PERKEMBANGAN
STUDI ISLAM DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA
(Tugas Mata
Kuliah: Pendekatan Studi Islam)
AGUSMAL
15800001
MAGISTER
EKONOMI SYARIAH
PASCASARJANA UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG
2015
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam merupakan agama yang paripurna yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia mulai dari perkara individu sampai pada tatanan masyarakat. Dalam
pandangan islam tidak ada satupun perbuatan manusia yang tidak mempunyai
landasan syar’i (hukum syara’), hal inilah yang menjadikan islam selain sebagai
agama juga sebagai ideologi yang ada didunia ini. Sebagai sebuah agama dan
ideologi, islam memiliki seperangkat keyakinan dan hukum yang bersifat
aplikatif (bukan teoritis belaka). islam memandang bahwa satu-satunya jalan
bagi manusia untuk mendapatkan ketentraman dan kedamaian hidup di dunia dan
akhirat adalah dengan menjadikan hukum-hukum Allah (aturan islam) sebagai
keyakinan dan konstitusi di dalam hidup mereka.
Meskipun Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat islam untuk
berhukum dengan hukum-Nya namun Allah SWT memerintahkan kepada seluruh umat
islam agar tidak memaksa nonmuslim (orang-orang yang tidak beragama islam)
untuk memeluk islam sebagai agamanya,
tidak boleh memaksa mereka untuk melakukan ibadah kaum muslimin (sholat, zakat,
haji, puasa, dll), mereka hanya diwajibkan untuk taat kepada kepada hukum-hukum
islam yang bersifat publik (seperti larangan berjudi, riba, minum-minuman
keras, membuat kegaduhan ditengah-tengah masyarakat, dll) dan aturan-aturan
administratif serta harus berlaku adil terhadap mereka (nonmuslim) tanpa membeda-bedakannya
antara satu dengan lainnya. Inilah keindahan islam sebagai rahmatan lil
‘alamin (rahmat untuk seluruh alam semesta) yang tidak ada dalam agama dan
ideologi lainnya. Oleh karena itu, apa yang dipropagandakan oleh orang-orang
liberal bahwa penerapan syariat islam akan mendiskreditkan orang-orang yang tidak
beragama islam adalah sebuah kekeliruan.
Keindahan islam hanya menjadi dongeng belaka jika aturan islam
tidak diterapkan di dalam tatanan kehidupan masyarakat. Olehnya itu, siapapun
yang ingin melihat kesempurnaan dan keindahan islam tidak ada jalan lain
baginya kecuali dengan menerapkan aturan islam dalam tananan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Namun, umat islam harus menyadari bahwa penerapan hukum-hukum
islam memerlukan ilmu, sebab jika islam diterapkan tanpa ilmu (pengetahuan yang
mendalam tentang hukum-hukum islam) maka bisa terjadi kesalahan dalam
penerapannya yang mengakibatkan kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, studi islam menjadi sangat penting agar umat manusia khususnya
umat islam memahami dengan benar seluk-beluk agama islam baik keyakinan
(aqidah) maupun syariatnya (hukumnya).
Studi islam sesungguhnya merupakan bidang kajian yang ada sejak
islam diturunkan. Nabi Muhammad s.a.w. adalah manusia pertama yang mengajarkan
tentang studi islam yang kemudian diikuti oleh para generasi islam selanjutnya
sampai hari ini. Studi islam dalam pengertian ini adalah kajian-kajian ilmu agama
dan ideologi islam yang tersusun secara sistematis dan ilmiah dengan
menggunakan pendekatan dalil naqli dan dalil aqli yang didukung dengan
kemampuan berbahasa arab sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dan para
ulama salaf ahlus sunnah wal jamaah.
Studi islam adalah wacana yang menarik dalam dirkusus ilmu-ilmu
keislaman karena berkaitan langusung dengan nilai-nilai ilahiyah yang
merupakan fundamental value bagi umat muslim, juga berhubungan dengan
realitas hidup berbangsa, bernegara, dan beragama yang didalamnya rentan dengan
nilai-nilai kemasyarakatan yang kadang dipahami berjarak bahkan dipisahkan sama
sekali. Dalam dasawarsa terakhir, perkembangan metode kajian islam mengalami
kemajuan yang signifikan, disamping karena adanya warisan klasik kesarjanaan
muslim yang hingga kini masih eksis, juga diakibatkan oleh tradisi keilmuan
barat yang telah lebih dahulu maju dalam berbagai disiplin ilmu baik langsung
maupun tidak langsung[1].
Studi islam (islamic studies) di Barat yang dahulu
dipelopori para orientalis dan yang sekarang telah mulai banyak bermunculan
para ahli ilmu-ilmu keislaman dari bangsa-bangsa timur (Iran, Pakistan, Turki,
Arab, dan sebagainya), hanya dapat dibangun diatas lahan subur khazanah
intelektual islam[2].
Pendekatan studi islam yang dilakukan oleh para ulama salaf sangat
berbeda dengan pendekatan studi islam yang dikembangkan oleh barat orientalis
belakangan ini. Dalam menafsirkan al-Qur’an, seorang mufasir dituntut menguasai
beberapa cabang untuk dapat menafsirkan misalnya ilmu balagho (bahasa arab)
yang mendalam, menghafal dan menguasai ilmu Al-Qur’an, menguasai ilmu hadist,
memahami kisah-kisah sejarah atau berita-berita masa silam di dalam Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Para ulama salaf
melakukan pendekatan studi tekstual (bukan kontekstual) terhadap dalil-dalil
syara’ karena mereka memandang bahwa
bentuk kehidupan tidak akan pernah berubah sepanjang zaman, yang berubah
hanyalah sarana kehidupan sehingga perubahan zaman harus selalu tunduk kepada al-Qur’an
dan As-Sunnah. Sedangkan para orientalis barat memandang bahwa Al-Qur’an dan
As-Sunnah harus ditafsirkan secara kontekstual dengan menggunakan pendekatan
hermaneutika Sehingga mereka memandang bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah harus
disesuaikan dengan zaman atau dengan kata lain bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
harus mengikuti (tunduk) pada perubahan zaman[3].
Dibelahan negeri kaum muslimin, studi islam diajarkan yang di
perguruan tinggi islam dan pesantren diajarkan dengan menggunakan dua
pendekatan yakni pendekatan para ulama salaf dan pendekatan yang digunakan oleh
para orientalis barat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan
Sejarah Perkembangan Studi Islam Dibelahan Dunia.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
fenomena diatas, makalah masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a.
Bagaimanakah
studi islam yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.?
b.
Bagaimanakah
studi islam di barat?
c.
