena itu, semakin merata distribusi pendapatan di masyarakat
yang ditandai dengan rendahnya tingkat rasio gini, maka akan semakin tinggi
pula tingkat permintaan masyarakat tersebut. Begitu pula sebaliknya.
g.
Selera
(preferensi)
Perkembangan
mode, pendidikan, lingkungan akan mempengaruhi selera masyarakat yang akan
mempunyai pengaruh terhadap jumlah permintaan.[3]
Semisal barang-barang khas suatu daerah tertentu.
h.
Harga
barang substitusi
apabila
harga suatu barang naik maka konsumen yang rasional akan cenderung untuk
beralih untuk mengkonsumsi barang penggantinya. Misalnya antara buah apel dan
buah pear. Apabila harga apel naik, sementara harga buah pear konstan maka
konsumen buah apel akan cenderung untuk beralih kepada buah pear.
2.4
Prinsip
Dasar Perilaku Konsumen Dalam Islam
Islam
merupakan agama yang mengajak manusia untuk memiliki pribadi yang agung, yang
memiliki perilaku yang baik di dalam hubungannya dengan Allah, manusia, dan
dengan dirinya sendiri. Konsumsi yang berlebih-lebihan merupakan ciri
masyarakat yang tidak mengenal Tuhan dan sangat terlarang di dalam islam.
Konsumsi yang berlebih- lebihan di dalam ekonomi islam disebut sebagai isrof
(pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta untuk
mengkonsumsi sesuatu yang di larang di dalam islam meskipun dengan harga yang
murah).
Pengembangan
perilaku konsumen secara garis besar dibagi menjadi empat aksioma pokok
sebagaimana yang dijelaskan oleh Naqfi, dimana beliau mengelompokkan perilaku
konsumen kedalam empat aksioma pokok yaitu: tauhid, keadilan, kebebasan
berkehendak dan pertanggungjawaban.[4] Dimana hal tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Tauhid
Menurut
Qardhawi, maksud tauhid dibagi menjadi dua kriteria, yaitu: rabbaniyah
ghayyah (tujuan), dan wijhah (sudut pandang). Maksud dari kriteria
pertama adalah tujuan akhir dan sasaran Islam kedepan yaitu menjaga hubungan
Allah secara baik dan mencapai ridhonya. Kriteria kedua adalah Rabbaniyah
Masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kriteria ini mempunyai
kaitan dengan kriteria pertama, artinya kriteria ini merupakan suatu sistem
yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak kriteria pertama yang
bersumber pada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah.[5]
b.
Al-Adallah
(keadilan)
Kata
العدل berarti sama (rata), sepadan ukuran
(takaran), keseimbangan.[6] Adil
merupakan lawan dari kezholiman dan kecurangan. Sehubungan dengan masalah adil
Murtadha Mutahari mendefinisikan keadilan menjadi empat pengertian, yaitu
keadaan sesuatu yang seimbang, persamaan dan pengingkaran dari segala bentuk
diskriminasi, peleiharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada orang yang
berhak menerimanya, dan memelihara hak bagi kelanjutan eksistensi keadilan
Tuhan.[7]
Yang dimaksud dengan keadilan sebagai standar dalam perilaku konsumen yaitu
seorang konsumen harus senantiasa menyadari bahwa seluruh barang/jasa yang
dikonsumsi merupakan pemberian Allah swt yang diberikan kepada manusia untuk
memenuhi kebutuhan manusia secara proporsional. Oleh karena itu, seorang
konsumen tidak boleh bertindak curang atau zholim untuk mendapatkan sesuatu
karena akan merugikan orang lain bahkan membuat orang lain kesulitan untuk
mendapatkan barang tersebut.
c.
Free
Will (Kehendak Bebas)
Mungkin yang dimaksud oleh Naqfi
dengan kebebsasan berkehendak adalah idrak silabillah (kesadaran
hubungan dengan Allah SWT dalam setiap perbuatannya). Artinya manusia memang
diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk melakukan suatu perbuatan diwilayah yang
dikuasainya, namun manusia harus menyadari bahwa setiap perbuatannya senantiasa
mendapat penilaian dari Allah SWT yang akan menerima balasan-Nya.
d.
Amanah (Pertanggungjawaban)
Dalam
masyaraqkat Islam harus senantiasa dibangun kesadaran pada seluruh
masyarakatnya bahwa perbuatan mereka kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan
Allah SWT.
e.
Legalitas
Syara’
Artinya,
seorang konsumen didalam masyarakat Islam yang menerapkan ekonomi Islam harus
senantiasa memperhatikan ketentuan syara’ terhadap barang dan jasa yang akan
dikonsumsinya.
f.
Sederhana
Kesederhanaan
merupakan etika konsumsi dalam Islam. Sederhana artinya cara hidup diantara dua
titik ekstrim (jalan tengah) yakni antara paham matrealistis dan zuhud dalam
pandangan sufi yang terkadang berlebihan dalam berlepas diri dari urusan dunia.
