Langsung ke konten utama

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN DALAM MASYARAKAT ISLAM



AGUSMAL
1.        Pendahuluan
Ibarat api jauh panggang, cita-cita untuk membangun kesejahteraan di dalam naungan sistem ekonomi kapitalisme malah menjadi malapetaka di seluruh dunia yang mengadopsinya, termasuk di negara jantung kapitalisme barat sendiri yakni Amerika Serikat yang hampir setiap lima tahun berlangganan dengan krisis moneter. Sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan fiat money (uang kertas), franctional reserve requirement (cadangan emas yang rata-rata 10 %), dan interest (bunga), sebagai pondasi dalam membangun perekonomian setiap negara ternyata memicu inflasi dan ketidakseimbangan pasar uang dan pasar barang yang selalu berakhir dengan terjadinya krisis yang memporak-porandakan seluruh subsektor perekonomian negara tersebut.[1]

Otoritas moneter berusaha mati-matian menghadap laju inflasi dengan kebijakan inflation targeting. Tapi secanggih apapun pendekatannya, tidak pernah memutus akar inflasi dan tidak pernah dapat menyeimbangkan sektor moneter dan sektor rill, karena adanya interest, sekuritisasi hutang, dan permainan dipasar derifatif, telah menyebabkan laju pertumbuhan sektor moneter yakni nilai jumlah uang beredar (JUB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor rill (nilai barang dan jasa). Teori ekonomi menyatakan, tatkala jumlah uang beredar lebih tinggi daripada jumlah barang dan jasa maka inflasi akan terjadi.
Selain problem dalam skala makro tersebut, ekonomi kapitalisme juga telah menyebabkan problem dalam skala mikro yakni para konsumen dan produsen melakukan kegiatan ekonomi yang terkadang melanggar nilai-nilai agama. Para produsen memproduksi apapun yang nilai guna, dimana nilai guna dalam pandangan ekonomi ini adalah semua barang dan jasa yang memiliki permintaan. Sementara para konsumen juga melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memandang lagi prinsip-prinsip illahiyah.
Hegemoni konsumerisme yang dibangkitkan dalam premis perilaku konsumen ekonomi barat ternyata telah memburamkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat sulit sekali menggerakan rasanya untuk cinta kasih dan peduli terhadap nasib orang lain, karena setiap orang lebih suka berlomba-lomba dalam kekayaan dan mencari kesenangan sendiri. Patut diakui bahwa hal ini telah menghinggap pada sebagian umat islam sehingga di khawatirkan akan menghambat saluran distribusi sebagian harta dari yang kaya terhadap yang miskin.[2]
Menghadapi semua ini,  beberapa tokoh-tokoh intelektual dari kalangan umat islam yang melakukan perlawanan terhadap doktrin sistem ekonomi kapitalisme dengan mencoba membangkitkan kembali doktrin ekonomi islam. Jika kita perhatikan, ditinjau dari minstrem pemikirannya maka upaya membangkitkan kembali ekonomi islam terbagi dalam tiga madzhab yaitu madzhab fundamentalis, madzhab parsialistik, dan madzhab modernisme. Sedangkan jika ditinjau dari sisi arah kajian maka pengembanan ekonomi islam dapat dklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu kajian yang bersifat makro dan kajian yang bersifat mikro. Pada kesempatan ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan konsep perilaku konsumen dalam ekonomi islam. Hanya, tatkala membahas masalah ini, bukan berarti bahwa kami bermadzhab parsialistik. Ini hanya sekedar bagian dari sumbangsih kami dalam mengembangkan ekonomi mikro islam.
2.        PEMBAHASAN
2.1  Teori Permintaan
Sebelum masuk dalam kajian perilaku konsumen secara spesifik maka terlebih dahulu akan kita bahas mengenai teori permintaan. Mengapa demikian? Karena teori perilaku konsumen memiliki hubungan yang erat dan tidak bisa dipisahkan dari teori permintaan.
Manusia yang hidup dalam sistem ekonomi manapun akan melakukan pilihan terhadap semua barang/jasa yang diinginkannya berdasarkan jumlah pendapatan proporsional yang dimilikinya. Dengan adanya keterbatasan terhadap jumlah pendapatan proporsional yang dimilikinya maka setiap rumah tangga konsumen masyarakat islam akan selalu berusaha mengkombinasikan pilihannya dalam mengkonsumsi barang/jasa berdasarkan tingkat prioritas kebutuhan dan keinginan akan barang dan jasa. Tentu saja setiap konsumen akan melakukan pilihan yang terbaik terhadap barang/jasa yang di izinkan oleh syara’, memberikan manfaat, dan memberikan kepuasan paling tinggi. Seorang konsumen yang di dalam hatinya dipenuhi dengan keimanan, yang nafsunya berada dibawah kendali akal dan keimanannya akan memiliki kepuasaan yang tertinggi tatkala mampu memenuhi kebutuhannya secara proporsional, ini yang disebut dengan permintaan proporsional. Sedangkan bagi seorang konsumen yang dipenuhi dengan nafsu lawwamah (akal dan keimanannya berada dibawah kendali nafsunya) maka akan  memiliki kepuasan tertinggi tatkala semakin barang / jasa yang dikonsumsinya karena merasa semakin banyak barang yang di konsumsi maka semakin terpenuhi kebutuhannya. Ini yang disebut dengan permintaan lawwamah. Perbadingan kurva permintaan proporsional dan kurva permintaan lawwamah:

  



Perhatikan kurva diatas, sangat jelas sekali perbedaan antara permintaan proporsional dan permintaan lawwamah. Seorang konsumen yang memiliki gaya permintaan proporsional akan cenderung lebih hemat. Seberapa besarpun harga barang diturunkan maka permintaan barang dia cenderung konstan, adapapun jika bertambah maka hanya sedikit saja. Sedangkan seorang konsumen yang memiliki gaya permintaan lawwamah maka penurunan harga barang sedikit saja maka akan cenderung menambah jumlah barang yang diminta. Mengapa dalam permintaan proporsional, disaat harga barang di naikkan akan berefek pada penurunan permintaan? Jawabannya sangat jelas sekali, hal itu terjadi karena kenaikkan harga barang akan mengurangi daya beli konsumen.
2.2  Hukum Permintaan (Permintaan Proporsional & Permintaan Lawwamah)
Pebagai hasil dari kombinasi kajian secara tekstual dan faktual yang kami lakukan maka kami merumuskan hukum permintaan dalam khasanah ilmu ekonomi menjadi dua yaitu hukum permintaan proporsional (ini adalah hukum permintaan ekonomi islam) dan hukum permintaan lawwamah (ini adalah hukum permintaan ekonomi kapitalalisme/konvensional). Hukum permintaan proporsional yaitu:
“Jika harga suatu barang/jasa naik, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung menurun. Sedangkan jika harga barang/jasa turun, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung konstan, adapun jika permintaannya bertambah maka akan bertambah dengan jumlah yang sangat sedikit. Dengan syarat cateris paribus.
Sedangkan hukum permintaan lawwamah adalah sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh para ekonom barat yaitu:
“Jika harga suatu barang/jasa naik maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung menurun. Sebaliknya jika harga suatu barang/jasa turun, maka permintaan akan barang/jasa tersebut akan cenderung meningkat. Dengan syarat cateris paribus.
Dalam ekonomi islam, barang-barang yang di haramkan oleh syara’ untuk di konsumsi oleh umat islam seperti daging babi maka tidak akan memiliki permintaan pada umat islam karena diproteksi oleh pemerintah. Namun, daging babi akan memiliki permintaan pada masyarakat islam yang tidak beragama islam (non muslim yang hidup dalam negara islam) sebab di izinkan oleh syara’ dan makanan yang dihalalkan dalam agama mereka maka tidak boleh diproteksi oleh pemerintah islam.
2.3  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan
Manusia sebagai makhluk  yang memiliki naluri dan kebutuhan jasmani akan bersifat dinamis dan rasional di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, aktivitas permintaan yang dilakukan oleh manusia adalah bagian dari pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di dalam hidupnya, hanya saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas permintaan rumah tangga konsumen di dalam ekonomi islam. Yaitu:
a.       Harga Barang Itu Sendiri
Naik turunnya harga suatu barang / jasa akan mempengaruhi tingkat permintaan barang dan jasa tersebut. Hanya saja di dalam masyarakat islam yang menerapkan ekonomi islam, kenaikan permintaan sebagai akibat dari turunnya harga tidak sesignifikan kenaikan permintaan dalam ekonomi konvensional. Semakin tinggi tingkat ketawadhuan seseorang di dalam hidupnya maka akan semakin mendekati kurva permintaan proporsional, begitupun sebaliknya, semakin semakin kaburnya nilai-nilai ketawadhuan seseorang maka akan semakin mendekati permintaan lawwamah.
b.      Legalitas Syara’ (Allah swt)