Bagaimanakah
studi islam di belahan dunia islam
d.
Bagaimana
studi islam di indonesia?
1.3
Tujuan Pembahasan
a.
Untuk
mengetahui studi islam di masa Rasulullah s.a.w.
b.
Untuk
mengetahui perkembangan studi islam di barat.
c.
Untuk
mengetahui perkembangan studi islam di belahan dunia islam.
d.
Untuk
mengetahui perkembangan studi islam di Indonesia.
2.
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Pengetian Sejarah
Secara etimologi kata sejarah itu sendiri berasal dari bahasa
Arab syajarah yaitu dari kata syajaratun yang artinya pohon. Di
Indonesia sejarah dapat berarti silsilah, asal-usul, riwayat, dan jika dibuat
skema menyerupai pohon lengkap dengan cabang, ranting, dan daun. Di dalam kata
sejarah tersimpan makna pertumbuhan atau silsilah. Pada masa sekarang ini, untuk
kepentingan tertentu kita memerlukan keterangan riwayat hidup. Kata riwayat
kurang lebih berarti laporan atau cerita tentang kejadian. Sedangkan kata
hikayat (yang dekat dengan kata sejarah), artinya cerita tentang kehidupan,
yaitu yang menjadikan manusia sebagai objeknya, disebut juga biografi (bios itu
artinya hidup, graven artinya menulis). Jadi, cerita yang berkisar mengenai
kehidupan penulis yang ditulis oleh diri sendiri atau pelakunya sendiri disebut
autobiografi[4].
Ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat
serta kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian-kejadian dengan maksud untuk
kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya tersebut, untuk
selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan
keadaan sekarang serta arah proses masa depan[5].
Lebih lanjut Roeslan Abdul Gani menegaskan bahwa ilmu sejarah
ibarat penglihatan terhadap tiga dimensi yaitu pertama ke masa silam, kedua ke masa
sekarang, dan yang ketiga ke masa depan.
Ibnu Khaldun dalam bukunya yang berjudul Muqqadimah mendefinisikan
sejarah sebagai catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia
dan perubahan-perubahannya yang terjadi pada watak masyarakat itu[6].
Moh. Ali
dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, mempertegas pengertian sejarah
sebagai berikut:
1)
Sejuumlah perubahan-perubahan,
kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
2)
Cerita tentang perubahan-perubahan,
kejadian, atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
3)
Ilmu yang bertugas menyelidiki
perubahan-perubahan, kejadian, dan atau peristiwa dalam
kenyataan di sekitar kita.
Dari beberapa keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa berbicara
tentang sejarah maka kita berbicara tentang waktu dan peristiwa. Oleh karena
itu, para sejarahwan, dalam memahami suatu peristiwa selalu membuat
periodisasi.
2.2
Pengertian Studi Islam
Istilah studi islam (dirasat al-islamiyyah) dalam bahasa
inggris dikenal dengan istilah islamic studies ditinjau dari sisi bahasa
adalah kajian islam. Pengertian studi islam sebagai kajian islam saesungguhnya
memiliki cakupan makna dan pengertian yang luas[7].
Kata studi islam merupakan gabungan dua kata yaitu kata studi dan
kata islam. Kata studi didefinisikan sangat beragam oleh para ahli, misalnya
Laster Crow dan Alice Crow mendefinisikan studi sebagai kegiatan yang secara
sengaja diusahakan dengan maksud untuk memperoleh keterangan, mencapai
pemahaman yang lebih besar, atau meninggalkan suatu keterampilan[8].
Sementara Muhammad Hatta (1957) mengartikan studi sebagai
mempelajari sesuatu untuk mengerti kedudukan masalahnya, mencari pengetahuan
tentang sesuatunya didalam hubungan sebab dan akibatnya, ditinjau dari jurusan
tertentu, dan dengan metode tertentu pula. Bukan mengahafalkan dan menerima
saja apa yang dibentangkan orang lain, melainkan memahaminya dengan pikiran
yang kritis. Keterangannya diuji benarnya diatas dua macam batu ujian: benarkah
logikahnya dan sesuaikah ia dengan kenyataan? Kemudian, kenyataan itu sendiri
menjadi soal. Selanjutnya dipelajari pula perkembangan pendapat tentang sesuatu
masalah dengan mencari keterangan tentang apa yang menjadi sebab dan dimana
letak perbedaan pendapat itu dari masa ke masa dan dari ahli ke ahli[9].
Dua definisi diatas memiliki beberapa kesamaan makna, oleh karena
itu dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa studi adalah suatu kegiatan
atau aktivitas yang diusahakan secara sengaja untuk memperoleh keterangan dan
informasi dengan mempelajari seluruh variabel kajian pembahasan untuk mencari
kebenaran informasi dengan menguji setiap variabel dengan akal (pemikiran).
Sedangkan kata islam ditinjau dari sis bahasa berasal dari kata aslama
yang berarti patuh dan berserah diri. Kata ini berasal dari masdar (akar
kata) silm, yang memiliki makna selamat, sejahtera, dan damai[10].
Sedangkan secara terminologis, islam adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada
nabi Muhammad s.a.w. sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup, sebagai petunjuk bagi seluruh
manusia, untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat[11].
Kiyai Haji Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama yang merupakan
salah satu pendiri Nahdatul Ulama mendefinisikan Islam
sebagai aktivitas syari’at junjungan kita Gusti Nabi Muhammad saw dengan anggota
dzahir (badan).kita, dengan cara mengikuti apa yang dijalankannya dan menaati
apa yang diperintahkannya[12].
Dari beberapa definisi diatas maka dapat dipahami bahwa islam
adalah Din (agama dan ideologi) yang diturunkan dan di ridhai oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad s.a.w. untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia
di dunia baik hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun hubungan manusia
dengan dirinya sendiri.
Gabungan dua kata “Studi” dan “Islam” ini menghasilkan makna baru
yang berbeda ketika makna tersebut masih menjadi makna tunggal. Berdasarkan
penjelasan diatas maka disimpulkan bahwa studi islam adalah adalah suatu
kegiatan atau aktivitas yang diusahakan secara sengaja untuk memperoleh
keterangan dan informasi tentang din (agama dan ideologi) yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia di dunia baik hubungan manusia dengan dengan Tuhan,
sesama manusia, maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena
itu, pembahasan tentang sejarah studi islam adalah suatu aktivitas untuk
mendeksripsikan tentang rekam jejak atau catatan perjalanan dan kegiatan
(aktivitas) yang dilakukan manusia dalam mempelajari (mencari keterangan dan
informasi) tentang din (agama dan ideologi) islam.
