MAKALAH
AL-QUR’AN
DAN ISI POKOK KANDUNGANNYA
OLEH
AGUSMAL
NIM. 15800001
MAGISTER
EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
MAULANA
MALIK IBRAHIM
MALANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kebangkitan
manusia tergantung dari tingkat pemikirannya tentang alam semesta,
manusia, dan kehidupan dengan menghubungkan ketiga unsur tersebut
dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan setelahnya. Jika
manusia ingin bangkit maka harus ada perubahan mendasar dan
menyeluruh terhadap pemikirannya. Setiap manusia akan menjalani
kehidupan di dunia ini berdasarkan jawabannya yang lahir dari dalam
hatinya yang disertai dengan keyakinan atas tiga pertanyaan mendasar
yakni: dari mana alam semesta, manusia dan kehidupan ini? Mau manusia
setelah kehidupan dunia? dan untuk apa manusia hidup di dunia ini?
Jawaban atas tiga pertanyaan mendasar ini akan melahirkan aqidah dan
jika diamati secara mendalam atas tiga pertanyaan mendasar tersebut
probabilitas aqidah yang lahir darinya hanya ada tiga, yaitu: aqidah
materialisme, aqidah sekularisme, dan aqidah islam.
Islam
telah menuntaskan problematikan pokok ini dan dipecahkan dengan cara
yang benar yaitu sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, serta
memberikan ketenangan jiwa. Islam memandang bahwa manusia, alam
semesta, dan kehidupan berasal (diciptakan) oleh Alloh SWT dan akan
kembali kepada Alloh SWT. Oleh karena itu, didalam pandangan islam,
Alloh SWT menciptakan manusia dengan tujuan yang mulia yakni
beribadah kepada Alloh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Alloh SWT
di dalam Al-Qur’an :
وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya
: “Dan
tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah
kepadaku”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah
adalah tunduk, patuh, dan merendahkan diri di hadapan yang maha kuasa
(Yusuf Qardawy, 1979 : 27). Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al
Ubudiyah
mengatakan bahwa Ibadah adalah suatu kata yang mencakup segala
sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah dari seluruh ucapan dan amal
perbuatannya baik batin maupun lahir. Berdasarkan defini para ulama
tersebut, maka dapat dipahami makna ibadah di dalam Qur’an surat
adz-dzariyat ayat 56 adalah menaati seluruh perintah Alloh SWT dan
menjauhi seluruh larangan-Nya diseluruh aspek kehidupan yang disertai
dengan niat ikhlas semata-mata karena Alloh SWT. Oleh karena itu,
islam memandang seluruh aspek kehidupan manusia di muka bumi ini
harus mengikuti ketentuan (aturan) Alloh SWT sebagai bentuk
pengabdian (ibadah) manusia kepada penciptaa-Nya. Namun, manusia
tidak akan pernah mengetahui seperti apa bentuk ibadah (pengabdian)
kepada Alloh SWT jika tidak ada petunjuk atau penjelasan yang
bersumber dari-Nya dan jika bentuk ibadah diserahkan kepada manusia
(untuk menafsirkannya), niscaya kita akan melihat bentuk ibadah yang
berbada-beda ditengah-tengah masyarakat yang disebabkan tidak adanya
petunjuk dari sang pencita manusia, alam semesta dan kehidupan.
Sebagai
agama yang paripurna, islam memiliki sumber hukum yang jelas dan
bersumber dari Tuhan pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan
yang kebenarannya telah terbukti dengan akal yakni Al-Qur’an dan
Hadist serta apa yang ditunjuk oleh keduanya (Ijma’ sahabat dan
Qiyas Syari’i). Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan oleh
Alloh SWT untuk mengatur kehidupan manusia merupakan kitab suci yang
mengatur kehidupan manusia secara komprehensif (menyeluruh) telah
terbukti selama 13 abad lamanya mampu membawa umat manusia (muslim
dan nonmuslim) hidup dalam ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan.