Adanya legalitas syara’ di dalam faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen menjadi hal yang paling mendasar yang menjadi pembeda antara perilaku konsumen di dalam ekonomi konvensional dengan ekonomi islam. Ekonomi islam menjadikan legalitas syara’ sebagai faktor yang paling mempengaruhi permintaan karena masyarakat islam menjadikan menjadikan hukum syara’ sebagai landasan bagi perbuatan mereka. Masyarakat islam yang beragama islam tidak akan pernah melakukan permintaan terhadap barang/jasa yang tidak di izinkan oleh syara’ seperti daging babi dan jasa pelacuran. Oleh karena itu, barang/jasa yang tidak di izinkan oleh syara’ untuk di konsumsi maka tidak akan memiliki permintaan di dalam masyarakat islam yang beragama islam meskipun dengan harga yang sangat rendah (murah).
c.    Pendapatan Masyarakat
Semakin tinggi pendapatan masyarakat suatu daerah atau wilayah maka permintaan barang/jasa masyarakat daerah (wilayah) tersebut akan semakin tinggi pula. Begitupun sebaliknya, apabila pendapatan masyarakat suatu daerah rendah maka permintaan barang/jasa masyarakat daerah tersebut akan rendah pula.
d.    Intesintas Kebutuhan
Intensintas kebutuhan merupakan masalah tingkat prioritas kebutuhan yang akan dipilih oleh setiap konsumen dalam mengkonsumsi barang/jasa. Tingkat permintaan terhadap barang-barang primer akan lebih tinggi dari pada barang barang-barang sekunder, permintaan terhadap barang sekunder akan lebih tinggi daripada permintaan barang tersier.
e.    Jumlah penduduk
Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah (wilayah), maka semakin tinggi pula tingkat permintaan di wilayah tersebut.
f.        Distribusi pendapatan
Pembahasan distribusi pendapatan sangat berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan dan kesenjengan ekonomi masyarakat. Apabila kesenjangan ekonomi masyarakat tinggi, maka hanya sebagian besar masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhannya secara normal. Oleh karena itu, semakin merata distribusi pendapatan di masyarakat yang ditandai dengan rendahnya tingkat rasio gini, maka akan semakin tinggi pula tingkat permintaan masyarakat tersebut. Begitu pula sebaliknya.
g.       Selera (preferensi)
Perkembangan mode, pendidikan, lingkungan akan mempengaruhi selera masyarakat yang akan mempunyai pengaruh terhadap jumlah permintaan.[3] Semisal barang-barang khas suatu daerah tertentu.
h.       Harga barang substitusi
apabila harga suatu barang naik maka konsumen yang rasional akan cenderung untuk beralih untuk mengkonsumsi barang penggantinya. Misalnya antara buah apel dan buah pear. Apabila harga apel naik, sementara harga buah pear konstan maka konsumen buah apel akan cenderung untuk beralih kepada buah pear.
2.4  Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Dalam Islam
Islam merupakan agama yang mengajak manusia untuk memiliki pribadi yang agung, yang memiliki perilaku yang baik di dalam hubungannya dengan Allah, manusia, dan dengan dirinya sendiri. Konsumsi yang berlebih-lebihan merupakan ciri masyarakat yang tidak mengenal Tuhan dan sangat terlarang di dalam islam. Konsumsi yang berlebih- lebihan di dalam ekonomi islam disebut sebagai isrof (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta untuk mengkonsumsi sesuatu yang di larang di dalam islam meskipun dengan harga yang murah).
Pengembangan perilaku konsumen secara garis besar dibagi menjadi empat aksioma pokok sebagaimana yang dijelaskan oleh Naqfi, dimana beliau mengelompokkan perilaku konsumen kedalam empat aksioma pokok yaitu: tauhid, keadilan, kebebasan berkehendak dan pertanggungjawaban.[4]  Dimana hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Tauhid