2.3
Objek Kajian Studi Islam
M. Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa objek kajian agama islam adalah
substansi ajaran-ajaran islam seperti kalam, fiqih, dan tasawuf. Dalam aspek
ini agama lebih bersifat penelitian budaya. Hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu
keislaman semacam in merupakan salah satu bentuk doktrin yang dirumuskan oleh
penganutnya yang bersumber dari Allah SWT melalui proses penalaran dan
perenungan. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran islam tentang sholat,
zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argumentasi adanya Tuhan,
tentang Jabariyyah dan Qadariyah, tentang arti dan tafsir kitab suci, tentang
riba, tentang aturan etika dan nilai moral dalam islam, berarti ia sedang
mempelajari islam sebagai gejala budaya[13].
Terdapat tiga wilayah keilmuan agama islam yang dapat menjadi objek
studi islam. Pertama, wilayah praktek keyakinan dan pemahaman terhadap wahyu
yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan
masyarakat dan para ahli di bidangnya dan oleh anggota masyarakat pada umumnya.
Wilayah praktek ini umumnya tanpa melalui klasifikasi dan penjernihan teoritik
keilmuan, yang dipentingkan disini adalah pengalaman. Pada level ini perbedaan
antar agama dan tradisi, agama dan budaya, antara belief dan habits of mind sulit dipisahkan.
Kedua, wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun
sistematika dan metodologinya oleh para ilmuwan, para ahli, dan para ulama
sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang disebut ulum al-tafsir, ulum
al-hadist, islamic thought (kalam, falsafah, dan tasawuf), hukum dan
pranata sosial (fiqih), sejarah dan peradaban islam, pemikiran islam, dan
dakwah islam ada pada wilayah ini. Lebih lanjut beliau menerangkan bahwa apa
yang ada diwilayah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah teori-teori
keilmuan agama islam yang diabstraksikan, baik secara deduktif dari nash-nash
atau teks-teks wahyu maupun secara induktif dari praktek-praktek keagamaan yang
hidup dalam masyarakat muslim era kenabian, sahabat, tabi’un, maupun sepanjang
sejarah perkembangan masyarakat muslim dimanapun mereka berada.
Ketiga, adalah telaah kritis yang populer disebut meta discourse
terhadap sejarah perkembangan jatuh bangunnya teori yang disusun oleh
kalangan ilmuwan dan ulama pada lapis kedua. Lebih-lebih jika teori-teori pada
disiplin tertentu misalnya ulumul Qur’an didialogkan dengan teori-teori
yang biasa berlaku pada wilayah lain seperti ulumul hadist, sejarah
peradaban islam dan seterusnya. Teori yang berada pada wilayah kalam
didialogkan dengan teori yang berada pada wilayah tasawuf dan begitu
selanjutnya. Belum lagi jika teori-teori yang berlaku dalam wilayah islamic
studies pada lapis kedua dihadapkan
dan didialogkan dengan teori-teori diluar disiplin keilmuan agama islam,
seperti disiplin ilmu kealaman, ilmu budaya, ilmu sosial, dan ilmu agama.
Wilayah lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated inilah yang
sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu keislaman[14].
3.
PEMBAHASAN
3.1
Sejarah Awal Studi Islam
Studi islam sesungguhnya telah ada sejak pertama kali islam
diturunkan di dunia. hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ngainun Naim
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Studi Islam, dimana beliau menegaskan
bahwa studi islam sebagai sebuah praktek sesungguhnya sudah berlangsung
semenjak awal pertumbuhan islam, yakni pada masa Rasulullah s.a.w. Apa yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. bersama para sahabatnya dari waktu ke waktu
merupakan bentuk studi islam yang sesungguhnya. Mereka mempelajari dan
mempraktekkan studi islam dalam makna yang sesunggunnya[15]. Meskipun
dalam pandangan intelektual islam modern apa yang berlangsung di masa Nabi
tersebut belum bisa dikatakan studi islam sebagai sebuah disiplin keilmuan yang
dilakukan secara sistematis dan terstruktur dengan alasan bahwa titik tekan studi
islam pada masa Rasulullah s.a.w. lebih pada mengenal, memahami, dan meneladani
ajaran islam dari perilaku Rasulullah s.a.w tetapi jika kita mengembalikan
tujuan dari studi islam yakni untuk memahami islam secara komprehensif maka
yang berlangsung di masa Rasulullah s.a.w. merupakan studi islam yang hakiki
karena mendapat langsung tutunan dan bimbingan dari Alloh melalui kekasihnya
Muhammad s.a.w. Hanya saja pada saat itu, studi islam belum ada format yang
baku dan belum ada kurikulum yang sistematis karena studi islam mengikuti
ketentuan Allah SWT (turunnya Al-Qur’an), setiap kali al-Qur’an diturunkan,
Rasulullah langsung mengajarkannya
kepada para sahabatnya dan karena para sahabat (generasi awal islam) sangat
menguasai ilmu bahasa arab sehingga mereka dengan mudah memahami makna setiap
ayat yang diturunkan.
Rasulullah
s.a.w. memulai studi islam di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam atau sering
disebut sebagai darul arqam. .Ditempat inilah Nabi s.a.w.
mengajarkan para generasi awal islam (para sahabat) dasar-dasar atau pokok-pokok agama islam serta membacakan kallamullah kepada para pengikutnya dan menyuruh mereka untuk menuliskan dan
menghafalkannya. Nabi Muhammad s.a.w.
juga menerima dan mengajarkan orang-orang yang hendak
memeluk agama islam atau menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan agama islam di tempat ini, bahkan terkadang Rasulullah sholat bersama para
sahabatnya di tempat ini[16].
Dalam masa pembinaan pendidikan agama islam di Makkah Nabi Muhammad juga
mengajarkan al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan inti sari
dan sumber pokok ajaran islam. Disamping itu, Nabi Muhamad SAW,
mengajarkan tauhid kepada umatnya.
Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menyatakan
bahwa pembinaan pendidikan islam pada masa Makkah meliputi:
1)
Pendidikan Keagamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata jangan dipersekutukan
dengan nama berhala.
2)
Pendidikan Akliyah dan Ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusiadari segumpal darah dan kejadian alam
semesta.
3)
Pendidikan Akhlak dan Budi pekerti, yaitu Nabi
Muhammad SAW mengajarkan kepada sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan
ajaran tauhid.
4)
Pendidikan Jasmani atau Kesehatan, yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempat kediaman.