Namun, setelah terpaut 13 abad lamanya hidup tanpa Rasulullah SAW,
umat islam bagaikan buih ditengah lautan luas yang tidak tahu jalan
pulang ketepian pantai yang disebabkan oleh bencana akhir zaman yang
datang bagaikan angin tornado yang mencoba mempora-porandakan aqidah
dan prinsip hidup umat islam. Sejak 1918 masehi hingga saat ini umat
islam menghadapi serangan pemikiran dari dua arah. Serangan pemikiran
pertama datang dari blok timur yang diadopsi oleh uni soviet kala itu
dengan ideologi sosialisme-komunisnya (saat ini institusinya sudah
runtuh, namun benih-benih pemikirannya masih terus dipropagandakan
oleh para penganutnya). Sedangkan serangan pemikiran yang kedua
datang dari blok barat yang memaksakan ideologi kapitalisme-demokrasi
ditengah-tengah kehidupan umat islam (Agusmal, 2015).
Setelah
berpuluh-puluh tahun serangan pemikiran itu datang, umat islam hidup
bagaikan anak ayam yang tidak tahu induknya, umat islam lupa kepada
kitab sucinya, jangankan mengamalkannya bahkan isi kandungannyapun
banyak umat islam yang tidak mengetahuinya. Bahkan yang lebih ironis
lagi, munculnya kelompok islam liberal yang menganggap Al-Qur’an
sudah tidak relevan lagi mengatur kehidupan umat manusia bahkan
meragukan kebenaran Al-Qur’an. Berdasarkan uraian tersebut, maka
judul makalah yang akan ditulis pada kesempatan ini adalah Al-Quran
Dan Pokok-Pokok Kandungannya
sebagai salah satu tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadist di
UIN Maliki Malang.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan
deskripsi diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an?
- Bagaimanakah cara membuktikan kebenaran Al-Qur’an?
- Bagaimana proses pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an?
- Bagaimanakah pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an?
- Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui definisi Al-Qur’an
- Untuk memahami kebenaran Al-Qur’an
- Untuk mengetahui proses pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an
- Untuk memahami pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an
- Ruang Lingkup
Ruang
lingkup dalam penulisan makalah ini adalah menjelaskan tentang
definisi Al-Qur’an, pengujian kebenaran Al-Qur’an dan menjelaskan
tentang pokok-pokok isi kanduhngan Al-Qur’an. Sumber rujukan yang
akan digunakan adalah kitab terjemahan Mabahis
fii Ulumil Qur’an karya
Syaikh Manna’ Khalil Al-Qaththon, terjemahan kitab Taisir
Al-Wushul ila Al-Ushul
karya Syaikh Atho’ bin Khalil, kitab Ushul Fiqih karya KH. Hafidz
Abdurrahman, terjemahan kitab Al-Itqon
fii Ulumil Qur’an
karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan kitab Nizhomul
Islam
karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani. Variabel yang dikaji dalam
makalah ini adalah Al-Qur’an dengan menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Al-Qur’an
Secara
bahasa Al-Qur’an berasalah dari qara’a yang mempunyai arti
mengumpulkan atau menghimpun dan qira’ah menghimpun huruf-huruf dan
kata-kata satu dengan yang lainnya dalam satu ucapan yang tersusun
rapih. Qur’an pada mulanya seperti qira’ah, yaitu masdar
(infinitif) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan. Sedangakn
secara istilah, Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang
diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama
khas kitab itu., sebagai nama diri dan secara gabungan kata itu
dipakai untuk nama Qur’an secara keseluruhan begitu juga untuk
penamaan ayat-ayatnya. (Manna’ Khalil Al-Qaththan, 1992: 16).
Syaikh Manna’ Al-Qaththan (1992: 1) juga mendefinisikan Al-Qur’anul
Karim sebagai mukjizat islam yang kekal dan mukjizatnya selalu
diperkuat oleh kemajuan pengetahuan, kitab ini diturunkan oleh Alloh
SWT kepada Rasulullah Muhammad s.a.w untuk mengeluarkan manusia dari
suasana yang gelap menuju cahaya yang terang serta membimbing mereka
ke jalan yang lurus. Selain itu, Syaikh ‘Atho bin Khalil (1990: 68)
mendefinisikan Al-Qur’an sebagai kalam Alloh yang diturunkan kepada
Rasul-Nya Muhammad s.a.w. dalam bentuk wahyu melalui perantaraan
jibril a.s. yang lafidz dan maknanya dari Alloh yang menjadi
mukjizat, membacanya adalah ibadah, yang diriwayatkan kepada kita
secara mutawatir. Oleh karena itu, jika diamati secara faktual
terhadap kitab suci Al-Qur’an disertai dengan mengkombinasikan
seluruh pendapat para ulama maka dapat disimpulan bahwa Al-Qur’an
adalah kalam Alloh yang menjadi mukjizat islam yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad s.a.w. melalui malaikat jibril a.s. yang lafadz
maupun maknanya bersumber dari Alloh yang disampaikan kepada manusia
secara mutawatir untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar
mendapatkan ridho Alloh serta keluar dari nilai-nilai kejahiliyaan.