Menurut Qardhawi, maksud tauhid dibagi menjadi dua kriteria, yaitu: rabbaniyah ghayyah (tujuan), dan wijhah (sudut pandang). Maksud dari kriteria pertama adalah tujuan akhir dan sasaran Islam kedepan yaitu menjaga hubungan Allah secara baik dan mencapai ridhonya. Kriteria kedua adalah Rabbaniyah Masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kriteria ini mempunyai kaitan dengan kriteria pertama, artinya kriteria ini merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan tujuan puncak kriteria pertama yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah.[5]
b.      Al-Adallah (keadilan)
Kata العدل berarti sama (rata), sepadan ukuran (takaran), keseimbangan.[6] Adil merupakan lawan dari kezholiman dan kecurangan. Sehubungan dengan masalah adil Murtadha Mutahari mendefinisikan keadilan menjadi empat pengertian, yaitu keadaan sesuatu yang seimbang, persamaan dan pengingkaran dari segala bentuk diskriminasi, peleiharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada orang yang berhak menerimanya, dan memelihara hak bagi kelanjutan eksistensi keadilan Tuhan.[7] Yang dimaksud dengan keadilan sebagai standar dalam perilaku konsumen yaitu seorang konsumen harus senantiasa menyadari bahwa seluruh barang/jasa yang dikonsumsi merupakan pemberian Allah swt yang diberikan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia secara proporsional. Oleh karena itu, seorang konsumen tidak boleh bertindak curang atau zholim untuk mendapatkan sesuatu karena akan merugikan orang lain bahkan membuat orang lain kesulitan untuk mendapatkan barang tersebut.
c.       Free Will (Kehendak Bebas)
Mungkin yang dimaksud oleh Naqfi dengan kebebsasan berkehendak adalah idrak silabillah (kesadaran hubungan dengan Allah SWT dalam setiap perbuatannya). Artinya manusia memang diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk melakukan suatu perbuatan diwilayah yang dikuasainya, namun manusia harus menyadari bahwa setiap perbuatannya senantiasa mendapat penilaian dari Allah SWT yang akan menerima balasan-Nya.
d.      Amanah (Pertanggungjawaban)
Dalam masyaraqkat Islam harus senantiasa dibangun kesadaran pada seluruh masyarakatnya bahwa perbuatan mereka kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
e.       Legalitas Syara’
Artinya, seorang konsumen didalam masyarakat Islam yang menerapkan ekonomi Islam harus senantiasa memperhatikan ketentuan syara’ terhadap barang dan jasa yang akan dikonsumsinya.
f.        Sederhana
Kesederhanaan merupakan etika konsumsi dalam Islam. Sederhana artinya cara hidup diantara dua titik ekstrim (jalan tengah) yakni antara paham matrealistis dan zuhud dalam pandangan sufi yang terkadang berlebihan dalam berlepas diri dari urusan dunia. Zuhud dalam ekonomi Islam sangat diperlukan. Yang dimaksud dengan zuhud  di sini adalah meletakkan dunia ditangan, bukan dihati. Seorang yang meletakkan dunia di tangannya bukan di hatinya (zuhud), maka dia akan sangat mudah untuk berbuat baik kepada saudaranya, tetangganya, dan bahkan kepada siapapun yang tidak dikenalnya, dia akan mensyukri apapun pemberian Allah dan mudah untuk berbagi kepada siapapun.
g.       Kebersihan
Ekonomi Islam menghendaki agar masyarakat Islam mengkonsumsi makanan yang baik dan cocok untuk dimakan (tidak kotor atau menjijikkan) sehingga tidak merusak selera.
h.       Kemurahan Hati
Islam menghendaki agar masyarakat Islam memahami dengan benar bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan kepada non muslim mereka juga harus berbuat baik. Oleh karena itu, dalam masyarakat Islam harus terbentuk rasa saling berbagi.
2.5  Teori Utility Dalam Ekonomi Islam
Teori utility merupakan rasionalisasi dari fungsi permintaan. Perilaku konsumen di dalam menentukan pilihannya terhadap barang yang akan di konsumsi memiliki perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Perbedaan yang paling mendasar terdapat pada status barang yang akan di konsumsi. Perilaku konsumen di dalam islam dibangun rasionalitas yang terikat dengan hukum syara’, yaitu:[8]