Sedangkan di Madinah islam merupakan kekuatan politik. Ajaran islam yang berkenaan
dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad juga
mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai
kepala Negara. Sehingga Nabi melakukan pembinaan
dan pengajaran pendidikan agaam islam di Madinah sebagai berikut:
1)
Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan
politik. Nabi Muhammad SAW mulai
meletakkan dasar-dasar terbentuknya masyarakat yang bersatu padu secara intern
(ke dalam), dan ke luar diakui dan disegani oleh masyarakat lainnya (sebagai
satu kesatuan politik).
2)
Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan. Materi
pendidikan sosial dan kewarnegaraan islam pada masa itu adalah pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam konstitusi Madinah, yang dalam prakteknya
diperinci lebih lanjut dan di sempurnakan dengan ayat-ayat yang turun Selama
periode Madinah. Tujuan pembinaan adalah agar secara berangsur-angsur,
pokok-pokok pikiran konstitusi Madinah diakui dan berlaku bukan hanya di
Madinah saja, tetapi luas, baik dalam kehidupan bangsa Arab maupun dalam
kehidupan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Materi kewarganegaraan menegaskan
bahwa umat islam tidak boleh tercerai-berai dalam beberapa negara, oleh karena
itu Rasulullah memerintahkan jika ada dua orang pemimpin di tengah-tengah kaum
muslimin untuk membunuh yang kedua karena yang kedua itu adalah pemecah-belah
kesatuan umat islam.
3)
Pendidikan anak dalam islam. Dalam islam, anak
merupakan pewaris ajaran islam yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw dan generasi
muda muslimlah yang akan melanjutkan misi menyampaikan islam ke seluruh penjuru
alam.
Objek
Studi islam di masa Rasulullah adalah Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
perkara aqidah,ibadah, sejarah, dan sisterm politik termasuk masalah
perdagangan dan pertanian, dan juga adab. Berdasarkan kajian diatas dapat
dipahami bahwa Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi seluruh
umat manusia agar mereka menjadi
masyarakat cerdas komprehensif yang bertakwa kepada Allah SWT. Konsep inilah
yang seharusnya menjadi kiblat pendidikan umat islam hari ini agar mereka
kembali meraih kebangkitan.
Pada
masa selanjutnya, setelah Rasulullah s.a.w. meninggal dunia, studi islam
mengalami perkembangan dan berbagai pendekatan searah dengan perkembangan
lembaga pendidikan islam. Azyumardi Azra menjelaskan bahwa ditinjau dari sisi
kelembagaan, studi islam mengalami perkembangan dari sorogan dan halaqah di
rumah-rumah para ‘alim yang sifatnya individual ke sistem kuttab,
kemudian berkembang lagi ke masjid-masjid dan selanjutnya berlanjut ke sistem
madrasah. Madrasah dalam pengertian ini tidak sebagaimana madrasah yang kita
pahami dalam konteks indonesia, sebab pengertian madrasah disini adalah
pendidikan di tingkat tinggi. Namun, penyebutan madrasah ini ternyata belum
menjadi kesepakatan mutlak para sejarahwan, sebab ada juga yang menyebut
lembaga pendiidikan tinggi islam ini dengan al-jami’ah. Nama ini diambil
dari lembaga masjid jami’, yaitu tempat berkumpulnya orang banyak[17].
Menurut
Stanton khuttab sebagai lembaga awal yang melakukan kajian terhadap
islam dibagi menjadi dua, yaitu khuttab sekuler dan khuttab agama. Di khuttab sekuler diajarkan adalah
tata bahasa, sastra, dan aritmatika. Sementara di khuttab agama
mengajarkan tentang perkara-perkara agama[18].
Sementara Hasan Asari membagi khuttab menjadi dua yaitu khuttab yang
berfungsi sebagai tempat untuk mengajarkan baca tulis dan khuttab yang
berfungsi sebagai tempat untuk mengajarkan al-Qur’an dan dasar-dasar agama
Islam[19].
Pendapat Stanton dan Asari ini sesungguhnya memiliki kesamaan yaitu fungsi khuttab
sebagai tempat mengajarkan materi agama dan materi-materi pelajaran yang bersifat
umum.
Aspek
penting studi islam yang tidak bisa diabaikan dalam masa keemasan islam adalah
perpustakaan. Perpustakaan dengan segala jenisnya dikenal dengan beberapa nama
yaitu dar (pondok), bayt (rumah), dan khizanah (gudang)
yang digabungkan dengan kata al-‘ilm (ilmu), al-hikmah (kebijaksanaan),
dan al-kutub (buku). Perpustakaan memiliki fungsi yang sangat strategis
dalam studi islam, yaitu sebagai ruang baca, pusat aktivitas akademis, dan
ruang diskusi[20].
Menurut
Ngainun Naim, perpustakaan pada awalnya dibangun sebagai bagian dari lembaga
wakaf. Lembaga wakaf pertama adalah Madrasah Abu Hanifah dan Madrasah Nzhamiyah
di Baghdad. Perpustakaan di madrasah ini dulunya bernama dar al-kutub (rumah
buku), namun selanjtunya disebut khizanah al-kutub (gudang buku).
Perpustakaan Nizhamiyah yang disebut dar al-kutub ini menggantikan
perpustakaan pribadi sejarahwan-sastrawan Ibnu Hilal al-Shabi’ (wafat 480
H./1088 M.), yang dibangun pada tahun 452 H./1060 M., yang juga bernama dar al-kutub. Perpustakaan
al-Shabi’ ini dibangun untuk menggantikan perpustakaan pribadi Shabur ibn
Ardasyir yang dibangun pada tahun 381 H./991 M[21].
Pada
abad ke 13 Masehi, para pelajar yang berasal dari negeri-negeri barat
berbondong-bondong datang belajar ke universitas-universitas islam yang ada di
wilayah negara islam. Walaupun dihalangi oleh Paus Vatikan namun atas restu
dari Raja Frederich H dari Sicily (1198-1212 M), para pelajar dari negeri barat
tidak hanya belajar ilmu sains dan teknologi di negeri-negeri islam tetapi juga
menyalin manuskrip-manuskrip ilmu agama islam ke dalam bahasa latin dan
diajarkan dinegeri barat hingga terjadilah suatu masa yang disebut sebagai masa
renaissance (pencerahan) yang ditandai dengan revolusi industri di
Eropa. Dalam perkembangannya, kemudian terbangun berbagai perguruan tinggi di
Eropa seperti di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano, Venezia, Oxford
University dan Cambridge University di Inggris, Sorbone di Prancis dan juga
Tubingen di Jerman. Oleh karena itu, kebangkitan eropa dan barat hari ini
sesungguhnya tidak lepas dari pengaruh kebudayaan umat islam[22].