- Pembuktian Al-Qur’an Sebagai Kalam Alloh
- Metode Berfikir Rasional
Perang
pemikiran antar peradaban akan terus berlangsung sepanjang zaman
selama kebatilan dan kebenaran itu masih ada di muka bumi ini. Setiap
manusia yang hidup didunia ini pasti menginginkan kehidupan yang
bahagia dan tentram dimana ketetraman itu hanya akan mereka dapatkan
tatkala mereka menjalani hidupnya dengan benar. Kebenaran akan
selalu dicari setiap manusia yang memiliki akal yang sehat,
sayangnya, hari ini kita menghadapi situasi yang sangat memilukan
dimana kebanyakan manusia hanya mengikuti doktrin suatu agama tanpa
pembuktian rasional terhadap kebenaran agama yang mereka ikuti itu.
Tidak ada yang salah jika setiap orang mengganggap bahwa Tuhan dan
agamanya yang benar sebab siapapun berhak melakukan klaim. Namun yang
terpenting dari sebuah klaim kebenaran adalah proses pembuktian
kebenaran terhadap apa yang diklaim.
Kebenaran
adalah kesesuaian antara pernyataan (argumentasi/klaim) dengan
realitas (fakta). Untuk sampai kepada kebenaran hakiki (bukan
kebenaran parsial/palsu) maka harus dilakukan dengan pemikiran
cemerlang yaitu dengan melibatkan empat unsur dalam proses berfikir
(akal) yakni fakta, otak, alat indra dan informasi awal. Sehingga
yang dimaksud dengan pemikiran cemerlang (al-fikru al-mustanir)
adalah proses mentransfer (memindakan) fakta atau realitas kedalam
otak melalui panca indra yang didukung dengan informasi sebelumnya.
Munculnya paham relativisme dalam kajian kebenaran yang memunculkan
konsep baru yakni kebenaran relatif sesungguhnya merupakan
kedangkalan berfikir dan upaya pembodohan terhadap umat manusia
sebab metode berfikir kebenaran relativisme jauh dari nilai-nilai
rasionalistik.
Untuk
mengetahui kebenaran suatu agama dapat dilakukan dengan metode
berfikir rasional yang cemerlang yaitu dengan melakukan pengujian
terhadap kitab sucinya, apakah sesuai dengan realitas atau tidak.
Jika agama itu sesuai dengan realitas (memuaskan akal), sesuai dengan
fitrah manusia, dan menentramkan jiwa maka agama itu adalah benar dan
merupakan agama yang diturunkan oleh Tuhan yang menciptakan manusia,
alam semesta, dan kehidupan. Namun jika sebaliknya yang terjadi
(tidak memuaskan akal, tidak menetramkan jiwa, dan tidak sesuai
dengan fitrah manusia), maka agama itu adalah agama yang batil.
Proses berpikir seperti inilah yang akan melahirkan aqidah yang
kokoh, yang tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas.
- Pembuktian Kebenaran Al-Qur’an
Selama
ini sebagian besar umat islam memeluk agama islam hanya karena faktor
keturunan, akibatnya akidah mereka mudah luntur tatkala menghadapi
serangan pemikiran terutama dari para orientalis (penyebar paham
sekularisme) dan para misionaris (kristenisasi).
Untuk
mengetahui kebenaran agama islam maka harus dilihat kitab sucinya
(Al-Qur’an), apakah memenuhi standar kebenaran atau tidak. Jika
memuaskan akal, menetramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia
maka berarti agama islam adalah benar dan Al-Qur’an merupakan kalam
Alloh. Begitupula sebaliknya, kitab sucinya jika tidak memuaskan
akal, tidak sesuai dengan fitrah manusia, dan tidak menetramkan jiwa
maka agama dan kitab sucinya adalah batil.