Zuhud dalam ekonomi Islam sangat diperlukan. Yang dimaksud dengan zuhud di sini adalah meletakkan dunia ditangan,
bukan dihati. Seorang yang meletakkan dunia di tangannya bukan di hatinya
(zuhud), maka dia akan sangat mudah untuk berbuat baik kepada saudaranya,
tetangganya, dan bahkan kepada siapapun yang tidak dikenalnya, dia akan
mensyukri apapun pemberian Allah dan mudah untuk berbagi kepada siapapun.
g.
Kebersihan
Ekonomi
Islam menghendaki agar masyarakat Islam mengkonsumsi makanan yang baik dan
cocok untuk dimakan (tidak kotor atau menjijikkan) sehingga tidak merusak selera.
h.
Kemurahan
Hati
Islam
menghendaki agar masyarakat Islam memahami dengan benar bahwa sesama muslim
adalah bersaudara dan kepada non muslim mereka juga harus berbuat baik. Oleh
karena itu, dalam masyarakat Islam harus terbentuk rasa saling berbagi.
2.5
Teori
Utility Dalam Ekonomi Islam
Teori
utility merupakan rasionalisasi dari fungsi permintaan. Perilaku konsumen di
dalam menentukan pilihannya terhadap barang yang akan di konsumsi memiliki
perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Perbedaan yang paling
mendasar terdapat pada status barang yang akan di konsumsi. Perilaku konsumen
di dalam islam dibangun rasionalitas yang terikat dengan hukum syara’, yaitu:[8]
a.
Halal-Haram
Dalam
ekonomi islam, seorang konsumen akan lebih memilih barang yang tingkat
kehalalan dan keberkahannya lebih tinggi daripada barang yang lain, walapun
barang yang lainnya secara fisik terlihat lebih menarik. Hal ini menjadi
menjadi aksioma utama dalam ekonomi islam.
b.
Completness
(kelengkapan)
Apabila
individu dihadapkan dengan tiga pilihan barang dimana salah satu barang
tersebut lebih disukai dari pada lainnya atau keduanya sama-sama disukai, maka
dapat diasumsikan bahwa individu tersebut akan mengambil satu keputusan yang
konsekuen dan akibatnya dipahami. Sebagai contoh:
·
A
lebih disukai daripada B
·
B
lebih disukai daripada A
·
A
dan B sama-sama disukai
c.
Transitivity
Artinya, jika seseorang berpendapat
bahwa barang A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C, maka
ia akan mengatakan bahwa barang A lebih baik dari barang C. Asumsi tersebut
mengatakan bahwa pilihan individu tersebut bersifat konsisten secara internal.
d.
Continuity
Artinya, seseorang menganggap barang
A lebih disukai daripada B, maka situasi yang cocok mendekati A harus juga
lebih disukai daripada B.
e.
Independensi
Sifat independensi ini bermakna
seeseorang selalu rasional dalam menghadapi berbagai macam keadaan. Adiwarman
Karim mengistilahkannya sebagai ‘walau galau tetap setia’. Sifat independensi
dimasukkan dalam teori ini karena adanya unsur ketidakpastian yaitu kemungkinan
terjadinya suatu peristiwa yang menjadikan kita seakan-akan tidak konsisten
dalam pilihan yang disebabkan oleh perbedaan cuaca dan lingkungan. Hal ini
misalnya seseorang akan lebih menyukai segelas air kelapa dingin daripada
secangkir jahe hangat dikala musim panas dan sebaliknya, seseorang akan lebih
menyukai secangkir jahe daripada segelas kelapa dingin dikala musim dingin.[9]
Dari
aksioma-aksioma dan asumsi tersebut dapat dianalisis bagaimana individu dapat
membuat tingkatan dari berbagai situasi pilihan. Secara singkat, hal tersebut
dikatakan oleh Jeremy Bentham dalam “Introduction to the principle of morals
and legislation” sebagai utility (nilai guna).[10]
Dalam
teori ekonomi mikro, kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut
sebagai nilai guna. Jika kepuasan semakin tinggi, maka semakin tinggi pula
nilai gunanya. Perlu dipahami, bahwa nilai guna didalam Islam bukan hanya
bersifat fisik, namun juga bersifat non fisik. Nilai guna yang bersifat fisik
adalah nilai guna yang didapatkan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Nilai
guna yang bersifat fisik di bagi menjadi dua yaitu nilai guna total (NGT) dan
nilai guna marginal (NGM). Sedangkan nilai guna yang bersifat non fisik ialah
nilai guna yang didapatkan dalam memenuhi kebutuhan gharizah at tadayun
(naluri beragama), gharizah an nau’ (naluri seksual), dan gharizah al
baqo (naluri mempertahankan diri/keamanan). Nilai guna non fisik ini yang
tidak ada dalam ekonomi konvensional karena bagi mereka kebutuhan itu hanya