Implikasi
dari kegiatan penyalinan naskah ini adalah terbukanya perkembangan
cabang-cabang ilmiah di Barat. Kondisi ini semakin pesat karena pengaruh aliran
empirisme yang dikembangkan oleh Francir Bacon (1561-1626). Namun demikian bukan
berarti kegiatan penyalinan naskah-naskah dari negeri-negeri kaum muslimin
berjalan dengan lancar. Pro-kontra pun bermunculan dalam jangka waktu yang
cukup lama[23].
Walaupun
menimbulkan perdebatan yang cukup lama,
namun kegiatan penyalinan naskah terus berlanjut tanpa bisa dihentikan.
Implikasi lebih lanjut dari kegiatan penyalinan naskah ini adalah dimulainya
studi islam secara serius di Barat dalam berbagai sudut pandang. Fatalnya,
dalam perkembangannya studi islam kemudian mengalami deorientasi (pengaburan
bahkan pembelokkan nilai-nilai ajaran islam) yang dilakukan oleh para
orientalis (orang-orang yang berpura-pura masuk islam untuk merusak islam dari
dalam).
3.2
Studi Islam di
Barat
Pembahasan
studi islam di barat dalam makalah ini adalah membahasa tentang perkembangan
studi islam dibeberapa univeristas di barat. Menurut Ngainun Naim, studi islam
di barat berkembang dengan bervariasi. Misalnya di Chicago University, studi
islam lebih menekankan pada pemikiran islam, bahasa arab, naskah klasik, dan
bahasa-bahasa islam non-arab.. Di Amerika, studi-studi islam pada umumnya
memang menekankan pada studi sejarah islam, bahasa-bahasa islam selain bahasa
arab, sastra dan ilmu sosial. Secara organisatoris, studi itu berada di bawah
Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat
Di
University of California Los Angles (UCLA) studi islam dibagi dalam
empat komponen. Pertama, mengenai doktrin dan sejarah islam termasuk sejarah
pemikiran islam. kedua, bahasa arab termasuk teks-teks klasik mengenai sejarah,
hukum dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non-arab yang muslim seperti Turki,
Urdu, Persia, dan sebagainya. Studi terhadap bahasa-bahasa ini didasarkan pada
asumsi bahwa bahasa-bahasa tersebut dianggap telah ikut melahirkan kebudayaan
islam. Keempat, kajian mengenai ilmu-ilmu sosial, sejarah, bahasa arab,
bahasa-bahasa negeri-negeri islam diluar arab, sosiologi, dan semancamnya.
Selain itu, ada kewajiban menguasai secara pasif satu atau dua bahasa eropa.
Di
London Inggris, studi islam digabungkan dalam school of Oriental and African
Studies, fakultas mengenai studi ketimuran dan afrika yang memiliki
berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan Asia dan Afrika. Salah satu program
studi di dalamnya adalah program MA tentang masyarakat dan budaya islam yang
dapat dilanjutkan ke jenjang doktor.
Di
Kanada, studi islam memiliki beberapa tujuan. Pertama, menekuni kajian budaya
dan peradaban islam. Kedua, memahami ajaran islam dan masyarakat muslim di
seluruh dunia. Ketiga, mempelajari berbagai bahasa yang ada di negeri-negeri
kaum muslimin, seperti bahasa persia, urdu, dan bahasa turki.
Di
Belanda, studi islam sampai setelah perang dunia II masih merupakan refleksi
dari persepsi bahwa islam bermusuhan dengan kristen dan islam sebagai agama
yang tidak patut dianut. Baru belakangan ini ada sikap yang lebih objektif. Seperti
apa yang ditulis dalam brosur, studi-studi islam di Belanda lebih menekankan
pada kajian islam di Indonesia dan daerah-daerah tertentu, namun kurang
menekankan pada aspek sejarah islam itu sendiri[24].
Studi
islam dibelanda sangat kental akan nilai-nilai politis, mereka melakukan
reorientasi nilai-nilai islam agar sesuai dengan kepentingan mereka untuk yakni
untuk melebarkan eksistensi kristen dan penjajahan terhadap dunia islam. Semangat
jihad didalam diri kaum muslimin telah menyulitkan Belanda untuk mengeksploitasi
belahan dunia islam. Mereka menyadari bahwa semangat jihad dari kaum muslim
lahir dari doktrin agama islam. Oleh karena itu, mereka mencoba mereorientasi
(merubah) nilai-nilai islam agar sesuai dengan kepentingan mereka. Universitas
Leiden memiliki andil yang besar dalam melahirkan tokoh-tokoh orientalis yang
terkemuka seperti Prof. Dr. Snouck Hurgronje, Mr. L.W.C. Van Den Berg, Prof.
Dr. Van Ronkel, Dr. G.F. Pijper, Prof. Drewes dan sebagainya. Univeristas itu
didirikan pada tahun 1575 sebagai hadiah dari William van Oranje atas
keberhasilan penduduk Leiden dan sekitarnya mengusir penjajah Spanyol.
Selain Universitas Leiden, ada 5 Universitas
lain yang menjadikan islam sebagai studi, yaitu Universitas Katolik Nijmegen,
Universitas Amsterdam, Universitas Protestan Amsterdam (Vrije Universitiet),
Universitas Groningen, dan Universitas Utrecht. Studi islam di kampus-kampus
tersebut ada di beberapa fakultas diantaranya Fakultas Sastra, Fakultas
Teologi, Fakultas Sosial, dan Fakultas Hukum. Semuanya dilakukan yang dalam Vak
Grup (sejenis Jurusan) di dalam fakultas tersebut. Sebelum tahun 1950-an, fokus
utama studi islam di Belanda lebih banyak pada islam di Indonesia. Tetapi
setelah tahun 1950-an, fokusnya mulai bergeser ke negara-negara timur tengah
seperti Maroko dan Turki[25]
Dengan
demikiran, studi islam yang dilakukan di Barat sesungguhnya telah berlangsung
cukup lama. Jika mengamati dinamika yang terjadi, studi islam di barat dimulai
sejak permulaan abad 19 hingga sekarang.
3.3
Studi Islam di
Timur
Seperti
halnya di negeri barat, pendekatan studi islam di negeri-negeri timur tengah
juga bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Hal ini dikarenakan
studi islam di timur tengah dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya:
kebijakan politik, dinamika sosial dan kebudayaan, latar belakang pemegang
otoritas pemerintahan, latar belakang pemegang otoritas pendidikan, faktor
ekonomi, dan lain sebagainya. Ngainun Naim menerangkan tentang perkembangan
studi islam di beberapa negeri kaum muslimin sebagai berikut[26]:
Di
Iran, studi islam di kembangkan oleh Universitas Teheran yang dilakukan dalam
satu fakultas yang disebut Kulliyat Ilahiyat (Fakultas Agama). Di
Universitas ini, ada ruang khusus yang menyimpan naskah-naskah kuno yang
ditulis oleh para pemikir klasik dan ditulis dalam bahasa persia. Selain itu,
ada pula Univeristas Imam Sadiq yang mempelajari islam dan ilmu umum sekaligus.