Mengenai
bukti bahwa Al-Qur’an adalah kalam Alloh (perkataan Tuhan yang
menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan) dapat dilihat dari
substansi Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah kitab suci umat
islam yang menggunakan bahasa arab yang dibawa disampaikan oleh
seorang lelaki bernama Muhammad s.a.w yang diklaim oleh umat islam
sebagai kalam Alloh. Berdasarkan pada fakta ini, maka dapat ditarik
tiga hipotesis awal yang rasional tentang asal muasal Al-Qur’an,
yaitu:
- Al-Qur’an berasal dari orang arab
- Al-Qur’an berasal dari seorang lelaki bernama Muhammad s.a.w.
- Al-Qur’an berasal dari Tuhan yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan (kallam Alloh)
Pendapat
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari orang arab adalah
pendapat yang tidak benar, sebab mereka tidak bisa membuat karya yang
keindahan dan kebenaran susunan kalimatnya seperti Al-Qur’an.
Padahal dalam sejarah telah diceritakan bahwa orang-orang arab jauh
sebelum Al-Qur’an diturunkan adalah masyarakat yang lihai (pandai)
dalam syair (ahli syair) tetapi tetapi tetap saja sampai hari ini
mereka tidak bisa membuat karya yang keindahan bahasa dan susunan
kalimat semacam dengan Al-Qur’an. Sejak awal, orang kafir quraisy
yang meragukan kebenaran Al-Qur’an telah ditantang oleh Alloh SWT,
yaitu dalam firman-Nya:
قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ
Artinya:
"Katakanlah: 'Maka datangkanlah sepuluh surat yang
(dapat) menyamainya"
(QS.
Hud: 13).
Di
dalam ayat lain:
قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ
Artinya:
"Katakanlah: ('Kalau benar apa yang kamu katakan),
maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya"
(QS. Yunus : 38).
Dari
daulu sampai sekarang orang-orang arab yang membenci islam telah
berusaha keras mencobanya, akan tetapi tidak ada satupun yang
berhasil meskipun mereka bekerjasama dalam hal itu. Hal ini
membuktikan bahwa Al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka sebab
mereka tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, padahal ada
tantangan dari Al-Quran dan mereka telah berusaha menjawab tantangan
itu.
Kemungkinan
yang kedua bahwa Al-Qur’an berasal dari seorang lelaki bernama
Muhammad s.a.w. juga tidak dapat diterima oleh akal sebab dia juga
termasuk orang arab yang merupakan bagian dari masyarakat dan
bangsanya. Sehingga jika satu bangsanya telah gagal membuat karya
yang semacam dengan Al-Qur’an padahal mereka telah bekerjasama maka
bagaimanapun jeniusnya dia (Muhammad s.a.w.), dia juga pasti tidak
akan mampu membuatnya.
Terlebih
lagi dengan adanya banyak hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW -yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang
tawatur-
yang
kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini
dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al-Quran, maka tidak akan
dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi
Muhammad SAW, disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang
diterimanya, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadits.
Namun, ternyata keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya.
Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai
macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat
kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain, karena merupakan
bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Karena tidak ada kemiripan
antara gaya bahasa Al-Quran dengan gaya bahasa hadits, berarti
Al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW. Masing-masing
keduanya terdapat perbedaan yang tegas dan jelas. Itulah sebabnya
tidak seorang pun dari bangsa Arab --orang-orang yang paling tahu
gaya dan sastra bahasa arab-- pernah menuduh bahwa Al-Quran itu
perkataan Muhammad SAW, atau mirip dengan gaya bicaranya (Taqiyuddian
An-Nabhani, 1953: 12).
Tantangan
ini bukan hanya berlaku untuk orang arab, tetapi berlaku secara umum
kepada seluruh umat manusia yang meragukan kebenaran Al-Qur’an.
Oleh karena itu, siapapun yang meragukan kebenaran Al-Qur’an maka
dipersilahkan untuk menjawab tantangan tersebut dan alhamdulillah
sudah 14 abad Al-Qur’an diturunkan namun tidak ada satupun manusia
yang mampu membuatnya.