a.       Halal-Haram
Dalam ekonomi islam, seorang konsumen akan lebih memilih barang yang tingkat kehalalan dan keberkahannya lebih tinggi daripada barang yang lain, walapun barang yang lainnya secara fisik terlihat lebih menarik. Hal ini menjadi menjadi aksioma utama dalam ekonomi islam.
b.      Completness  (kelengkapan)
Apabila individu dihadapkan dengan tiga pilihan barang dimana salah satu barang tersebut lebih disukai dari pada lainnya atau keduanya sama-sama disukai, maka dapat diasumsikan bahwa individu tersebut akan mengambil satu keputusan yang konsekuen dan akibatnya dipahami. Sebagai contoh:
·        A lebih disukai daripada B
·        B lebih disukai daripada A
·        A dan B sama-sama disukai
c.       Transitivity
Artinya, jika seseorang berpendapat bahwa barang A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C, maka ia akan mengatakan bahwa barang A lebih baik dari barang C. Asumsi tersebut mengatakan bahwa pilihan individu tersebut bersifat konsisten secara internal.
d.      Continuity
Artinya, seseorang menganggap barang A lebih disukai daripada B, maka situasi yang cocok mendekati A harus juga lebih disukai daripada B.
e.       Independensi
Sifat independensi ini bermakna seeseorang selalu rasional dalam menghadapi berbagai macam keadaan. Adiwarman Karim mengistilahkannya sebagai ‘walau galau tetap setia’. Sifat independensi dimasukkan dalam teori ini karena adanya unsur ketidakpastian yaitu kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang menjadikan kita seakan-akan tidak konsisten dalam pilihan yang disebabkan oleh perbedaan cuaca dan lingkungan. Hal ini misalnya seseorang akan lebih menyukai segelas air kelapa dingin daripada secangkir jahe hangat dikala musim panas dan sebaliknya, seseorang akan lebih menyukai secangkir jahe daripada segelas kelapa dingin dikala musim dingin.[9]
Dari aksioma-aksioma dan asumsi tersebut dapat dianalisis bagaimana individu dapat membuat tingkatan dari berbagai situasi pilihan. Secara singkat, hal tersebut dikatakan oleh Jeremy Bentham dalam “Introduction to the principle of morals and legislation” sebagai utility (nilai guna).[10]
Dalam teori ekonomi mikro, kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut sebagai nilai guna. Jika kepuasan semakin tinggi, maka semakin tinggi pula nilai gunanya. Perlu dipahami, bahwa nilai guna didalam Islam bukan hanya bersifat fisik, namun juga bersifat non fisik. Nilai guna yang bersifat fisik adalah nilai guna yang didapatkan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Nilai guna yang bersifat fisik di bagi menjadi dua yaitu nilai guna total (NGT) dan nilai guna marginal (NGM). Sedangkan nilai guna yang bersifat non fisik ialah nilai guna yang didapatkan dalam memenuhi kebutuhan gharizah at tadayun (naluri beragama), gharizah an nau’ (naluri seksual), dan gharizah al baqo (naluri mempertahankan diri/keamanan). Nilai guna non fisik ini yang tidak ada dalam ekonomi konvensional karena bagi mereka kebutuhan itu hanya materi (jasmani) saja, mereka tidak menyadari bahwa kebutuhan naluri juga memerlukan pemenuhan. Nilai guna yang bersifat fisik akan mengalami penurunan nilai secara marginal disaat di lakukan (dikonsumsi) berulang-ulang. Sedangkan nilai guna yang bersifat non fisik akan mengalami penambahan nilai marginal semakin tinggi jika dilakukan secara berulang-ulang. Perbedaan keduanya dapat dilihat dibawah ini:
Tabel 2.1 Nilai Guna Total Dan Nilai Guna Marginal (Fisik)
Jumlah Apel Yang Dimakan
Nilai Guna Total
Nilai Guna Marginal
0
0
0
1
30
30
2
90
20
3
120
15
4
90
5
5
80
1
6
70
-2
7
60
-5
8
50
-10
9
40
-15
10
30
-30