Di
Syiria, studi islam ditampung dalam Kulliatu al-Syari’ah (Fakultas
Syari’ah) Universitas Damaskus Syiria yang didalamnya ada program studi
Ushuluddin, Tasawuf, Tafsir, dan sejenisnya. Jadi, pengertian syariah disini
lebih luas dari pada pengertian syariah sebagai hukum islam yang ada di IAIN
dan UIN.
Di
Aligarch University India, studi islam dibagi menjadi dua. Pertama, islam
sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang terbagi menjadi dua jurusan
yaitu jurusan Madzhab Uhli Sunnah dan Madzhab Syi’ah. Kedua, islam sebagai
sejarah dikaji pada Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies
yang berdiri sejajar dengan jurusan politik, sejarah, dan lain-lainnya.
Sementara di Jamiah Millia Islamia yang terletak di New Delhi, Islamic
Studies Program baerada pada Fakultas Humaniora bersama dengan Arabic
Studies, Persian Studies, dan Political Science.
Di
Univeristas Islam Internasional Malaysia, program studi islam berada di bawah Kulliyah
of Revealed Knowledge and Human Sciences (Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Ilmu
Kemanusiaan). Di Fakultas ini, Selain Jurusan Kewahyuan dan Warisan Islam juga ada Jurusan Psikologi,
Sosiologi, Filsafat, Ilmu Politik dan lain-lainnya. Selain itu, di fakultas
lain ada pula mata kuliah fikih untuk ekonomi, pemikiran ekonomi islam, sistem finansial islam dan lain sebagainya
yang ada di Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Di
Universitas al-Azhar Mesir yang menjadi rujukan bagi sebagian besar IAIN dari
segi metodologi sebelum tahun 1961 memiliki fakultas-fakultas yang khusus hanya
membahas ilmu-ilmu keislaman. Namun setelah tahun 1961, Universitas al-Azhar
tidak membatasi diri pada fakultas-fakultas agama tetapi juga membuka
fakultas-fakultas lain. Di Kairo memiliki beberapa fakultas yakni Fakultas
Ushuluddin, Fakultas Hukum Syariah, Fakultas Bahasa Arab, Fakultas Studi Islam
dan Arab, Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah, Fakultas Sastra dan Tarjamah,
Fakultas Sains, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Ekonomi, dan Teknik.
Sementara
Mudzhar menjelaskan bahwa di daerah-daerah seperti al-Suyut ada Fakultas
Ushuluddin, Dakwah, Syari’ah wa al-Huqud, Bahasa Arab, Kedokteran Umum,
Kedokteran Gigi, dan Farmasi. Di Zarkasyi ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan
Bahasa Arab. Di Tanta ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan Syari’ah wa
al-Huqud. Sementara di al-Mansyurah ada Fakultas Ushuluddin, Dakwah, Bahasa
Arab, dan seterusnya (M. Atho Mudzhar, 2001: 27-29).
Dari
beberapa paparan diatas dapat diketahui bahwa studi islam yang dilakukan
belahan dunia islam dibagian timur tengah dilaksanakan secara sistematis dan
terkosentrasi dalam berbagai jurusan.
3.4
Studi Islam Di
Indonesia
Studi
islam di Indonesia sebenarnya telah berlangsung lama. Namun format, orientasi,
dinamika, dan perkembangannya terus berkembang. Ada beberapa hal yang perlu
kita perhatikan dalam perkembangan studi islam di Indonesia. Pertama, studi
islam telah dimulai sejak islam datang pertama kali di bawah di indoensia. Saat
itu, wilayah kajian keislaman belum masuk dalam masalah keindonesiaan. Hal itu
menurut Naim dapat dieliti dari kitab-kitab yang ditulis pada masa itu yang
merupakan pengulangan wacana keilmuan yang berkembang di Timur Tengah.
Institusi
yang berperan besar dalam masalah ini adalah pesantren. Pesantren sebagai
lembaga dan pusat studi pertama kali lahir bertujuan sebagai sarana dakwah.
Dalam perkembangannya kemudian, berdiri madrasah di awal abad ke-20 yang
disusul dengan berdirinya perguruan tinggi islam diawal paruh kedua abad ke-20.
Saat ini, disamping ketiga lembaga tersebut (pesantren, madrasah, dan perguruan
tinggi islam) muncul pula berbagai forum, ormas, pusat kajian, dan berbagai
lembaga yang menaruh perhatian secara serius terhadap kajian islam. Islam yang
diajarkan dalam konteks ini masih murni dan tidak terkontaminasi dengan
pemikiran barat sehingga melahirkan kader-kader militan seperti Hadharatus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Kartosuwiryo, Jenderal Sudirman,
Kahar Mudzakar dan lain sebagainya yang sampai hari ini kita kenal selain
sebagai ulama juga sebagai pahlawan islam yang berhasil mengusir penjajah dari
bumi pertiwi.
Kedua,
corak pemikiran islam modern pada masa pasca kemerdekaan agak tersendat sebagai akibat
suasana politik bangsa indonesia kala itu yang tidak mendukung. Sehingga banyak
diantara para pemikir pra-kemerdekaan menjadi oposan terhadap pemerintah[27].
Ketiga,
munculnya berbagai macam corak pemikiran yang saling bertentangan secara
mendasar pada awal tahun 1970-an sampai sekarang sebagai akibat dari munculnya
dua ekstrimis yakni islam liberal yang berkiblat pada studi islam di barat dan
islam politik yang berkiblat pada studi islam di Timur Tengah. Paham yang
dikembangkan oleh ekstrimis liberal inilah yang membawa konsep-konsep barat sekuler
ke negeri-negeri islam untuk diaplikasikan. Konsep kontemporer yang dikenal
dengan istilah sekularisme tersebut diantanya demokrasi, pluralisme, HAM,
gender, dan fundamentalisme. Sedangkan ekstrimis islam yang berkiblat di Timur
Tengah melakukan propaganda untuk kembali membentuk kesatuan politik umat islam
yakni apa yang mereka sebut sebagai negara islam atau khilafah. Dua ekstrimis
ini menjalankan metode pendidikannya dengan membentuk lembaga, pusat studi, dan
ormas yang kemudian masing-masing berusaha untuk memasuki dan mempengaruhi
dunia pesantren, madrasah, perguruan tinggi.