materi (jasmani) saja, mereka tidak menyadari bahwa kebutuhan naluri juga
memerlukan pemenuhan. Nilai guna yang bersifat fisik akan mengalami penurunan
nilai secara marginal disaat di lakukan (dikonsumsi) berulang-ulang. Sedangkan
nilai guna yang bersifat non fisik akan mengalami penambahan nilai marginal
semakin tinggi jika dilakukan secara berulang-ulang. Perbedaan keduanya dapat
dilihat dibawah ini:
Tabel
2.1 Nilai Guna Total Dan Nilai Guna Marginal (Fisik)
Jumlah Apel
Yang Dimakan
|
Nilai Guna
Total
|
Nilai Guna
Marginal
|
0
|
0
|
0
|
1
|
30
|
30
|
2
|
90
|
20
|
3
|
120
|
15
|
4
|
90
|
5
|
5
|
80
|
1
|
6
|
70
|
-2
|
7
|
60
|
-5
|
8
|
50
|
-10
|
9
|
40
|
-15
|
10
|
30
|
-30
|
Tabel
2.2 Nilai Guna Total dan Nilai Guna Marginal (Non Fisik)
Sholat (Naluri Beragama)
|
Nilai Guna Total
|
Nilai Guna Marginal
|
Zhuhur
|
30
|
30
|
Ashar
|
60
|
60
|
Magrib
|
90
|
90
|
Isya
|
120
|
120
|
Subuh
|
180
|
180
|
Rawatib
|
200
|
200
|
Dhuha
|
220
|
220
|
Tahajjud
|
250
|
250
|
Witir
|
280
|
280
|
Istikhoroh
|
300
|
300
|
Fathi
|
350
|
350
|
Jenazah
|
370
|
370
|
Kurva Nilai Guna Total dan Nilai
Guna Marginal (Non Fisik)
Mungkin
bagi sebagian orang, mereka tidak ingin memasukan pemenuhan kebutuhan naluri
ini dalam pembahasan ilmu ekonomi karena mereka menganggap bukan bagian dari
kerangka ilmu ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh barat selama ini.
Mereka lupa bahwa keberhasilan perekonomian suatu negara tidak berdiri sendiri, keberhasilan
perekonomian suatu negara yang terkadang diukur dengan tingkat kesejahteraan
masyarakatnya sangat berkaitan erat dengan dimensi yang lain seperti sistem
politik negara, tingkat keamanan (gharizah al baqo), dan tingkah laku
masyarakatnya yang sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya pemenuhan gharizah at
taddayun (naluri beragama). Jika penduduk masyarakat islam taat dalam beragama
maka tingkah laku masyarakatnya akan cenderung baik.
Barat
sendiri telah menyadari bahwa keberhasilan ekonomi suatu negara harus sangat
berkaitan erat dengan dimensi yang lain, maka tidak mengherankan mereka
memasukan pembahasan eksternalitas dalam ilmu ekonomi. Padahal eksternalitas
bukanlah bagian dari ilmu ekonomi.
3.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dengan
melihat pembahasan diatas, maka dapat dipahami terdapat beberapa persamaan
antara teori-teori permintaan dan perilaku konsumen ekonomi konvensional barat
dengan teori permintaan dan perilaku konsumen ekonomi islam. Hanya saja, ada
perbedaan yang paling mendasar diantara keduanya yaitu bahwa ekonomi islam
membedakan permintaan barang halal dan barang halal. Permintaan di dalam
masyarakat ekonomi islam adalah permintaan proporsional.
Sedangkan
berkaitan dengan tingkah laku konsumen di dalam ekonomi islam, maka jika
ekonomi islam diterapkan dalam masyarakat islam, tingkah laku yang akan
berkembang di dalam ekonomi islam adalah tingkah laku yang sangat tunduk pada
ketentuan Alloh swt.
3.2
Saran
UIN
Maliki Malang harus mampu melahirkan ekonom-ekonom muslim yang kompeten dan
berjiwa pejuang yang bukan hanya mampu menjelaskan realitas dan hakikat ekonomi
islam tetapi juga seorang yang memiliki kegigihan dalam upaya penerapan sistem
ekonomi islam secara fundamental.
[1] Untuk
lebih lengkapnya dapat di baca dalam A. Riawan Amin, Satanic Finance, Celestial
Publishing, 2007.
[2]
H.J. Suyuthi Pulungan, Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muflih, Perilaku
Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam. Ed. 1.
[3] Eko
suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal
62
[4] Sayed
Nawab Haidar Naqfi. Etika dan Ilmu Ekoonomi Suatu Sintesis Islami. Bandung:
Mizan. 1985. Hal 78-79
[5] Yusuf
Qardhawi dalam Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yokyakarta:
BPFE UGM. 2004. Hal 168-269
[6] Kamus
Munawir, 1997. H. 905-906
[7] Murtadha
Mutahari. Al-‘Adl al-Ilahi dalam
Muhammad Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yokyakarta: BPFE UGM.
2004. Hal 170
[8] Eko
suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal
108
[9]
Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Press. 2015. Hal
78
[10] Eko
suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal
109
analisis yang ideologis
BalasHapus