  

Tabel 2.2 Nilai Guna Total dan Nilai Guna Marginal (Non Fisik)
Sholat (Naluri Beragama)
Nilai Guna Total
Nilai Guna Marginal
Zhuhur
30
30
Ashar
60
60
Magrib
90
90
Isya
120
120
Subuh
180
180
Rawatib
200
200
Dhuha
220
220
Tahajjud
250
250
Witir
280
280
Istikhoroh
300
300
Fathi
350
350
Jenazah
370
370

Kurva Nilai Guna Total dan Nilai Guna Marginal (Non Fisik)

Mungkin bagi sebagian orang, mereka tidak ingin memasukan pemenuhan kebutuhan naluri ini dalam pembahasan ilmu ekonomi karena mereka menganggap bukan bagian dari kerangka ilmu ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh barat selama ini. Mereka lupa bahwa keberhasilan perekonomian suatu negara  tidak berdiri sendiri, keberhasilan perekonomian suatu negara yang terkadang diukur dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya sangat berkaitan erat dengan dimensi yang lain seperti sistem politik negara, tingkat keamanan (gharizah al baqo), dan tingkah laku masyarakatnya yang sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya pemenuhan gharizah at taddayun (naluri beragama). Jika penduduk masyarakat islam taat dalam beragama maka tingkah laku masyarakatnya akan cenderung baik.
Barat sendiri telah menyadari bahwa keberhasilan ekonomi suatu negara harus sangat berkaitan erat dengan dimensi yang lain, maka tidak mengherankan mereka memasukan pembahasan eksternalitas dalam ilmu ekonomi. Padahal eksternalitas bukanlah bagian dari ilmu ekonomi.
3.        PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dengan melihat pembahasan diatas, maka dapat dipahami terdapat beberapa persamaan antara teori-teori permintaan dan perilaku konsumen ekonomi konvensional barat dengan teori permintaan dan perilaku konsumen ekonomi islam. Hanya saja, ada perbedaan yang paling mendasar diantara keduanya yaitu bahwa ekonomi islam membedakan permintaan barang halal dan barang halal. Permintaan di dalam masyarakat ekonomi islam adalah permintaan proporsional.
Sedangkan berkaitan dengan tingkah laku konsumen di dalam ekonomi islam, maka jika ekonomi islam diterapkan dalam masyarakat islam, tingkah laku yang akan berkembang di dalam ekonomi islam adalah tingkah laku yang sangat tunduk pada ketentuan Alloh swt.
3.2  Saran
UIN Maliki Malang harus mampu melahirkan ekonom-ekonom muslim yang kompeten dan berjiwa pejuang yang bukan hanya mampu menjelaskan realitas dan hakikat ekonomi islam tetapi juga seorang yang memiliki kegigihan dalam upaya penerapan sistem ekonomi islam secara fundamental.