Sekularisme
merupakan suatu paham yang muncul sebagai alternatif dari sistem pemerintahan
teokrasi (otokrasi). Teokrasi adalah sistem pemerintahan kerajaan, dimana
rajanya menindas rakyat atas nama Tuhan. Kezholiman dan penindasan ini terjadi
karena dalam sistem pemerintahan teokrasi (kristen) para gerejawan bekerjasama
dengan para raja untuk memperkaya diri dan bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyat dengan cara mendoktrin rakyat bahwa perintah raja adalah perintah Tuhan
Yesus. Penindasan para raja yang berlangsung bertahun-tahun akhirnya mendapat
perlawanan dari para cendikiawan barat saat itu. Para cendikiawan barat
bergerak untuk mengakhiri kezholiman dengan cara menuntut agar agama
dihilangkan dari kehidupan manusia karena mereka menganggap Tuhan sebagai candu
(sumber penindasan), sementara disisi yang lain, para gerejawan tetap
mempertahankan agama. Pergolakkan yang terjadi antara cendikiawan barat dan
para gerejawan ini akhirnya menghasilkan satu resolusi jalan tengah, yakni
agama boleh ada tetapi hanya sebatas di tempat ibadah (gereja), diluar gereja
agama tidak boleh ikut campur. Jadi hak Tuhan untuk mengatur manusia hanya
sebatas ditempat ibadah, tidak lebih dari itu. Mereka memiliki slogan “berikan
hak Tuhan kepada Tuhan dan berikan hak raja kepada raja”. Ide ini awalnya hanya
ada di negeri-negeri barat kristen, namun pada abad ke-17 ide ini dibawah di
negeri-negeri kaum muslimin. Penindasan dalam sistem pemerintahan teorasi
sesungguhnya menjadi hal yang wajar karena mereka mencoba untuk menerapkan
aturan agama kristen dalam kehidupan sementara kristen bukanlah sebuah ideologi
yang memiliki aturan yang lengkap tentang kehidupan manusia seperti sisten
ekonomi, sistem politik, sistem peradilan, dan lain sebagainya. Hal ini tentu
berbeda dengan islam karena islam selain sebagai agama juga sebagai ideologi
(pandangan hidup) yang meiliki aturan yang komplit tentang kehidupan. Jangankan
sistem pemerintahan, dan sistem ekonomi, masuk kamar mandi pun islam memiliki
aturan. Sekularisme inilah yang saat ini menjadi isu kontemporer studi islam di
barat dan terus dipropagandakan oleh intelektual-intelektual muslim hasil
didikan barat.
Di
Indonesia, mata kuliah studi islam dikembangkan oleh institusi Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI) baik negeri maupun swasta dan juga dikembangkan di
universitas-universitas umum. Perkembangan mata kuliah studi islam di indonesia
mengalami dinamika yang cukup menarik. Mata kuliah studi islam pada awalnya
diberikan dengan nama Dirasat Islamiyyah yang meliputi tiga aspek
kajian. Pertama, dirasat islamiyyah I yang meliputi kajian fikih dan
ushul fiqif. Kedua, dirasat islamiyyah II yang meliputi bidang kajian
tafsir hadist dan ilmu tafsir hadist. Ketiga, dirasat islamiyyah III yang
mencakup bidang sejarah dan peradaban islam[28].
Jauh
sebelum disepakati tentang mata kuliah studi islam, pada tahun 1970-an
berlangsung perdebatan mengenai perlu atau tidaknya perangkat analisis dan
metodologi dalam studi islam. Di satu sisi, ada kelompok yang menolak islam
dikaji secara interdisipliner karena dalam pandangan kelompok ini, selain
pendekatan semacam ini dapat merusak moral dan akidah mahasiswa juga muncul
kesan bahwa studi-studi islam konvensional akan ditinggalkan. Disisi lain, ada
juga kelompok yang menerima islam dikaji secara interdisipliner. Argumentasi
yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah bahwa ilmi-ilmu bantu tersebut
dianggap dapat membantu untuk memahami islam.
Pada
tahun 1973 Masehi, Harun Nasition (Rektor IAIN Syarif Hidayatullah saat itu)
dalam pertemuan Rektor IAIN seluruh Indonesia mengusulkan perlunya modernisasi
kurikulum mengikuti kurikulum studi
islam di barat dalam pengembangan kajian islam seperti memasukkan pendekatan
filsafat, teologi, sosiologi, dan metodologi riset. Meskipun terjadi
pertentangan atas usulan Harun Nasution untuk memasukkan metode barat dalam
studi islam namun akhirnya beliau ditunjuk untuk menulis materinya. Hal inilah
yang melatarbelakangi lahirnya buku Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya dan
buku Pembaharuan Dalam Islam. Yang merupakan dua buku pengantar studi islam.
Deskripsi
diatas menunjukan bahwa studi islam di
Indonesia selalu dinamis, berkembang, mengalami perubahan demi kontekstualisasi
dengan realitas yang ada. Sebagian besar intelektual dan para ulama menganggap
perubahan dan kontekstualisasi studi islam sebagai kemajuan di tengah-tengah
umat islam, namun sebagian besarnya menganggap perubahan ini sebagai
reorientasi terhadap nilai-nilai islam yang suci yang merusak din al-islam.
4.
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan deksripsi terhadap sejarah studi islam diatas, maka
kesimpulan yang dapat diberikan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1)
Studi islam di masa Rasulullah adalah studi
terhadap al-Qur’an dan dijelaskan secara langsung oleh Rasulullah sebagai
utusan Allah yang mashum (tidak mungkin melakukan kesalahan) yang dilakukan di
dar al-arqam dan di masjid. Allah SWT menegaskan bahwa ucapan, perbuatan dan
persetujuan Muhammad adalah perintah-Nya karena dia tidak melakukan sesuatu
apapun kecuali atas perintah Allah. Objek Studi islam di masa Rasulullah adalah
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perkara aqidah,ibadah, sejarah, dan sisterm
politik termasuk masalah perdagangan dan pertanian, dan juga adab.
2)
Studi islam yang dilakukan di Barat dimulai
sejak permulaan abad 19 hingga sekarang setelah mereka berhasil melakukan
penyalinan terhadap manuskrip-manuskrip dari universitas-universitas islam di
belahan dunia islam yang menjadi titik tolak kebangkitan bangsa eropa dan
barat. Studi islam di barat ada dibeberapa negara dan ada di beberapa fakultas
diantaranya Fakultas Sastra, Fakultas Teologi, Fakultas Sosial, dan Fakultas
Hukum.