Apabila
dua kemungkinan telah terbantahkan dan tidak ada satupun manusia yang
bisa membuat karya seperti Al-Qur’an berarti Al-Qur’an bukan
buatan manusia. Jika dua hipotesis telah terbantahkan maka berarti
Al-Qur’an adalah kallamullah
(perkataan
Tuhan yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan) yang
menjadi petunjuk dan undang-undang (peraturan) dan pembeda antara
yang hak (benar) dan yang batil (salah). Barang siapa yang meyakini
dan berpegang teguh kepada ayat-ayatnya maka dia akan selamat dan
barang siapa yang mengingkarinya maka dia akan menjadi orang yang
celaka.
- Proses Turunya Al-Qur’an dan Penulisannya
Al-Qur’an
diturunkan kepada Rasululloh s.a.w selama 23 tahun yang kemudian
tempat turunnya terbagi menjadi dua tempat yaitu Mekah dan Madinah.
Ayat Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur di Mekah selama
13 tahun dan di Madinah selama 10 tahun. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
diturunkan di Mekah selanjutnya disebut sebagai makiyah (al-maki),
sedangkan ayat-ayat yang turun di Madinah disebut sebagai madaniyah
(al-madani). Terkadang al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad
s.a.w secara berkesinambungan dan terkadang pula diturunkan dengan
tenggat waktu yang lama karena adanya hikmah yang diinginkan oleh
Alloh di dalamnya yakni untuk menguatkan dan meneguhkan hati
Rasulullah s.a.w. terhadap berbagai macam hambatan dan rintangan
dakwahnya, menjawab setiap tantangan yang muncul dengan dengan
memberikan mukjizat, agar umat islam dapat menghafalkan, memahami dan
mengamalkannya serta menyesuaikan dengan segala peristiwa yang ada
dan pentahapan dalam penetapan hukum. Hal ini sebagaimana firman
Alloh:
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
ۚكَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
ۖوَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya
: “Berkatalah
orang-orang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja? ‘ Demikianlah supaya kami perkuat
hatimu dengannya”
(QS. Al-Furqan:32)
وَقُرْآنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ
عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Artinya:
“Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur
agar kamu dapat membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan kami
menurunkannya bagian demi bagian”
(QS. Al-Isra: 106).
Rasulullah
s.a.w. memerintahkan kepada para sahabat untuk menghafal dan
menuliskan Al-Qur’an pada lembaran-lembaran yang terbuat dari
kulit, daun, kaghid
(sejenis kertas), tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu. Sebelum
wafat, Rasulullah s.a.w. menjelaskan kepada para sahabat letak
ayat-ayat Al-Qur’an secara tertib di dalam surat-suratnya, sehingga
ketika Rasulullah s.a.w. wafat, Al-Qur’an telah tertulis atas
legislasi langsung dari Rasulullah s.a.w., meskipun saat itu belum
tersusun rapi dalam satu kitab. Selain itu, para sahabat Rasulullah
s.a.w. juga telah menghafal ayat-ayat Al-Qur’an sehingga sangat
tidak masuk akal terjadi kekeliriuan dalam pengumpulan dan penyusunan
ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tuduhan kaum musyrikin dan para
orientalis.
- Proses Pengumpulan Al-Qur’an
Dimasa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kaum muslimin menghadapi
banyak peperangan melawan orang-orang murtad dan kaum musyrikin,
sehingga khalifah khawatir jangan sampai para sahabat yang menghafal
Al-Qur’an mati syahid dalam peperangan. Kekhawatiran sang khalifah
semakin kuat setelah terjadinya perang yamamah dimana banyak
mengorbankan para penghafal Al-Qur’an sehingga Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq memerintah kepada para sahabat untuk mengumpulkan
Al-Qur’an yang telah tercatat pada tempat-tempat tertentu yang
telah dilegislasi oleh Rasululloh s.a.w.