[1] Untuk lebih lengkapnya dapat di baca dalam A. Riawan Amin, Satanic Finance, Celestial Publishing, 2007.
[2] H.J. Suyuthi Pulungan, Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam. Ed. 1.
[3] Eko suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal 62
[4] Sayed Nawab Haidar Naqfi. Etika dan Ilmu Ekoonomi Suatu Sintesis Islami. Bandung: Mizan. 1985. Hal 78-79
[5] Yusuf Qardhawi dalam Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yokyakarta: BPFE UGM. 2004. Hal 168-269
[6] Kamus Munawir, 1997. H. 905-906
[7] Murtadha Mutahari.  Al-‘Adl al-Ilahi dalam Muhammad Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yokyakarta: BPFE UGM. 2004. Hal 170
[8] Eko suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal 108
[9] Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Press. 2015. Hal 78
[10] Eko suprayitno. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. UIN Malang Press. 2008. Hal 109

Komentar

Posting Komentar

Artikel Terbaik

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT

CONTOH BACAAN PEMBUKA, PENUTUP & DOA KHUTBAH JUM"AT Oleh: Abdurrahman al-Munawy (Agusmal) Khutbah Pertama Membaca basmalah : BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM (dibaca dalam hati) Mengucapkan salam : ASSALAAMU ‘ALAIKUM WA RAHMATULLAAHI WA BARAKAATUHU (lalu khotib duduk dan muadzin mengumandangkan azan. Setelah selesai adzan, khatib berdiri lagi dan langsung membaca hamdalah kalimat pujian (hamdalah), yaitu: INNAL HAMDA LILLAAH, NAHMADUHUU WA NASTA’IINUHUU WA NASTAGHFIRUHU WA NA’UUDZUBILLAAHI MIN SYURUURI ‘ANFUSINAA WA MIN SYAYYI-AATI A’MAALINAA MAN YAHDILLAAHU FALAA MUDHILLALAHU WA MAN YUDHLIL FALAA HAADIYALAHU Membaca syahadat : ASYHADU ANLAA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAAHU WA ASYHADU ANNAA MUHAMMADAN ‘ABDUHUU WA RASUULUHUU LAA NABIYYA BA’DAHU Membaca shalawat : ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SYAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALIHII WA SHAHBIHII ‘AJMA’IIN Membaca ayat alqur’an yang mengajak bertaqwa kepada allah, contoh: YA AYYUHAL

PERBEDAAN FILSAFAT, PENGETAHUAN DAN ILMU

1.         PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Di dalam menjalani kehidupan manusia akan terus mencari tahu tentang hakikat hidupnya dan seluruh materi yang ada disekelilingnya. Dia akan terus berfikir mencari kebenaran (hakikat) hidupnya dan materi lain yang ada disekelilingnya. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk berfikir dan mencari tahu sebelum menemukan jawaban   dan memahami tentang diri dan lingkungannya. Setiap pemikiran manusia yang diberi kesimpulan akan melahirkan sebuah konsep atau ide. Setiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut sebagai aktivitas berpikir. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep. Menurut madzhab komunisme, pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak [1] . Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, pemikiran adalah

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam : Muttafaq 'alayh dan Mukhtalaf fiih

Sumber Hukum (Dalil) Dalam Islam: Muttafaq 'Alay h dan Mukhtalaf Fiih Oleh : Agusmal Jika dalam penelitian yang menggunakan paradigma positivisme, sumber hukum (teori) diambil dari dalil aqli dengan cara melakukan penelitian dan percobaan yang sistematis maka dalam islam dalil yang digunakan tidak hanya dalil aqli saja tetapi juga dengan menggunakan dalil naqli yakni menggali teori dalil kalamullah . Dalil aqli dalam islam kadangkala digunakan untuk memahami makna dari dalil naqli. sebagai contohnya adalah penulisan ilmu tafsir yang sangat kental dengan kaidah-kaidah sastra dimana kaidah tersebut dapat dipahami dengan menggunakan dalil aqli. Dalil secara bahasa adalah yang menujukan terhadap sesuatu dan terkadang dimutlakan (dimaknai) dengan perkara yang di dalamnya terdapat dalalah (penunjukan)   dan irsyad (petunjuk). Inilah yang disebut sebagai dalil dalam pandangan para fuqoha (ulama ahli fiqih), dimana hal itu menunjukan bahwa dalil itu perkara yang dapat mengh