3)
Studi islam yang dilakukan belahan dunia islam
dilaksanakan secara sistematis dan terkosentrasi dalam berbagai universitas dan
fakultas diantaranya Fakultas Ushuluddin, Fakultas Hukum Syariah, Fakultas
Bahasa Arab, Fakultas Studi Islam dan Arab, Fakultas Dakwah, Fakultas Tarbiyah,
Fakultas Sastra dan Tarjamah, Fakultas Sains, Fakultas Kedokteran, Fakultas
Pertanian, Ekonomi, dan Teknik Fakultas Ilmu Kewahyuan dan Ilmu Kemanusiaan,
dan lain sebagainya.
4)
Studi islam di Indonesia dilaksanakan di
Perguruan Tinggi Agama Islam dan Universitas-universitas umum yang bernaung di
bawah kementrian pendidikan selalu dinamis, berkembang, mengalami perubahan
demi kontekstualisasi dengan realitas yang ada. Sebagian besar intelektual dan
para ulama menganggap perubahan dan kontekstualisasi studi islam sebagai
kemajuan di tengah-tengah umat islam, namun sebagian besarnya menganggap
perubahan ini sebagai reorientasi terhadap nilai-nilai islam yang suci yang
merusak din al-islam.
4.2
Saran
Berdasarkan
deksripsi diatas maka saran yang dapat diberikan pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
a)
Metode
studi islam yang dikembangkan di barat harus tetap di waspadai agar nilai-nilai
islam tetap terjaga dan tidak tergerus oleh perubahan zaman.
b)
Pendekatn
studi di barat tetap boleh diambil selama tidak merusak nilai-nilai islam.
Namun, jika pendekatan yang dilakukan malah menjauhkan pemahaman umat terhadap
islam maka pendekatan tersebut harus ditinggalkan.
c)
Metode
studi islam harus dikembalikkan kepada metode para ulama salaf agar kejernian
pemikiran islam tetap terjaga dan agar lahir kembali ulama-ulama yang mumpuni
di zaman ini.
[1]
Maftukhin, Nuansa Studi Islam, Sebuah Pergulatan Pemikiran, 2010, bagian
kata pengantar
[2]
Maftukhin, Nuansa Studi Islam, Sebuah Pergualatan Pemikiran, 2010,
bagian kata pengantar
[3] Adian
Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermaneutika dan Tafsir Al-Qur’an,
(Jakarta:Gema Insani,2007)
[4] Dimas
Setiawan, 2011
[5] Roeslan
Abdul Gani, Penggunaan Ilmu Sedjarah, (Jakarta: B.P. Prapandja, 1962)
[6] Ibnu
Khaldun, Mukaddimah, (Bogor: PTI, 2013)
[7] Ngainun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h.1
[8] Lester
Crow dan Alice Crow, How to Study: To Learn Better, Pass Examanation, Get
Better Grades, Cet. VII, (New York: Collier Books, 1976), h. 13
[9] Mohammad
Hatta, Tanggung Djawab Moril kaum Inteligensia, (Djakarta: T.P., 1957),
h. 3-4
[10] Ngainun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 3
[11] Ngainun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 3
[12] Abdul Wahab
Hasbullah, (sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,40562-lang,id-c,ubudiyah-t,Pengertian+Islam+dan+Iman-.phpx).
[13] M. Atho
Mudzhar, Studi Hukum Islam Dengan Pendekatan Sosiologi, Dalam M. Amin
Abdullah, dkk., Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi, (Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000), h. 240
[14] M. Amin
Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 72-74
[15] Ngainun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 20
[16] Lebih
lengkapnya dapat dilihat dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam
[17]
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains: Sebuah
Pengantar, dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta:
Logos, 1994), h vi
[18] Charles
Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam dalam Ngainun Naim, Pengantar
Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 21
[19] Hasan
Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), h. 24-25
[20] George
A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Panorama Kebangkitan Intelektual dan
Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaissance Barat, (Jakarta: Serambi,
2005), h. 93
[21] Ngainun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 22
[22] Lebih
lengkapnya dapat dilihat dalam kitab Bangkit Runtuhnya Andalusia karya
Muhammad Ash-Shalabi
[23] H.A.R.
Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 46
[24] M.
Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Cet. III,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 24-27 dalam Nginun Naim, Pengantar
Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 31-32
[25] Nginun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 34
[26] Nginun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 38-40
[27] Nginun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 42
[28] Nginun
Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: sukses offset, 2009), h. 43
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.
Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Abdullah, M.
Amin. 2000. Antologi Studi Islam, Teori dan Metodologi. Sunan Kalijaga Press.
Yogyakarta.
Abdullah,
Taufik dan Karim, M. Rusli. 1989. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah
Pengantar. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Asari, Hasan.
1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Mizan. Bandung.
Azra,
Azyumardi. 1994. Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, Sebuah Pengantar.
Logos. Jakarta.
Azra,
Azyumardi. 1994. Studi Islam Di Timur dan Di Barat: Sebuah Pengalaman Selintas.
Ulumul Qur’an. No. 3, Vol. V. Jurnal.
Bustamam,
Kamaruzzaman dan Ahmad. 2001. Islam Historis, Dinamika Studi Islam Di
Indonesia. Galang Press. Yogyakarta.
Crow, Lester
dan Crow, Alice. 1976. How to Study: To Learn Better, Pass Examination, Get
Better Grades. Cetakan Ke-VII. Collier Books. New York
Gani, Roeslan
Abdul. 1962. Penggunaan Ilmu Sedjarah. B.P. Prapandja. Jakarta.
Gibb, H.A.R.
1990. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam. Edisi Terjemahan. Rajawali. Jakarta
Hatta,
Muhammad. 1957. Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia. Djakarta.
Husaini, Adian
dan Al-Baghdadi, Abdurrahman. 2007.
Hermaneutika dan Tafsir al-Qur’an. Gema Insani. Jakarta.
Khaldun, Ibnu.
780 H. Mukadimmah. Edisi Terjemahan. PTI. Bogor.
Mudzhar, M.
Atho’. 2001. Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek. Cetakan Ke-III.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Naim, Ngainun.
2009. Pengantar Studi Islam. Sukses Ofsset. Yogyakarta.
Stanton, Charles
Michael. 1994. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Logos. Jakarta.
Arief,Armai, SejarahPertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan
Islam Klasik.Bandung: Penerbit Angkasa,2005.
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka
Husna, 1988.
Nata, Abuddin, Pendidikan Islam Perspektif Hadits. Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2005
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008
Yunus , Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya
Agung, 1992
Zuhairini,dkk, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,cet.9,20
Komentar
Posting Komentar