Para
sahabat meminta kesaksian dua orang dari mereka terhadap setiap
lembaran yang tercantum tulisan Al-Qur’an di dalamnya. Kedua orang
saksi ini bersaksi bahwa lembaran tersebut telah ditulis di hadapan
Rasulullah s.a.w. Para sahabat tidak merasa cukup dengan kesesuaian
Al-Qur’an dengan hafalan saja, meskipun mereka mengetahui bahwa
setiap ayat telah dihafal segolongan sahabat secara mutawatir.
Oleh karena itu, ketika mereka menjumpai bahwa akhir surat at-Taubah
tidak dapat menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan ditulisnya
akhir surat tersebut dihadapan Rasulullah kecuali Khuzaimah saja,
maka mereka tidak menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti
bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah, dimana
Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan
kesaksian dua orang muslim yang adil, barulah mereka menghimpun
lembaran itu yang disaksikan oleh Khuzaimah, karena mengetahui bahwa
para sahabat telah menghafalnya (‘Atho bin Khalil: 73).
Dengan
demikian, kodifikasi (pengumpulan) Al-Qur’an yang dilakukan Abu
Bakar Ash-Shiddiq adalah pengumpulan terhadap lembaran-lembaran
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ayat-ayat dan susunannya telah
dilegislasi Rasulullah s.a.w. sehingga menjadi satu kitab yang
tersusun rapi dan sistematis sesuai dengan kehendak Alloh SWT yang
pengumpulan dan penulisannya dilakukan secara mutawatir.
- Penetapan Mushhaf-Mushhaf
Pada
masa kekhalifahan Ustman bin Affan, penyebaran islam dan perluasan
wilayah kekuasaan islam bertambah luas akibat dari gencarnya
ekspedisi jihad yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. yang diikuti
oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ustman bin
Affan. Islam memiliki kebijakan dimana setiap wilayah yang
ditaklukkan oleh kaum muslimin secara otomatis akan menjadi bagian
negara islam dan dibawah perlindungan negara (islam) yang mendapatkan
hak dan kewajiban sebagaimana rakyat (muslim dan nonmuslim) lainnya.
Oleh karena itu, para Khalifah selalu mengirimkan para qurra disetiap
wilayah yang ditaklukkan untuk mengajari mereka tentang Islam dan
Al-Qur’an. Semakin luasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin membuat
para qurra tersebar diberbagai wilayah sehingga penduduk setempat
mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka.
Namun, bacaan (qira’at) Qur’an yang dibawakan oleh para qari
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan
perbedaan dan keresahan ditengah-tengah kaum muslimin. Bagi sebagian
orang tidak mempermasalahkan perbedaan karena mereka yakin bahwa
semua perbedaan itu disandarkan kepada Rasulullah s.a.w., namun lain
halnya dengan sebagian pelajar baru yang tidak melihat Rasulullah,
mereka saling menyalahkan bahkan saling mengkafirkan.
Ketika
Huzaifah bin al-Yaman melihat keresahan dan perbedaan itu dapat
menyebabkan perpecahan ditubuh umat islam maka disaat beliau ikut
dalam perang melawan Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak,
beliau segera menghadap kepada Khalifah Ustman bin Affan dan
melaporkan kepadanya tentang perbedaan bacaaan qira’at yang
berujung pada terjadinya perselisihan ditengah-tengah kaum muslimin.
Setelah mendengar pengaduan dari Huzaifah bin Yaman, Khalifah Ustman
segera mengirim utusan kepada Hafsah agar mengirimkan mushhaf induk
(mushhaf Abu Bakar ash-Shiddiq) dan Hafsah pun mengirimkan mushhaf
itu kepada Khalifah Ustman. Kemudian Khalifah memanggil Zaid bin
Sabit al-Anshari, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk proses penyalinan mushhaf.
Penulisan mushhaf tersebut dinamakan ar-Rasmul
‘Usmani.
Dalam penyalinan mushhaf, terjadi perbedaan pendapat antara Zaid bin
Sabit al-Anshari dengan Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, lalu Khalifah Ustman bin Affan
memerintahkan kepada mereka semua agar pendapat Abdullah bin Zubair,
Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam yang diikuti
sebab mereka adalah orang-orang Quraisy dimana Al-Qur’an diturunkan
dengan dialek (logat) mereka. Setelah mereka selesai menyalin mushhaf
tersebut, khalifah Ustman kemudian mengembalikan mushhaf induk kepada
Hafsah. Setelah itu, Khalifah Ustman mengirimkan mushhaf-mushhaf yang
telah disaling dari mushhaf induk ke seluruh daerah seraya
memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk membakar
bacaan-bacaan lain yang tidak sesuai dengan mushhaf mutawattir yang
telah dikirimkannya tersebut.
Telah
terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah mushhaf yang dikirim Ustman
bin Affan ke daerah-daerah lain. Ada yang berpendapat jumlahnya ada
enam dan setiap kota mendapatkan satu mushhaf, yaitu Basrah, Kufah,
Syam, Makkah, dan satu lagi yang diperuntukkan bagi penduduk Madinah,
serta satu mushhaf lagi yang disimpan secara khusus oleh Khalifah
Ustman yang kemudian disebut dengan mushhaf induk atau disebut juga
sebagai mushhaf imam. Ada juga yang mengatakan jumlahnya tujuh buah,
lima musshaf masing-masing dikirimkan ke Basroh, Kuffah, Syam,
Makkah, dan Madinah. Sementara yang keenam dikirim ke Yaman dan
ketujuh dikirimkan ke Bahrain. Pada masa-masa berikutnya, kaum
muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf tersebut
dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita pada
saat ini (‘Atho bin Khalil, 1990: 77).
Oleh
karena itu, seluruh mushhaf yang disalin pada masa Usman itu telah
menghimpun bacaan-bacaan mutawatir yang berasal dari Alloh SWT
melalui Rasulullah s.a.w. dan sampai kepada kita melalui metode yang
mutawatir pula.
- Pembubuhan Tanda Syakal Pada Mushhaf
Pada
masa pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abu Sufyan
melihat kesalahan bacaan anaknya dalam tata bahasa arab sehingga
beliau menyampaikan sakwa kepada Gubernur Basrah yang kemudian
diteruskan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Setelah mendengar
pengaduan tersebut, Imam Ali memerintahkan kepada Abu al-Aswad
ad-Duali untuk meletakkan kaidah-kaidah nahwu dan cara pengucapannya
yang tepat dan baku seta melakukan proses pensyakalan
huruf-huruf dengan fathah,
dhamah,
dan kasrah
pada mushhaf. Inilah yang menjadi permulaan ‘ilmu
i’rabil Qur’an.
Pensyakalan
biasa disebut dengan naqthan (titik) karena Abu al-Aswad ad-Duali
menggunakan titik untuk menstandarisasi harakat suatu kata. Pada
masa Daulah Abbasiyyah, Khalil bin Ahmad telah menandai dhamah dengan
wawu
kecil diatas huruf, fathah
ditandai dengan alif
kecil diatas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya
kecil dibawah huruf. Kemudian beliau membuat tanda syiddah
dan
sukun.
Adapun at-tanqith
dalam
arti membubukan titik dibawah dan diatas huruf untuk membedakan satu
huruf dari huruf yang lainnya, seperti membedakan ba, ta, dan tsa,
telah dilakukan Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar atas perintah
al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi yang merujuk kepada keputusan Abdul
Malik bin Marwan ketika al-Hajjaj menjadi gubernur Irak (Atho’ bin
Khalil, 1990: 86).
- Pokok-Pokok Isi Kandungan Al-Qur’an
Secara
umum ditijau dari segi penunjukan maknanya, maka Al-Qur’an dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu mutasyabihat
dan muhkamat,
amar
dan nahyi,
amm
dan khas,
mutlaq
dan muqayyad,
mujmal
dan mubayyan,
serta nasikh,
dan mansukh.
Sedangkan jika ditinjau dari segi dimensi hukum maka ayat-ayat
Al-Qur’an dibagi menjadi 3 dimensi hukum yaitu hubungan makhluk
dengan Alloh, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri.
Dimensi
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Alloh adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang membahas masalah seputar keyakinan akan wujud dan
kekuasaan Alloh SWT serta masalah ibadah yang tata caranya telah
dipatenkan oleh Alloh seperti sholat, puasa ramadhan, haji, dll.
Contohnya firman Alloh SWT:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لآيَاتٍ لأُولِي اْلأَلْبَابِ
Artinya:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat) bagi
orang yang berakal" (QS. Ali Imran: 190).
وَمِنْ
آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَاخْتِلاَفِ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ
Artinya
"(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah
diciptakan-Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan
warna kulitmu" (QS. Ar-Rum: 22).
أَفَلاَ
يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ
خُلِقَتْ، وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ
رُفِعَتْ، وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ
نُصِبَتْ، وَإِلَى اْلأَرْضِ كَيْفَ
سُطِحَتْ
Artinya:
"Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia
diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung,
bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?"
(QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).
فَلْيَنْظُرِ
اْلإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ، خُلِقَ مِنْ
مَاءٍ دَافِقٍ، يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ
الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Artinya:
"Hendaklah
manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan? Dia diciptakan dari air
memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan
tulang dada perempuan"
(QS.
At-Thariq: 5-7).
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللهِ
وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ
الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan
siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan
Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan Hari Akhir maka ia telah
sesat sejauh-jauh kesesatan" (QS. An-Nisa: 136)
Beberapa
ayat-ayat diatas adalah sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur’an
dengan berkaitan dengan aqidah (hubungan manusia dengan Alloh SWT).
Alloh SWT juga menegaskan di dalam Al-Qur’an beberapa ayat yang
berkaitan dengan ibadah, misalnya:
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا
مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣)
Artinya:
Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku'
(Al-Baqarah: 43)
Yang
dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah
kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
Sedangkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkubungan dengan hubugan manusia dengan
manusia, misalnya:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah: 275).
مَا أَفَاءَ
اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ
الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ
مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)لِلْفُقَرَاءِ
الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا
مِنْ دِيارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(٨)
Artinya:
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul
kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya. (juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir
dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan
RasulNya. mereka Itulah orang-orang yang benar.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Artinya:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya" (QS. Al-Maidah: 38).
Dua
ayat diatas adalah sebagian kecil dari ayat-ayat yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan contoh ayat-ayat Al-Qur’an
yantg berhubungan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri
yaitu:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي
الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ (١٦٨)
Artinya:
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu” (QS.
Al-Baqarah: 168)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (٧٠)
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar” (QS.
Al-Ahzab: 70)
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Berdasarkan
pada penjelasan diatas, maka dapat disimpulakan bahwa:
- Al-Qur’an adalah kalam Alloh yang menjadi mukjizat islam yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad s.a.w. melalui malaikat jibril a.s. yang lafadz maupun maknanya bersumber dari Alloh yang disampaikan kepada manusia secara mutawatir untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia agar mendapatkan ridho Alloh serta keluar dari nilai-nilai kejahiliyaan.
- Al-Qur’an adalah kitab suci yang terbukti kebenrannya secara rasional yang tidak dapat terbantahkan sepanjang zaman.
- Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an dilakukan di masa khulafaurrasyidin dengan metode yang mutawatir.
- Dimensi hukum di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi 3 bagian yaitu hubungan manusia dengan Alloh, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
- Saran
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka saran yang dapat kami sampaikan adalah
sebagai berikut:
- Pembelajaran tentang studi Al-Qur’an harus terus ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
- Studi pembelajaran Al-Qur’an harus selalu mengikuti metode para ulama-ulama salaf (ahlus sunnah wal jamaah) dan menjauhi metode barat orientalis yang mencoba mengaburkan kesucian Al-Qur’an dengan hermaneutika tafsir.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,
Hafidz. 2012. Ushul Fiqih, Membangun Paradigma Berpikir Tasyri’i.
Cetakan Kedua. Al Azhar Press. Bogor
An-Nabhani,
Taqiyuddin. 2004. Nizham
al-Islam.
Cetakan Ketiga Belas. Hizbut Tahrir Indonesia. Jakarta.
As-Suyuthi,
Jalaluddin. 2008. Al-Itqan
fi Ulumil Qur’an.
Cetakan Pertama. Indiva Pustaka. Surakarta.
Al-Qaththan,
Manna Khalil. 2013. Mabahis
fi Ulumil Qur’an.
Cetakan Keenam belas. Pustaka Litera Antarnusa. Bogor
Khalil,
‘Atho Bin. 2011. Taisir
al-Wushul ila al-Ushul.
Cetakan Keempat. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
Komentar
Posting Komentar